Parpol Nilai Amendemen Konstitusi Tidak Mendesak
Amendemen bukan kebutuhan utama publik di masa pandemi Covid-19. Saat ini, publik juga lebih fokus dalam penanganan pandemi.
JAKARTA, KOMPAS — Partai-partai politik di Tanah Air menilai amendemen konstitusi saat ini tidak mendesak dilakukan dan bukan merupakan kebutuhan utama publik di masa pandemi. Selain itu, saat ini publik juga lebih fokus dalam penanganan pandemi daripada memikirkan soal amendemen konstitusi yang masih dalam tahap kajian di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pemerintah pun memilih tidak ikut campur dalam wacana amendemen konstitusi.
Wacana mengenai amendemen konstitusi itu muncul setelah dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 16 Agustus 2021, Ketua MPR Bambang Soesatyo kembali melontarkan perlunya pembentukan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai bintang penjuru atau haluan dalam pembangunan nasional.
Tujuannya ialah pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan sekalipun pemimpin negara dapat saja berganti-ganti setiap pemilu. Pembentukan PPHN itu diusulkan menjadi kewenangan MPR yang diatur di dalam konstitusi. Namun, untuk mengatur kewenangan MPR itu, diperlukan amandemen konstitusi yang sifatnya terbatas.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Integrity Law Firm, Kamis (26/8/2021), mengatakan, amendemen konstitusi merupakan kewenangan MPR. Oleh karena itu, pemerintah tidak ikut campur di dalam pembahasannya. Pemerintah juga tidak dalam posisi menyetujui atau tidak menyetujui amendemen.
Baca Juga: Amendemen Konstitusi Masih dalam Kajian
Pemerintah, lanjut Mahfud, hanya akan menyediakan lapangan politik yang kondusif dalam pembahasannya jika dirasakan amendemen konstitusi itu perlu oleh MPR. Namun, jika dirasakan tidak perlu juga tidak menjadi suatu persoalan bagi pemerintah.
”Pemerintah tidak ikut campur atau menyatakan setuju atau tidak setuju. Sebenarnya pun perubahan itu tidak perlu persetujuan pemerintah,” katanya.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, fraksinya menilai amendemen konstitusi saat ini bukan sesuatu yang mendesak dilakukan di masa pandemi. Semua pihak diharapkan fokus pada penanganan pandemi. Terlebih lagi, proses amendemen konstitusi itu harus mengikuti ketentuan yang diatur di dalam Pasal 37 UUD 1945.
”Proses amendemen itu kan masih jauh. Yang diamendemen itu apa dan rumusannya bagaimana itu saja belum final di Badan Pengkajian MPR. Kedua, usulan amendemen konstitusi yang harus disampaikan oleh sepertiga dari anggota MPR, kan, belum jelas siapa,” katanya.
Usulan amendemen itu memang merupakan rekomendasi dari MPR periode 2009-2014, yang kemudian disampaikan kepada MPR periode berikutnya (2014-2019), sampai pada MPR periode saat ini (2019-2024).
Meski demikian, rekomendasi dari MPR itu, menurut Arsul, harus terlebih dulu melalui proses politik sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Pengajuan usulan amendemen UUD 1945 itu minimal dapat diagendakan dalam sidang MPR jika diajukan oleh sepertiga anggota MPR.
Bukan prioritas
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya setuju jika wacana amendemen konstitusi saat ini sebaiknya tidak dilakukan terlebih dulu. Kendati demikian, PDI-P adalah partai yang secara resmi menyebut amendemen konstitusi merupakan isu penting yang diamanatkan di dalam keputusan Kongres V PDI-P di Bali, 2019, agar ada haluan negara.
Namun, menurut Hasto, gagasan itu pun sebaiknya juga melihat nuansa kebatinan rakyat. PDI-P menilai kehidupan perekonomian rakyat saat ini terkena dampak pandemi secara langsung.
”Pandemi Covid-19 ini membuat kemudian kami berpikir bahwa apa pun, skala prioritas saat ini adalah gotong royong di dalam mengatasi pandemi ini. Atas hal tersebut, ibu ketua umum, Ibu Megawati (Megawati Soekarnoputri), terkait amendemen, sudah menegaskan bahwa kebijakan PDI Perjuangan adalah slowing down, terkait dengan amendemen UUD 45,” katanya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, Indonesia perlu memiliki satu haluan negara untuk memberikan desain bagi Indonesia di masa depan. ”Kita Republik Indonesia dimerdekakan, bukan hanya untuk 100 tahun, melainkan untuk 200 tahun, 300 tahun, dan beratus-tahun yang akan datang. Itu sebabnya kemudian haluan negara yang dipikirkan itu menjadi pemikiran para pemimpin kita supaya desain negara yang panjang bisa menjadi berkesinambungan,” ucapnya.
Namun, memperhatikan situasi dan perkembangan yang ada, partainya memilih untuk menunggu. ”Tetapi, sekali lagi, akhirnya kita menunggu beberapa hal yang sedang dipersiapkan oleh MPR,” kata Muzani.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dalam peringatan ulang tahun ke-23 PAN mengatakan, amendemen itu diyakini tidak akan terjadi hingga 2024. Semua pihak pun diharapkan tidak perlu khawatir berlebihan dengan wacana amendemen konstitusi itu karena semua masih dalam proses kajian di MPR.
Adapun Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan, sampai saat ini pun di antara partai-partai masih ada perbedaan pendapat soal amandemen konstitusi ini. Dalam hal pembentukan PPHN, ada partai yang menilai itu tidak perlu dilakukan melalui amendemen konstitusi, tetapi cukup melalui undang-undang. Namun, ada partai lainnya yang berpikiran itu tetap perlu diatur melalui amendemen konstitusi. Belum ada kesepakatan di dalam partai-partai dalam melihat posisi PPHN jika dikaitkan denggan amendemen konstitusi.
”Namun, saya lihat kecil kemungkinan akan dilakukan amendemen karena rakyat tidak butuh itu. Apalagi, yang rakyat perlukan ialah kesehatan yang terjaga, dapat mengatasi Covid-19, sehingga amendemen bukan menjadi kebutuhan mendesak. Itu persis yang PKB sampaikan juga. Amendemen belum menjadi sesuatu yang mendesak di era Covid-19,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Jazilul, wacana amendemen konstitusi itu baru dikaji Badan Pengkajian MPR. Namun, masih terbuka kemungkinan wacana itu disetujui ataupun tidak disetujui oleh anggota fraksi dan kelompok di MPR. Sebab, terkait usulan masuknya PPHN, masih ada dua pemahaman atau pendapat yang berbeda di antara fraksi-fraksi dan kepentingan di MPR.
Jamin tidak meluas
Terkait wacana amandemen konstitusi ini, Ketua MPR Bambang Soesatyo menjamin, amandemen itu terbatas hanya pada pasal tertentu. Ia menyebut ada dua pasal yang dapat diubah untuk memasukkan pengaturan mengenai PPHN, yakni pada Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945.
”Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” katanya.
Namun, saat ini kajian mengenai hal itu masih dilakukan oleh Badan Kajian MPR dan Komisi Ketatanegaraan MPR, yang melibatkan para pakar dan ahli dari berbagai kementerian dan lembaga serta institusi pendidikan. Bambang menargetkan kajian mengenai PPHN itu tuntas pada 2022. Selanjutnya, pimpinan MPR akan menjalin komunikasi politik dengan para pimpinan partai politik, kelompok DPD, dan pemangku kepentingan lainnya.
Bambang mengatakan, sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, pengajuan usulan amendemen itu harus jelas pasalnya dan disertai dengan alasan tertulis. Oleh karena itu, ia menjamin, kalau terjadi amendemen, pembahasannya tidak akan melebar kepada hal-hal lain di luar PPHN, seperti perpanjangan masa jabatan presiden, mengubah periodesasi jabatan presiden, dan mengubah tata laksana pemilu langsung, dan perubahan sistem presidensial.
Dihubungi terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, pernyataan politisi yang menyebutkan mereka tidak akan melakukan amendemen konstitusi dalam waktu dekat itu tetap harus disikapi dengan kritis. Sebab, wacana itu bahkan telah disampaikan di dalam Sidang Tahunan MPR, dan beberapa kali pula hal itu dibahas oleh pimpinan MPR. Pimpinan MPR bahkan pernah bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk membahas amendemen konstitusi tersebut.
”Sebelum ada keputusan politik resmi dari MPR yang mengatakan amandemen konstitusi tidak dilakukan, publik mesti berhati-hati dengan wacana yang berkembang,” ucapnya.