Terkait Polemik TWK KPK, Presiden Tak Perlu Menunggu Putusan MK dan MA
Presiden Jokowi diharapkan segera mengambil alih penyelesaian polemik TWK KPK. Jika tidak, bisa menimbulkan spekulasi. Presiden, misalnya, bisa dianggap menghadapi ketakutan secara politis.

Presiden Joko Widodo
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diharapkan bijaksana melihat polemik tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam manajemen aparatur sipil negara, Presiden dapat mengambil alih persoalan itu, apalagi dengan dasar temuan Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jika Presiden tak kunjung bersikap, ini akan menjadi warisan negatif di masa jabatannya.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (27/8/2021), mengatakan, Presiden tak bisa mengalihkan polemik peralihan status pegawai KPK dengan menunggu terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Presiden sebenarnya bisa segera mengambil alih persoalan ini secara mandiri sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Lebih dari itu, Presiden juga dapat memutuskan berdasarkan rekomendasi yang sudah diberikan oleh Komnas HAM dan temuan ORI. Apalagi, berdasarkan temuan Komnas HAM dan ORI, sudah jelas proses alih status pegawai KPK sarat pelanggaran HAM dan malaadministrasi.
”Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Ini berkaitan dengan masa depan pemberantasan korupsi dan perannya sebagai penanggung jawab administrasi tertinggi. Jamnya, kan, akan jalan terus dan pegawai (KPK) yang tak lolos tes akan diberhentikan pada 1 November. Nah, menurut saya, langkah ini harusnya diambil secara bijaksana oleh Presiden,” ujar Zainal.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menyampaikan, Presiden Jokowi menghormati rekomendasi Komnas HAM dan temuan ORI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Namun, Presiden belum akan melaksanakannya. Presiden masih menunggu putusan MK dan MA atas gugatan terhadap peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Sikap ini sama seperti pimpinan KPK.
Baca juga : Soal Polemik TWK KPK, Presiden Ikut Menunggu Putusan MK dan MA

Dosen Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar
Menurut Zainal, Presiden tidak rugi jika membuat keputusan sesuai rekomendasi Komnas HAM dan ORI. Sebaliknya, jika Presiden tak segera bersikap, itu malah akan menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan di publik.
Pertama, Presiden akan dinilai tengah menghadapi ketakutan secara politis. Kedua, Presiden akan dinilai lebih percaya kepada KPK daripada ORI dan Komnas HAM. Hal ini menjadi ironis karena temuan ORI dan Komnas HAM telah mengacu pada putusan MK terkait pengujian UU No 19/2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK. Putusan yang menyatakan proses pengalihan status tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN itu juga disampaikan Presiden pada 17 Mei 2021.
”Jangan-jangan bisa kita balik semua bahwa ternyata Presiden tak percaya diri dengan pidatonya sendiri. Presiden bilang, jangan sampai merugikan pegawai. Tetapi, ini terbukti ada kerugian, malah Presiden tak mengambil langkah apa-apa,” ucap Zainal.
Konteks negara hukum
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti berpandangan, untuk mengatasi persoalan ini, Presiden perlu memahami relasi antara negara dan warga negara dalam konteks negara hukum yang demokratis.

Dalam negara hukum yang demokratis, setiap orang atau warga negara berhak untuk memerkarakan negara. Hal ini terjadi karena hubungan antara negara dan individu atau warga negara, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan hubungan.
Berbagai macam cara untuk menyeimbangkan hubungan ini, salah satunya berupa gugatan di pengadilan, permohonan pengujian UU, mengajukan keberatan ke ORI, atau ke lembaga lain yang relevan, misalnya Komnas HAM.
Baca juga : Komnas HAM: Ada 11 Bentuk Pelanggaran HAM dalam Asesmen TWK KPK
Permohonan pengujian ke MK dan MA pada dasarnya berupa pengujian norma yang menggunakan hukum sebagai dasar pengujian. Adapun keberatan yang disampaikan ke ORI atau Komnas HAM diperiksa melalui standar atau ukuran-ukuran sesuai dengan fungsi lembaga tersebut.
ORI, misalnya, akan menggunakan standar atau ukuran dalam kerangka pelayanan publik untuk menilai ada tidaknya malaadministrasi. Kemudian, Komnas HAM menginvestigasi apakah telah terjadi pelanggaran HAM atau tidak.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti
”Jika berpegang pada fungsi, tugas, dan wewenang setiap lembaga dalam paradigma lebih luas, tentu Presiden tidak perlu menunggu putusan MK dan MA. Apalagi Presiden pernah mengeluarkan statement bahwa TWK tidak boleh digunakan sebagai alasan. Artinya, Presiden tampak tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri,” ujar Susi.
Padahal, lanjut Susi, dalam perspektif hak, pernyataan yang sudah disampaikan oleh Presiden sebagai pejabat yang memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 telah cukup menimbulkan pengharapan agar pejabat-pejabat di bawahnya mematuhi pernyataan tersebut. Namun, nyatanya, pernyataan Presiden juga diabaikan oleh KPK maupun Badan Kepegawaian Negara.
”Presiden sudah pernah menyatakan tentang TWK, dan ketika pejabat bawahannya tidak menjalankan, Presiden sebagai pejabat administrasi negara tertinggi dapat mengambil alih urusan tersebut. Presiden adalah pemimpin penyelenggaraan administrasi negara tertinggi,” tutur Susi.
Menurut Susi, jika Presiden tak kunjung menjalankan rekomendasi Komnas HAM dan ORI, prinsip negara hukum akan tergerus oleh sikap dan tindakan penguasa. ”Rakyat tidak memperoleh beragam keadilan, yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah,” katanya.

Salah satu poster yang dibawa pengunjuk rasa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM IPB) di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Warisan negatif
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, pun mengingatkan Presiden agar memberi atensi khusus pada problem polemik TWK pegawai KPK. Jika tidak, tak tertutup kemungkinan Presiden akan dikenang dalam sejarah sebagai presiden yang melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi. ”Orang bisa jadi tidak akan ingat capaian-capaian Presiden Jokowi di pembangunan-pembangunan fisik. Maka, yang soal nonfisik harus pula diperhatikan Presiden,” tambahnya.
Dalam konteks rekomendasi Komnas HAM dan ORI, Arsul mengatakan, jika rekomendasi itu dijalankan Presiden, akan memberikan pesan positif bahwa Presiden mengapresiasi kelembagaan negara. Ini sekaligus akan menguatkan praktik bernegara. ”Bahwa ada lembaga yang dibentuk dengan UU dan kewenangannya dihormati oleh rumpun kekuasaan eksekutif,” ujarnya.
Sebaliknya, jika dikesampingkan, pesan negatif yang akan tersampaikan. ”Semisal, dari sisi ketatanegaraan, akan menimbulkan pertanyaan apakah keberadaan lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan ORI itu kemudian masih dibutuhkan,” kata Arsul.
Selain itu, menurut dia, tidak tepat jika Presiden menunggu putusan MK. Sebab, MK sudah memutuskan terkait alih status pegawai KPK. Putusan MK yang keluar nanti diyakininya tak akan bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. Adapun mengenai putusan MA, perlu dicek sejauh mana relevansi antara aturan yang diuji ke MA dan rekomendasi Komnas HAM dan ORI.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani
”Harus jelas relevansinya apa untuk menunggu. Untuk ini, tim hukum Presiden harus mengecek dan memberi masukan ke Presiden,” ujarnya.
Untuk diketahui, saat ini, MK memang sedang menyidangkan perkara uji materi Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang mengatur ketentuan bahwa pegawai KPK harus menjadi ASN. Gugatan diajukan KPK Watch Indonesia. MA juga tengah menguji Peraturan KPK No 1/2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN.
Hal lain yang patut dipertimbangkan, implikasinya jika putusan MK dan MA keluar setelah 1 November. ”Maka itu akan menimbulkan komplikasi karena arah kebijakan yang ada sekarang, 51 pegawai KPK diberhentikan karena tak lolos TWK. Kalau sudah berhenti kemudian katakanlah putusan MK dan MA menguntungkan 51 pegawai KPK, terus bagaimana konstruksi pengangkatan kembali mereka?” tambahnya.
Baca juga : Ombudsman Temukan Malaadministrasi Berlapis dalam Tes Wawasan Kebangsaan KPK
Konfirmasi Dewas KPK
Sementara itu, anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, menuturkan, saat ini ORI tengah menyusun rekomendasi yang ditujukan kepada Presiden. Rekomendasi tersebut ditargetkan selesai pada akhir Agustus ini atau awal September. Dalam penyusunan rekomendasi, ORI telah meminta konfirmasi kepada KPK, Dewan Pengawas KPK, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Badan Kepegawaian Negara (BKN).
”Itu cara Ombudsman ketika merumuskan rekomendasi, bukan kami secara sepihak. Paling tidak, kami sudah memberikan ruang bagi mereka untuk menyampaikan hal-hal yang penting,” kata Robert.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng
Robert menjelaskan, rekomendasi itu disusun karena tindakan korektif sebagaimana disebutkan dalam laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) belum dijalankan KPK. Sementara BKN, menurut dia, sedang dalam proses di mana tindakan korektif yang disampaikan ORI akan memperkuat proses penyusunan yang sedang dikerjakan BKN.
Ia pun menyayangkan jika sikap Presiden dan KPK lebih memilih menunggu putusan MA dan MK dibandingkan nantinya menjalankan rekomendasi ORI. Sebab, mengacu pada Pasal 52 dan Pasal 53 UU Pelayanan Publik, pengajuan gugatan ke pengadilan tidak menghapus kewajiban penyelenggara negara untuk melaksanakan keputusan ORI. Dengan kata lain, proses hukum di MA dan MK tak bisa dijadikan alasan untuk menunda melaksanakan tindakan korektif atau saran perbaikan yang disampaikan oleh ORI.
”Jadi, jika sekarang ada proses hukum di MK dan MA, itu silakan berlanjut. Tetapi, menjalankan putusan Ombudsman itu tidak kemudian menunggu MK dan MA. Putusan Ombudsman wajib dilaksanakan dulu dan itu sudah dipertegas dalam UU Pelayanan Publik. Itu sudah clear (jelas),” kata Robert.
Saat dikonfirmasi, Pelaksana Tugas Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, BKN telah menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan ORI. Peta jalan pengembangan, pembangunan alat ukur penilaian kompetensi, dan pengembangan SDM, yang disarankan ORI, telah menjadi program BKN. ”Tindakan korektif yang ditujukan untuk KPK dan BKN berbeda. Pengalihan status itu tindakan korektif yang ditujukan untuk KPK, bukan BKN,” ujar Bima.