Muhammadiyah Ingatkan agar Amendemen Konstitusi Dipertimbangkan Kembali
Berkaca dari empat kali amendemen di awal reformasi, bukan hanya kebaikan dan kemajuan yang dihasilkan. Sejumlah amendemen itu telah menghilangkan sebagian jati diri bangsa.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan amendemen konstitusi perlu dipertimbangkan kembali dan diputuskan melalui mekanisme musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Pengubahan UUD 1945 rawan dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hal itu bertentangan dengan semangat pendirian bangsa Indonesia sebagai rumah bersama milik semua golongan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, memasuki usia ke-76 Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah, tantangan, dan ancaman. Meski demikian, terdapat pula peluang yang terbuka jika pemerintah dan seluruh komponen bangsa bersatu. Untuk mempersatukan seluruh komponen, diperlukan jiwa kenegarawanan dari seluruh elite politik dan warga bangsa.
Dalam menghadapi gagasan dan kehendak yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kata Haedar, para elite hendaknya mengambil posisi tengah dan menjauhi jalan ekstrem.
Dalam menghadapi gagasan dan kehendak yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kata Haedar, para elite hendaknya mengambil posisi tengah dan menjauhi jalan ekstrem. Jalan musyawarah untuk mufakat perlu diambil alih-alih mementingkan sikap mau menang sendiri. Salah satunya terkait gagasan amendemen UUD 1945 yang belakangan mengemuka dalam beberapa waktu terakhir.
”Dengan kerendahan hati, saya mengajak seyogianya (rencana amendemen) dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan yang autentik,” kata Haedar dalam pidato kebangsaan memperingati HUT Ke-76 RI bertajuk #Indonesiajalantengah dan #Indonesiamilikbersama yang disiarkan secara daring, Senin (30/8/2021).
Berkaca dari empat kali amendemen di awal reformasi, bukan hanya kebaikan dan kemajuan yang dihasilkan. Menurut Haedar, sejumlah amendemen itu telah menghilangkan sebagian jati diri bangsa. ”Jangan sampai di balik gagasan amendemen ini, menguat kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang bangun oleh para pendiri bangsa 76 tahun yang lalu,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, wacana mengenai amendemen konstitusi muncul setelah Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2021, Ketua MPR Bambang Soesatyo kembali melontarkan perlunya pembentukan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai bintang penjuru atau haluan dalam pembangunan nasional. Tujuannya agar ada pembangunan berkelanjutan sekalipun pemimpin negara dapat berganti-ganti setiap pemilu. Pembentukan PPHN itu diusulkan menjadi kewenangan MPR, tetapi diperlukan amendemen konstitusi yang bersifat terbatas.
Haedar melanjutkan, Indonesia dibangun atas semangat pencarian titik temu atau moderasi antar-kepentingan masyarakat sejak perumusan dasar negara, yakni Pancasila. Pancasila dirumuskan dalam proses yang dinamis, mulai dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga menjadi rumusan final pada 18 Agustus 1945 yang menjadi konsensus nasional dari seluruh golongan kebangsaan yang majemuk. Tidak sedikit pengorbanan yang telah dilakukan demi kesepakatan itu, salah satunya dari kelompok agamais yang melepaskan keinginan membentuk negara berdasarkan salah satu ajaran agama.
”Pancasila sebagai titik temu dari kemajuan dan kemajemukan terjadi atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah mufakat. Secara substansial di dalamnya mengandung ideologi tengahan atau moderat,” kata Haedar.
Oleh karena itu, menurut dia, baik Pancasila maupun Indonesia, hendaknya tidak ditarik ke kanan atau pun ke kiri. Keduanya harus tetap berada di tengah menjadi rujukan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dasar negara tidak boleh ditafsirkan atau diimplementasikan dengan pandangan radikal ekstrem apa pun karena jelas bertentangan dengan hakikat Pancasila yang moderat. Strategi membangun pemikiran keindonesiaan pun semestinya menggunakan pendekatan moderasi bukan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem.
”Isu kontroversial seputar tes wawasan kebangsaan (TWK), survei lingkungan belajar, lomba pidato tentang hukum menghormati bendera, dan pemikiran pro kontra lainnya yang berkembang akhir-akhir ini mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya, yakni NKRI, UUD 1945, dan kebinekaan, sebagai ideologi jalan tengah yang moderat,” katanya.
Baik Pancasila maupun Indonesia hendaknya tidak ditarik ke kanan atau pun ke kiri. Keduanya harus tetap berada di tengah menjadi rujukan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Haedar menambahkan, Indonesia sebagai negara bangsa atau nation state merupakan titik temu atau moderasi dari segala proses keragaman. Hal itu terlihat dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang menegaskan kehendak mendirikan negara untuk semua golongan. Mohammad Hatta juga kerap mengatakan pentingnya kolektivitas dalam berbangsa dan bernegara.
Keduanya menjadikan gotong royong sebagai dasar seluruh aspek kehidupan bangsa, agar tidak ada oligarki politik dan ekonomi yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok orang. ”Di tengah keresahan melebarnya kesenjangan sosial, bumi, dan kekayaan alam yang dikuasai segelintir pihak dan oligarki politik, maka Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya, yakni sebagai Indonesia milik semua,” katanya.
Menurut dia, pemerintah wajib melindungi masyarakat untuk mewujudkan keadilan sosial. Kebhinnekaan perlu digelorakan tidak hanya untuk menciptakan persaudaraan dalam keberagaman suku, ras, dan agama, tetapi juga membangun kebersamaan secara politik dan ekonomi. “Kami percaya, masih banyak anak bangsa, termasuk para pejabat negara, politisi, dan pengusaha yang berjiwa luhur untuk tercapainya Indonesia milik bersama,” tutur Haedar.
Kemunduran demokrasi
Secara terpisah, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyepakati bahwa wacana amendemen UUD 1945 perlu dipertimbangkan kembali. Sebab, konstitusi saat ini telah mengandung unsur penting, yakni mengakomodasi moralitas hukum dan pemerintah. Juga telah memberikan kerangka dan prinsip yang tegas pada kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selain itu, UUD 1945 dinilai sudah secara tegas mengatur hak-hak publik dan warga negara Indonesia. Bahasanya pun ditulis secara jelas, komprehensif, dan fleksibel terhadap perkembangan zaman. ”Seharusnya pemerintah kembali ke konstitusi dalam menentukan kebijakan, bukan malah menambah turbulensi dengan mengamendemen konstitusi,” ujarnya.
Ia menambahkan, secara teori dan kenyataan konstitusi bukan kitab suci yang tidak bisa diubah. Akan tetapi, amendemen harus dilakukan dengan batasan yang jelas dan disepakati publik secara tertulis. Tanpa kesepakatan mengenai batas-batas pengubahan, amendemen ibarat membuka kotak pandora yang akan menjadi bola liar.
Pernyataan elite politik tidak bisa menjadi jaminan bahwa amendemen hanya dilakukan untuk memasukkan pokok-pokok haluan negara. Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode pun harus diantisipasi. Apalagi saat ini pemerintah didukung koalisi yang dominan dari MPR/DPR. ”Amendemen konstitusi sangat rawan dimanfaatkan oleh rezim pemerintah untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Tanpa ada batas-batas yang jelas, bukan tidak mungkin amendemen malah menyebabkan kemunduran demokrasi,” kata Azyumardi.