Pandemi Covid-19 Tak Menghentikan Aktivitas Terorisme
Dalam sebuah operasi, Densus 88 menemukan sel baru di medsos yang aktif mendiskusikan pengambilalihan pemerintahan Afghanistan oleh Taliban. Upaya itu berpotensi diadopsi di Indonesia.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang membatasi kegiatan fisik masyarakat rupanya tidak serta-merta menghentikan aktivitas terorisme. Sejumlah kelompok justru menjadikan kondisi ini sebagai dorongan untuk mempersiapkan serangan, baik dari sudut pandang agama maupun kelemahan pemerintah. Konstelasi global pun turut memengaruhi denyut terorisme di Tanah Air.
Sepanjang Agustus 2021, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri gencar menangkap sejumlah tersangka teroris. Setidaknya 55 tersangka yang ditangkap dari 11 provinsi di Indonesia. Mereka tergabung dalam dua kelompok, yakni Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Selain mengungkap rencana serangan yang akan dilakukan, sejumlah penangkapan itu juga menguak motivasi yang mereka gunakan. Kepala Densus 88 Antiteror Polri Inspektur Jenderal Martinus Hukom mengatakan, baik kelompok yang terafiliasi dengan NIIS maupun JI memanfaatkan isu pandemi Covid-19 untuk memotivasi aktivitas anggota kelompoknya. Pandemi disebut sebagai nubuat akhir zaman sehingga mereka harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya.
”Ada persiapan membuat bom, seperti kami tangkap di Brebes dan Kendal, Jawa Tengah; Ambon, Maluku; Sulawesi Tenggara. Itu semua upaya untuk mempersiapkan datangnya akhir zaman,” kata Martinus dalam diskusi daring ”Meningkatkan Partisipasi, Terorisme Dapat Ditanggulangi”, Selasa (31/8/2021).
Kelompok JI menggunakan isu seputar kelemahan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Mereka juga menuding korona berasal dari China sehingga di dalam negeri mereka berencana menargetkan para pengusaha China sebagai sasaran serangan. Persiapan itu terkuak dalam penangkapan di Jawa Timur. Ditemukan bahwa mereka telah mempersiapkan pasukan dan membeli sejumlah senjata.
Menurut Martinus, operasi penegakan hukum yang masif memang mampu mencegah serangan teror. Hingga saat ini, total sudah ada 309 tersangka teroris yang ditangkap. Akan tetapi, itu tidak menjadi jaminan bisa menghentikan mereka karena kelompok teror aktif merekrut anggota menggunakan media sosial (medsos).
Secara historis gerakan terorisme di Indonesia memiliki keterkaitan dengan Afghanistan.
Konstelasi global
Tetap berdenyutnya sel-sel terorisme di Indonesia, kata dia, juga dipengaruhi konstelasi di tingkat regional dan global. Di Asia Tenggara, misalnya, sampai saat ini gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan tetap menguat. Ditambah lagi pergerakan Taliban yang secara cepat dapat mengambil alih pemerintahan Afghanistan pada 15 Agustus 2021.
Martinus menjelaskan, secara historis gerakan terorisme di Indonesia memiliki keterkaitan dengan Afghanistan. Pada dekade 1980-an, Negara Islam Indonesia (NII) mengirimkan sekitar 80 orang ke Afghanistan untuk berlatih. Saat ini, orang-orang itu menjadi tokoh sentral di kelompok teror yang masih berkembang di dalam negeri. ”Secara historis, ini akan terus mereka angkat kembali, membuka lembaran lama untuk membangkitkan semangat baru terhadap sel-sel di Indonesia,” katanya.
Kemenangan Taliban juga dinilai dapat memengaruhi psikologi anggota kelompok teror. Dalam sebuah operasi, Densus 88 menemukan sel baru di medsos yang aktif mendiskusikan pengambilalihan pemerintahan Afghanistan oleh Taliban. Hal itu berpotensi dijadikan teladan untuk mengadopsi strategi yang sama di Indonesia.
Selain itu, tidak ada jaminan bahwa Taliban mampu mengendalikan kelompok terorisme, seperti Al Qaeda dan ISIS Khorasan. Buktinya, beberapa hari lalu, ISIS Khorasan meledakkan bom bunuh diri di sekitar Bandara Internasional Hamid Karzai, Afghanistan, Kamis (26/8/2021). Ledakan itu menyebabkan 90 warga sipil dan 13 tentara AS meninggal.
Martinus mengatakan, dunia masih menunggu apakah Taliban mampu membangun hubungan yang harmonis dengan Al Qaeda dan ISIS Khorasan. Namun, jika situasi memburuk, diprediksi akan terjadi perang saudara. ”Kemungkinan Afghanistan akan menjadi episentrum baru untuk para kombatan asing (FTF) berlatih bertempur, termasuk dari Indonesia,” ujarnya.
Untuk mencegahnya, ujar Martinus, Densus 88 terus menegakkan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penegakan hukum diutamakan dengan cara preemtive strike atau penangkapan sebelum aksi teror terjadi.
Deputi VII Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto mengatakan, pencegahan terorisme tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Hal itu juga harus didukung oleh partisipasi masyarakat untuk mencegah terhadinya proses radikalisasi.
”Masyarakat harus terus diingatkan agar mereka memiliki kepekaan untuk mendeteksi dini tumbuhnya paham radikal. Selain itu, masyarakat harus terus diajak, dilibatkan, dan diminta masukkannya terkait masalah penyebaran paham terorisme,” tuturnya.
Masyarakat harus terus diingatkan agar mereka memiliki kepekaan untuk mendeteksi dini tumbuhnya paham radikal.
Selama ini, BIN setidaknya melakukan empat hal. Pertama, mendeteksi dini dan memberikan peringatan dini terhadap setiap ancaman kepentingan dan keamanan nasional. BIN juga melakukan patroli siber selama 24 jam guna mengawasi penyebaran konten radikal melalui dunia maya. Selain itu, BIN bekerja sama dengan sejumlah kementerian/lembaga untuk mengoptimalkan literasi digital guna melawan propaganda paham radikal, serta terlibat dalam program deradikalisasi terhadap eks-narapidana terorisme.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Bagong Suyanto mengatakan, proses radikalisasi bisa diputus sebelum itu terjadi. Caranya, dengan menggunakan pendekatan gaya hidup dan budaya pop yang lekat dengan masyarakat. Narasi anti-radikalisme dari budaya pop bisa lebih diterima sehingga bisa dikontestasikan dengan narasi radikalisme yang juga berkembang di masyarakat.
Pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati menambahkan, kesadaran masyarakat terhadap upaya radikalisasi memang perlu dibangun sejak dini. Sebab, saat ini kelompok teroris cenderung menciptakan kondisi yang memungkinkan agar mereka tetap eksis, tanpa bersentuhan dengan jaringan yang ada. Artinya, mereka berusaha untuk menampilkan aktivitas radikal sebagai sesuatu yang normal atau bisa diterima masyarakat secara umum.