Wali Kota Tanjungbalai Nonaktif Syahrial Kembali Ditetapkan Jadi Tersangka
Kali ini, KPK menetapkan Syahrial sebagai tersangka dalam kasus jual beli jabatan. Ia diduga menerima Rp 200 juta dari Yusmada agar Yusmada bisa menjabat Sekda Tanjungbalai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar praktik jual beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara. Yusmada diduga memberikan uang Rp 200 juta kepada Wali Kota Tanjungbalai nonaktif M Syahrial agar dapat menduduki jabatan sekretaris daerah.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jumat (27/8/2021), mengatakan, ada dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara lelang jabatan di Pemkot Tanjungbalai tahun 2019. Mereka adalah Wali Kota Tanjungbalai nonaktif M Syahrial dan Sekretaris Daerah Tanjungbalai Yusmada.
”Guna proses penyidikan, tim penyidik telah memeriksa 47 saksi dan juga menyita di antaranya uang sejumlah Rp 100 juta,” ujar Karyoto.
Dalam perkara ini, Yusmada diduga sebagai pemberi dan disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Adapun Syahrial diduga sebagai penerima dan disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Yusmada akan ditahan selama 20 hari pertama, mulai 27 Agustus sampai 15 September 2021 di Rumah Tahanan KPK pada Gedung KPK. Sedangkan Syahrial tidak ditahan karena saat ini sedang menjalani penahanan dalam perkara lain, yakni kasus dugaan suap penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai. Dalam kasus tersebut, Syahrial ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyuap penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, Rp 1,695 miliar agar kasus jual beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai tak ditingkatkan ke penyidikan. Perkara ini sekarang sedang bergulir di pengadilan.
Karyoto menjelaskan, perkara ini bermula pada Juni 2019. Syahrial menerbitkan surat perintah terkait seleksi terbuka jabatan tinggi pimpinan pratama sekretaris daerah Tanjungbalai. Dalam surat perintah tersebut, Yusmada yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Tanjungbalai masuk sebagai salah satu pelamar seleksi.
Setelah mengikuti beberapa tahapan seleksi, pada Juli 2019 di Kantor Disperkim Tanjungbalai, Yusmada bertemu dengan teman sekaligus orang kepercayaan dari Syahrial, Sajali Lubis. Dalam pertemuan tersebut, Yusmada diduga menyampaikan kepada Sajali untuk memberikan uang sejumlah Rp 200 juta kepada Syahrial dan langsung ditindaklanjuti oleh Sajali dengan menelepon Syahrial. Kemudian, hal itu disetujui oleh Syahrial.
Pada September 2019, Yusmada dinyatakan lulus dan terpilih sebagai Sekretaris Daerah Tanjungbalai berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Tanjungbalai yang ditandatangani oleh Syahrial. Atas terpilihnya Yusmada, Sajali atas perintah Syahrial kembali menemui Yusmada untuk menagih dan meminta uang sebesar Rp 200 juta.
”YM (Yusmada) langsung menyiapkan uang yang diminta dengan melakukan penarikan tunai sebesar Rp 200 juta di salah satu bank di Tanjungbalai Asahan dan setelahnya langsung diserahkan ke Sajali Lubis untuk diteruskan ke MSA (Syahrial),” tutur Karyoto.
Menurut Karyoto, penanganan perkara ini masih fokus pada pemberi dan penerima. Namun, tak menutup kemungkinan jika dikembangkan ke pihak-pihak lain, seperti DPRD Tanjungbalai atau para kepala dinas di Tanjungbalai. Apalagi, lanjutnya, jabatan kepala dinas tertentu, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atau Disperkim, dianggap berpotensi menjadi ladang jual beli jabatan.
”Kita tahu kemarin Nganjuk di level kepala desa saja ada harganya, apalagi yang mungkin kepala dinas dan apalagi kepala dinas PUPR. Siapa pun yang terlibat, itu, kan, bisa DPRD dan siapa saja, tetapi, kami tak berani menduga-duga. Yang jelas, kami kembali pada ketercukupan alat bukti, barang bukti, atau mungkin pengakuan-pengakuan yang bisa mengarah ke arah sana,” ucap Karyoto.
Pada prinsipnya, lanjut Karyoto, KPK tak akan berhenti mengingatkan kepada penyelenggara negara, termasuk para kepala daerah, agar berpegang teguh pada sumpah dan jabatan. Mereka tidak boleh mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
”Jabatan penyelenggara negara didasarkan pada kompetensi dan merupakan amanah yang harus dijaga untuk melayani publik, bukan untuk mendapatkan penghasilan dengan melakukan berbagai tindak penyimpangan yang salah satunya adalah korupsi,” tutur Karyoto.
Putusan pelanggaran etik
Sementara itu, terkait dugaan pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di dalam kasus jual beli perkara yang melibatkan pula Syahrial, Dewan Pengawas KPK akan membacakan putusannya pada Senin (30/8/2021) mendatang.
”Sudah selesai semua, tinggal putusan,” ujar anggota Dewas KPK, Albertina Ho.
Albertina menyampaikan, sidang putusan akan dilaksanakan secara terbuka dan bisa diakses publik. ”Seperti biasa, ada konpers (konferensi pers) setelah sidang,” katanya.
Sebelumnya, dugaan pelanggaran etik Lili dilaporkan oleh Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi nonaktif KPK Sujanarko serta penyidik (nonaktif) KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata. Laporan dilayangkan pada 8 Juni 2021.
Ada dua dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan. Pertama, dugaan Lili menghubungi dan menginformasikan perkembangan penanganan kasus dugaan jual beli jabatan yang melibatkan Syahrial. Lili diduga melanggar prinsip integritas yang tercantum pada Pasal 4 Ayat (2) Huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Kedua, Lili diduga menggunakan posisinya sebagai unsur pimpinan KPK untuk menekan Syahrial demi urusan penyelesaian masalah kepegawaian yang dialami adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis, di Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kualo Tanjungbalai. Terkait hal ini, Lili diduga melanggar prinsip integritas yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b, Peraturan Dewan Pengawas KPK No 2/2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.