Soal Polemik TWK KPK, Presiden Ikut Menunggu Putusan MK dan MA
Komnas HAM menyayangkan sikap Presiden Jokowi. Substansi gugatan di MK dan MA tak sama dengan pelanggaran HAM yang ditemukan Komnas HAM dalam pelaksanaan TWK KPK. Rekomendasi Komnas HAM seharusnya dilaksanakan Presiden.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski menghormati rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan temuan Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Joko Widodo belum akan melaksanakannya. Presiden bersikap sama seperti pimpinan KPK yang menunggu putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung atas gugatan terhadap peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono saat dihubungi di Jakarta, Rabu (25/8/2021), mengatakan, Presiden menghormati temuan Ombudsman serta rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM. Ia pun menegaskan, arahan Presiden terkait peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak berubah.
”Arahan Presiden terkait hal pengalihan status pegawai KPK telah disampaikan sebelumnya dan tidak berubah,” ujar Dini.
Untuk diketahui, pada 17 Mei 2021, Presiden meminta agar hasil TWK tak serta-merta dijadikan dasar pemberhentian pegawai. Selain itu, peralihan status kepegawaian tak boleh sampai merugikan hak pegawai KPK. Namun, arahan Presiden ini diabaikan setelah KPK beserta sejumlah kementerian/lembaga terkait tetap akan memberhentikan 51 pegawai KPK yang tak lolos TWK.
Kemudian pada 16 Agustus lalu, Komnas HAM merilis temuan 11 pelanggaran HAM dalam proses pelaksanaan TWK. Komnas HAM lantas merekomendasikan kepada Presiden selaku pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan TWK pegawai KPK. Salah satunya, Presiden diminta memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dapat diangkat menjadi ASN.
Adapun Ombudsman RI (ORI) menemukan malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK yang dirilis 21 Juli lalu. Atas temuan itu, ORI meminta ketua KPK dan kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) melakukan empat tindakan korektif. Salah satunya, 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK untuk dialihkan statusnya menjadi ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021.
Meski menghormati temuan ORI dan Komnas HAM serta menyatakan sikap Presiden tak berubah, Presiden Jokowi juga disebut Dini menghormati proses hukum di MK dan MA terkait gugatan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Presiden berharap dan percaya bahwa MK dan MA akan memberikan putusan yang seadil-adilnya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam waktu dekat.
”Kita hormati proses hukum tersebut dan kita tunggu hasil putusan MK dan MA,” ucap Dini.
Saat ini, MK sedang menyidangkan perkara uji materi Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang mengatur ketentuan bahwa pegawai KPK harus menjadi ASN. Gugatan diajukan KPK Watch Indonesia. MA juga tengah menguji Peraturan KPK No 1/2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
Adapun mengenai keinginan Komnas HAM bertemu Presiden untuk menyerahkan rekomendasi Komnas HAM atas pelaksanaan TWK, Dini mengatakan, Sekretariat Negara (Setneg) telah menerima surat dari Komnas HAM pada Jumat (20/8/2021) sore.
”Hal tersebut diproses langsung oleh Setneg, sudah ada protokolnya,” ujar Dini.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, berharap pihaknya dapat segera bertemu dengan Presiden. Pertemuan itu penting untuk memberikan penjelasan langsung kepada Presiden soal temuan Komnas HAM.
”Pentingnya penjelasan langsung ini agar Presiden tahu akar masalahnya sehingga bijak untuk mengambil langkah. Dengan begitu, rekomendasi Komnas HAM itu bisa dilihat secara mandiri oleh Presiden,” tutur Anam.
Terkait sikap Presiden yang disebut Dini menunggu putusan MK dan MA, Anam menyayangkannya. Sebab, ia meyakini, substansi di MK dan MA tidak berhubungan dengan substansi temuan Komnas HAM.
Lagi pula, dasar pengujiannya juga berbeda. MK dan MA masuk ranah hukum, sedangkan Komnas HAM lebih mengarah pada pengujian dugaan pelanggaran HAM. Artinya, sasaran, basis, logika hukum, dan aturan hukum yang digunakan berbeda.
”Misal, apakah MK atau MA menguji persoalan labeling dan stigma, kan enggak. Itu karena memang bukan ranah mereka. Karena itu, ya, bijaksananya dengan tetap menghormati MK dan MA, rekomendasi Komnas HAM itu bisa berdiri sendiri,” ucap Anam.