Hambali Diadili, Diprediksi Tak Berpengaruh pada Pergerakan JI
Hambali, pelaku bom Bali yang sudah 14 tahun jadi tahanan di Guantanamo, Kuba, akan diadili militer AS pada 30 Agustus ini waktu setempat. Pengadilan ini diprediksi tak akan picu teror karena JI saat ini telah berubah.
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
KUBA, SENIN — Hambali alias Encep Nurjaman alias Riduan Isamudin, warga negara Indonesia, pelaku teror bom Bali tahun 2002 dan teror bom di Jakarta tahun 2003, menurut rencana akan diadili pada Senin (30/8/2021) waktu setempat dalam persidangan militer Amerika Serikat. Ia akan diadili bersama dua terdakwa lainnya, Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammad Farik bin Amin, keduanya warga negara Malaysia.
Hambali merupakan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) Indonesia dan diyakini sebagai perwakilan tertinggi Al Qaeda untuk wilayah Asia Tenggara. Dengan dukungan Al Qaeda, kelompok tersebut meledakkan sejumlah bom di Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat menyebutkan, Hambali merekrut Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammad Farik bin Amin untuk melakukan operasi jihad. Jaksa menuduh Mohammed Nazir dan Mohammad Farik bertindak sebagai perantara dalam transfer uang untuk mendanai operasi kelompok jihad tersebut.
Hambali diduga terlibat dalam peledakan bom di klub-klub malam di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang. Ia juga diduga terlibat dalam serangan pada 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriott, yang terletak di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, dan menewaskan 12 orang serta puluhan lainnya luka-luka.
Pemerintah Amerika Serikat menyebutkan, Hambali merekrut Mohammed Nazir bin Lep dan Mohammad Farik bin Amin untuk melakukan operasi jihad. Jaksa menuduh Mohammed Nazir dan Mohammad Farik bertindak sebagai perantara dalam transfer uang untuk mendanai operasi kelompok jihad tersebut.
Ketiganya ditangkap di Thailand pada tahun 2003. Pada 2006, ketiganya ditahan di Penjara Militer AS di Teluk Guantanamo, Kuba, hingga kini.
Diberitakan sebelumnya, jaksa penyidik militer AS telah mengajukan tuntutan resmi terhadap Hambali yang dikeluarkan oleh Pentagon, sehari setelah Joe Biden dan Kamala Harris dilantik sebagai presiden dan wakil presiden AS pada akhir Januari lalu. Tuntutan itu diajukan setelah hampir 18 tahun ketiganya tertangkap di Thailand dan menghabiskan lebih dari 14 tahun menjalani masa tahanan di Teluk Guantanamo.
Menanggapi rencana persidangan ini, Brian Bouffard selaku pengacara Mohammed Nazir bin Lep mengatakan, pihaknya telah berusaha menunda kasus ini karena sejumlah alasan. Salah satunya adalah akses yang tak memadai ke penerjemah dan sumber daya lainnya untuk melakukan pembelaan.
Keterkaitan langsung jejaring Hambali yang beroperasi pada kurun waktu 1998 sampai 2003 sudah terputus dengan generasi Jamaah Islamiyah (JI) terbaru. (Ridlwan Habib)
Tak picu gerakan
Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib mengatakan, keterkaitan langsung jejaring Hambali yang beroperasi pada kurun waktu 1998 sampai 2003 sudah terputus dengan generasi Jamaah Islamiyah (JI) terbaru. Menurut dia, JI yang sekarang direkrut pada saat JI ”menidurkan diri”, sembunyi atau tiarap.
”Saya tidak melihat ada pengaruh secara langsung kemungkinan itu (aksi JI di dalam negeri dengan diadilinya Hambali oleh Pemerintah AS). Kekhawatiran berlebihan, saya rasa tidak perlu,” jelasnya.
Menurut Ridlwan, ”Neo” JI yang ada sekarang ini terbukti melakukan upaya persiapan saja. Salah satunya terungkap lewat penggalangan dana yang sampai Rp 126 miliar. ”Mereka tidak melakukan serangan apa pun dengan uang miliaran itu,” ucap Ridlwan.
Strategi ”Neo” JI ini, menurut Ridlwan, mirip dengan cabang-cabang Al Qaeda di negara lain, yakni kudeta merayap dan nirkekerasan. Mereka lebih fokus pada serangan ideologis, seperti menyebarkan paham bahwa negara Islam itu baik, Pancasila dapat digandeng dengan sistem Islam, dan itu disebarkan secara damai.
Lain halnya dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), lanjutnya, yang mengutamakan aksi, seperti melukasi polisi dan menyerang polres. ”Namun, yang JI ini lebih cerdas. Mereka tahu, kalau mereka melakukan serangan atau teror, akan membuat simpati masyarakat terhadap kelompok ini turun. Sementara mereka berkepentingan untuk memperoleh dukungan dari suara publik. Mereka ingin copy paste gaya kemenangan Taliban, merayap, pelan-pelan, tetapi masyarakat mendukung. Mereka ingin seperti itu, tetapi konteksnya Indonesia,” jelas Ridlwan. (AP)