Dari segi medis tes keperawanan tidak berbasis ilmiah. Tes ini dinilai invasif dan dilakukan ke bagian tubuh yang sangat pribadi, sehingga dapat menimbulkan trauma.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — TNI tengah mengkaji ditiadakannya tes keperawanan. Diawali dengan TNI Angkatan Darat, kini Mabes TNI tengah melakukan berbagai kajian terkait hal ini.
”Petunjuk teknis untuk pemeriksaan kesehatan sudah ditindaklanjuti, dari kepala pusat kesehatan setiap angkatan sudah membuat formatnya,” kata Kepala Pusat Kesehatan TNI AD Mayjen Budiman, dalam diskusi daring yang diadakan Change.org dengan judul Penghapusan ’Tes Keperawanan’ Angkatan Bersenjata: Kemenangan untuk Perempuan?, Rabu (1/9/2021).
Budiman mengatakan, sebagaimana disampaikan Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika, TNI AD tidak lagi mencantumkan pemeriksaan himen atau selaput dara perempuan sebagai bagian tubuh yang diperiksa. Secara resmi, perintah ini tertulis dalam Petunjuk Teknis No B/1372/VI/2021 tertanggal 14 Juni 2021.
Menurut dia, alasan dicabutnya himen sebagai obyek tes karena itu dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Selain himen, ada beberapa revisi juga dalam tes tersebut seperti terkait dengan gigi.
Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayor Jenderal Tugas Ratnomo tidak berkomentar saat dimintai konfirmasi. Namun, menurut Budiman, petunjuk teknis setiap angkatan akan dirangkum untuk menjadi petunjuk teknis di tingkat Mabes TNI.
”Terkait himen ini sudah dibicarakan formatnya, tetapi ada proses yang harus dilakukan. Calon istri prajurit juga tidak lagi diperiksa karena kami yakin prajurit TNI AD bisa menentukan pilihan yang tepat,” kata Budiman.
Selain tidak diketahui fungsi himen, bentuknya sangat variatif. Variasi ini yang membuat tidak ada standar yang bisa dipakai.
Dalam diskusi itu, dr Putri Widi Saraswati menyampaikan, dari segi medis tes keperawanan tidak berbasis ilmiah. Selain tidak diketahui fungsi himen, bentuknya sangat variatif. Variasi ini yang membuat tidak ada standar yang bisa dipakai. Ada orang dengan hymen tipis, bisa terkoyak karena jatuh. Di sisi lain, ada juga yang himen tetap utuh walaupun telah berhubungan seksual.
Selain itu, menurut Putri, tes ini invasif dan dilakukan ke bagian tubuh yang sangat pribadi sehingga menimbulkan trauma. Hal ini membuat tes himen ini menjadi salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak seksual.
Andreas Harsono, aktivis LSM sekaligus jurnalis mengatakan, ia cenderung menyebutkan ”tes keperawanan” dengan tanda kutip karena tidak ada basis ilmiahnya. Hal ini bahkan dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam penelusuran Kompas di situs WHO, ada anjuran untuk meniadakan tes ini.
Andreas yang telah melakukan penelitian sejak 2016 di komunitas Polri dan TNI aktif serta istri-istrinya menemukan bahwa tes ini bersifat sangat traumatis. Banyak respondennya yang menangis, seperti dialami para istri perwira tinggi. ”Ada yang sudah pensiun, saya wawancara pun masih menangis,” kata Andreas.
Faye Simanjuntak yang berasal dari keluarga besar TNI AD mengatakan, pembicaraan tentang tes keperawanan seakan masih tabu di TNI AD bahkan secara informal sekalipun.
Faye Simanjuntak yang berasal dari keluarga besar TNI AD mengatakan, pembicaraan tentang tes keperawanan seakan masih tabu di TNI AD bahkan secara informal sekalipun. Bahkan, ketika ada rapat internal terkait hal ini tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi diberi judul membahas hak perempuan.
Di dalam keluarga besar TNI AD pun sulit mencari anggota Korps Wanita TNI AD ataupun istri tentara yang mau terbuka tentang pengalaman mereka. Senada dengan Andreas, Faye mengganggap tes himen ini adalah kekerasan yang diskriminatif jender.
Di Polri, diskusi terkait hal ini sebenarnya telah lama menyeruak. Hal ini disampaikan Brigjen (Pol/Purn) Sri Rumiati yang sejak tahun 2006 meminta agar tidak ada tes himen dalam perekrutan Polri. Saat itu, banyak anggota Polri yang berkilah alasan tes itu adalah alasan moral.
Namun, Rumiati mempertanyakan lebih jauh logika di balik pernyataan itu termasuk seleksi dengan basis moral terhadap calon anggota Polri yang berjender pria. Belakangan, Rumiati mendapati bahwa tes keperawanan ini masih dilakukan hingga 2015 ketika Kepala Polri dan Menteri Dalam Negeri menghentikan tes ini baik untuk seleksi Polri maupun IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri).
Latisha Rosabelle pada tahun 2015 membuat petisi di Change.org yang meminta agar tes himen ditiadakan. Walaupun diakui Latisha, tidak ada akibat langsung antara petisinya dan perintah KSAD. Namun, menurut dia, petisi tersebut memberi ruang agar masalah ini diangkat ke ranah publik.
Latisha menemukan masalah ini ketika dalam sebuah kunjungannya ke markas tentara perdamaian di Sentul, tak sengaja ia bercakap-cakap tentang hal ini dengan dua perempuan TNI. Mereka menolak berkomentar saat Latisha bertanya tentang tes keperawanan. Ia lalu terpicu untuk membuat petisi pada tahun 2017 dengan judul Stop Virginity Test ID.