Upaya perbaikan oleh Kementerian BUMN dan BUMN dinilai belum optimal. Selain masih lemahnya kontrol internal, pemilihan direksi dan komisaris di BUMN yang berdasarkan kalkulasi politik masih membuka celah korupsi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Seolah tidak ada habisnya, persoalan korupsi di badan usaha milik negara kembali terjadi. Setelah kasus di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) terkuak, penyidik Kejaksaan Agung kini mendalami dugaan tindak pidana korupsi di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia atau Perum Perindo yang kini bernama PT Perikanan Indonesia (Persero).
Rentetan kasus dugaan korupsi di tubuh BUMN tersebut seperti hendak menunjukkan adanya persoalan sistemik yang membelit tubuh BUMN. Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyidik kasus dugaan korupsi dan pencucian uang di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2008-2018 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 16,81 triliun. Dugaan korupsi ini terbukti. Sejumlah pelakunya kini menjalani hukuman setelah vonis atas mereka berkekuatan hukum tetap.
Sementara proses hukum kasus Asuransi Jiwasraya berjalan, penyidik Kejaksaan Agung menyidik kasus lain di BUMN, yakni dugaan korupsi dan pencucian uang di PT Asabri (Persero) untuk periode 2012-2019. Jumlah dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus itu disebutkan jauh lebih besar, yakni sebesar Rp 22,7 triliun.
Selain jumlah kerugian keuangan negara yang fantastis, kedua kasus tersebut memiliki benang merah, yakni diduga melibatkan pihak swasta yang sama, yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. Selain itu, dari kasus tersebut, selalu terdapat keterlibatan dari direksi dan petinggi BUMN.
Selain kedua kasus tersebut, terdapat beberapa kasus yang juga melibatkan petinggi atau mantan petinggi BUMN. Sebut saja kasus dugaan proyek fiktif oleh 5 petinggi PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus lain yang ditangani KPK adalah dugaan korupsi pengadaan dan pemeliharaan tiga unit quayside container crane yang menyeret mantan Direktur Utama Pelindo II.
Adapun yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) terdapat kasus dugaan gratifikasi dalam pemberian fasilitas kredit BTN yang menyeret mantan direktur utama Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk ke meja hijau.
Kemudian, dalam kasus dugaan korupsi proses pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) batubara seluas 400 hektar dari PT Citra Tobindo Sukses Perkasa kepada PT Indonesia Coal Resources, anak perusahaan PT Antam Tbk, penyidik Kejagung menetapkan 6 tersangka yang salah satunya adalah mantan Dirut PT Antam Tbk.
Yang terbaru, Kejagung memulai penyidikan terhadap dugaan korupsi di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia atau Perum Perindo yang kini bernama PT Perikanan Indonesia (Persero) pada 2016-2019. Penyidikan dilakukan terkait dengan adanya piutang macet sebesar Rp 181,1 miliar yang diduga terjadi karena kontrol perusahaan yang lemah. Penyidik tengah mendalami kasus tersebut dengan memeriksa jajaran petinggi BUMN di bidang perikanan tersebut.
Terhadap kasus dugaan korupsi di Perum Perindo, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, dalam keterangan tertulis, Rabu (25/8/2021), berharap agar kasus korupsi di Perum Perindo tersebut cepat dituntaskan. Selain itu, Kementerian BUMN mendukung dan menghormati proses penyidikan yang dilakukan Kejagung.
”Kasus Perum Perindo merupakan kasus lama, sebelum saya menjabat. Oleh karena itu, saya mendorong semaksimal mungkin agar kasus ini tuntas dan direksi-direksi yang mengetahui dan terlibat siap mempertanggungjawabkan,” kata Erick.
Menurut Erick, sejak menekankan prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan terus gencar menanamkan ”AKHLAK” sebagai core value di kementerian dan perusahaan BUMN, Kementerian BUMN secara intensif melibatkan lembaga pengawasan keuangan pemerintah untuk memberikan edukasi dan pengawasan keuangan negara. Lembaga pemerintah tersebut, antara lain, adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejagung, serta KPK.
Slogan ”AKHLAK” merupakan singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Sementara mengutip laman Kementerian BUMN, sepanjang 2019, tercatat ada 159 kasus dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN. Dari jumlah itu, sebanyak 53 orang atau sekitar 30 persen dinyatakan sebagai tersangka.
”Kalau ada karyawan BUMN yang mengetahui indikasi korupsi, lapor saya! Saya tegas, tidak menoleransi dan tidak kompromi terhadap praktik korupsi di lingkungan BUMN,” ujar Erick.
Sekalipun sudah ada upaya perbaikan, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, kultur BUMN secara umum belum banyak berubah. Korupsi masih kerap mewarnai. Apalagi dengan sistem pengawasan yang dilihatnya masih lemah.
Ditambah lagi, masih kentaranya kepentingan politik praktis di BUMN sebagai imbas dari penempatan politisi untuk jabatan posisi komisaris atau direksi BUMN. Tak hanya itu, konflik kepentingan yang memungkinkan terjadi berisiko membuat korupsi belum akan sirna dari BUMN.
”Mereka belum tentu memiliki kompetensi, sementara mereka bisa jadi memiliki kepentingan tertentu, seperti mencari proyek atau meminta fasilitas ke BUMN. Di sisi lain, ketika pimpinan tertinggi BUMN memiliki suatu kehendak, tidak ada pengawasan atau koreksi baik dari komisaris maupun bawahannya,” ujar Zaenur.
Menurut Zaenur, masuknya BUMN menjadi perusahaan terbuka memang dapat membuatnya semakin akuntabel karena harus memenuhi standar tertentu serta meningkatkan pengawasan publik. Meski demikian, hal itu tidak menjamin sebuah BUMN bebas dari korupsi.
Oleh karena itu, lanjut Zaenur, untuk meminimalisasi korupsi di BUMN, tata kelola perusahaan yang baik harus diterapkan beserta sistem antipenyuapan. Sebab, selama ini penyuapan menjadi pintu masuk terjadinya korupsi, melumpuhkan pengawasan, yang akhirnya menghancurkan sistem.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo berpandangan, dua fungsi BUMN, yakni bersifat publik karena mendapat kucuran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus bersifat swasta karena menjalankan bisnis dengan berorientasi profit, membuatnya tidak kompetitif. Ketika BUMN masuk ke ranah publik atau negara, BUMN tidak kedap dari berbagai pengaruh dari luar, yakni dari ekosistem politik, ekosistem pemerintahan, serta ekosistem birokrasi.
”BUMN sebagai unit bisnis pemerintah tidak bisa kompetitif karena kultur organisasinya bukan swasta murni sehingga itu membuatnya menjadi lamban, gemuk, banyak penyakit. Justru hampir setiap tahun negara harus memberikan penyertaan modal negara (PMN) yang nilainya jauh lebih besar dari kontribusi pendapatan yang diserahkan BUMN kepada negara,” ujar Adnan.
Dari catatan Kompas, saat ini terdapat lebih dari 140 perusahaan BUMN beserta 800 anak, cucu, hingga cicit perusahaannya. Sementara untuk 2022 akan dikucurkan PMN bagi 12 BUMN sebesat Rp 72,449 triliun atau 2 kali lipat dari kucuran PMN pada 2021. (Kompas, 10/7/2021)
Menurut Adnan, tata kelola perusahaan yang baik telah coba diterapkan di BUMN. Namun hasilnya tidak maksimal karena sistem kontrol internal tidak berjalan. Sementara direksi dan komisaris di BUMN dipilih oleh Menteri BUMN yang diangkat berdasarkan kalkulasi politik. Hal itu dinilai berimbas pada pemilihan jajaran komisaris dan direksi yang datang dan pergi dengan kepentingannya masing-masing.
”Jangan heran fenomena seperti para tim sukses diakomodasi untuk masuk ke BUMN yang semakin membuat BUMN mengalami sakit karena diawasi oleh orang yang tidak kompeten,” ujar Adnan.
Menurut Adnan, dengan ekosistem yang ada seperti sekarang, potensi korupsi di tubuh BUMN tidak akan hilang. Di sisi lain, kehadiran negara yang selalu siap menyuntikkan PMN yang merupakan uang rakyat ke BUMN yang sakit, seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero), membuat mereka tidak pernah belajar dari kesalahan.
Sebagai contoh, lanjut Adnan, apabila kasus seperti Asuransi Jiwasraya dengan kerugian triliunan terjadi di perusahaan swasta, perusahaan itu akan mati. Hal itu kemudian menjadi pembelajaran bagi perusahaan lain agar tidak mengulang hal yang sama.
”Ada dua cara memperbaiki BUMN, yakni membubarkan BUMN yang tidak relevan atau BUMN hanya untuk sektor yang benar-benar pokok dan harus disterilkan dari politik,” ujar Adnan.