Watak Dinasti Politik Rentan Berujung pada Korupsi
Kasus jual beli jabatan yang melibatkan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, menguatkan watak dinasti politik yang kerap berujung pada korupsi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mempertahankan dinasti politik di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, diduga ikut menjadi faktor penyebab korupsi jual beli jabatan penjabat kepala desa yang melibatkan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya. Keduanya telah berkuasa selama 18 tahun sehingga diduga menguasai birokrasi dan peta politik di daerah.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari. Puput ditangkap bersama lima orang lainnya, yaitu suaminya, Hasan Aminuddin, yang merupakan anggota DPR dari Fraksi Nasdem; Camat Krejengan Doddy Kurniawan; Camat Paiton Muhamad Ridwan; dan Penjabat Kepala Desa Karangren Sumarto. KPK juga telah menetapkan 22 orang tersangka dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Pemkab Probolinggo. Berbagai dokumen dan uang Rp 362,5 juta diamankan sebagai barang bukti.
Puput Tantriana Sari adalah bupati petahana yang menjabat sejak tahun 2013. Sebelumnya, suaminya, Hasan Aminuddin, menjabat sebagai Bupati Probolinggo selama dua periode, yaitu 2003-2008 dan 2008-2013. Saat ini, Hasan menjabat anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Nasdem.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, saat dihubungi, Selasa (31/8/2021), mengatakan, watak politik kekerabatan atau dinasti politik memang bisa berujung pada korupsi. Nafsu untuk melanggengkan kekuasaan melekat pada dinasti politik. Namun, tujuannya bukan pada kepentingan umum, melainkan kepentingan pribadi atau keluarga. Untuk menempati posisi pejabat publik pun, dinasti politik tidak menekankan pada kemampuan individu, tetapi pada garis kekerabatan.
”Bupati Puput melanjutkan kepemimpinan suaminya yang sebelumnya, yaitu Hasan Aminuddin. Dengan komposisi seperti itu, dia pasti menguasai posisi politik dan birokrasi di Probolinggo sehingga bisa melakukan segala kewenangan, termasuk korupsi jual beli jabatan penjabat kades (kepala desa),” tutur Egi.
Dengan situasi itu, lanjut Egi, potensi korupsi menjadi lebih besar. Puput dan suaminya ibarat raja kecil yang menguasai berbagai lini jabatan di daerahnya karena sudah 18 tahun berkuasa.
Catatan ICW, sepanjang 2016, ada enam kepala daerah yang melakukan korupsi berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya. Mereka antara lain bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah, bekas Wali Kota Cimahi Ati Suharti, bekas Bupati Klaten Sri Hartini, bekas Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, bekas Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais, dan bekas Bupati Bangkalan Fuad Amin.
Untuk mengontrol kekuasaan itu, sebenarnya harus diimbangi dengan kekuatan oposisi di DPRD. Namun, Egi meragukan kekuatan oposisi di DPRD melakukan kontrol kekuasaan dengan kondisi dinasti politik Puput yang telah berkuasa selama 18 tahun. Kemungkinan, dinasti politik juga sudah bisa mengamankan peta kekuatan politik lokal.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes sependapat. Di daerah yang dikuasai dinasti politik, kemungkinan memang tidak ada kontrol politik ataupun kontrol publik yang kuat. Eksekutif dan legislatif bahkan kerap kongkalikong untuk memuluskan kepentingan mereka.
”Bisa jadi pula, kekuasaan eksekutif terlalu dominan, sehingga partai oposisi lemah dan tidak didengarkan. Selain itu, tidak ada masyarakat sipil yang kuat dan vokal mengkritik kebijakan pemerintah daerah,” ucap Arya.
Untuk mengatasi persoalan praktik jual beli jabatan, Arya berpandangan, harus ada mekanisme yang diatur agar kepala daerah tidak memiliki wewenang terlalu besar. Mekanisme lelang jabatan bisa dilakukan secara terbuka dengan membuat tim panitia seleksi. Dengan demikian, rekrutmen pejabat bisa benar-benar menerapkan sistem meritokrasi.
Egi berpandangan, munculnya kasus korupsi di daerah dinasti politik juga harus dijadikan momentum untuk kembali menata sistem kepartaian dan kepemiluan di Indonesia. Menurut dia, saat ini ada celah regulasi yang justru melanggengkan dinasti politik. Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Partai Politik mendesak dilakukan.
Selain itu, juga harus ada aturan teknis kepemiluan yang membatasi kelompok dinasti bisa ikut berkontestasi dalam pilkada. Para pembuat undang-undang seharusnya kembali pada semangat reformasi, bahwa salah satu tujuan reformasi adalah menghapuskan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti terlihat dalam politik kekerabatan.