Kinerja Penindakan KPK Melambat, Pandemi Jadi Alasan
Hingga 30 Juni 2021, KPK menangani 160 perkara korupsi, dan 125 kasus di antaranya merupakan ”carry over” tahun sebelumnya. Selain pandemi Covid-19, kekurangan penyidik dan penyelidik membuat kinerja penindakan melambat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 turut menekan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi di bidang penindakan, baik dalam proses penyelidikan maupun penyidikan, pada semester pertama tahun 2021. Kekurangan tenaga penyelidik dan penyidik juga diklaim menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kinerja penindakan.
Berdasarkan catatan KPK hingga 30 Juni 2021, terdapat 160 perkara yang saat ini tengah ditangani KPK. Jika dirinci, 125 perkara merupakan kasus yang dibawa dari tahun lalu (carry over) dan 35 kasus dengan surat perintah penyidikan (sprindik) yang diterbitkan pada 2021.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Selasa (24/8/2021), mengatakan, pandemi telah membawa dampak yang sangat besar terhadap kinerja KPK. Di tingkat penyelidikan dan penyidikan, misalnya, dengan pembatasan gerak atau mobilitas pegawai, itu berpengaruh signifikan terhadap penanganan perkara korupsi.
”Untuk penindakan, tentu enggak bisa melakukan pemeriksaan dari rumah atau secara daring. Itu sangat tidak memungkinkan. Di samping juga kalau kami panggil saksi-saksi dari daerah, itu juga kesulitan akomodasi ke sini (KPK) karena harus melewati berbagai tes (kesehatan),” ujar Alexander.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto membenarkan pandemi memberikan tantangan sendiri bagi KPK. Apalagi, dengan aturan 75 persen pegawai bekerja dari rumah, hal ini, dianggapnya, sangat mengganggu proses penyidikan kasus di KPK.
”Karena, kan, enggak memungkinkan diskusi-diskusi secara daring. Kami takut ada informasi yang keluar,” ujar Karyoto.
Alexander juga mengungkapkan, dengan banyaknya perkara yang tengah ditangani, KPK tentu juga membutuhkan penyelidik dan penyidik yang memadai. Namun, dari analisis beban kerja di Biro Sumber Daya Manusia KPK, terdapat kekurangan SDM secara keseluruhan sekitar 400 pegawai.
Rasa-rasanya enggak mungkin kami sampai genjot, misal kami targetkan tahun ini 200 kasus diselidiki. Belum tentu penyelidikan satu kasus itu selesai satu tahun.
Secara khusus untuk penyelidik dan penyidik, menurut Alexander, semestinya jumlah penyelidik lebih banyak dibandingkan dengan penyidik. Sebab, perkara-perkara penyidikan berasal dari penyelidikan.
Adapun saat ini jumlah penyelidik di KPK kurang dari 100 pegawai. Belum lagi, setiap tim berisi rata-rata 10 orang. Menurut Alexander, situasi ini tentu juga sangat berpengaruh ketika KPK akan menyelidiki laporan masyarakat atau pengembangan kasus sendiri.
”Rasa-rasanya enggak mungkin kami sampai genjot, misal kami targetkan tahun ini 200 kasus diselidiki. Belum tentu penyelidikan satu kasus itu selesai satu tahun. Kami tidak mau. Kami maunya cepat. Banyak kasus yang diselidiki, tetapi waktunya juga cepat, ada batasan waktu kapan harus selesai,” tutur Alexander.
Untuk itu, menurut dia, ada keuntungan ketika status pegawai KPK dialihkan jadi aparatur sipil negara. Itu artinya KPK dapat meminta penyelidik dan penyidik yang berpengalaman di instansi lain, entah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), serta Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu untuk menjadi penyelidik dan penyidik di KPK.
”Kan, kami bisa lihat rekam jejaknya, pengalamannya, ya sudah lalu diminta bergabung di sini (KPK). Jika tidak perform di KPK, kami kembalikan. Jadi, mekanismenya lebih mudah tentu saja untuk menambah jumlah SDM di KPK,” ujarnya.
Dia juga membantah jika penonaktifan 75 pegawai yang terdampak tes wawasan kebangsaan (TWK) ikut memengaruhi kinerja penindakan oleh KPK. Sebab, total penyelidik dan penyidik yang tak lolos TWK itu tidak sampai 10 persen dari total pegawai di direktorat tersebut. ”Artinya, sebenarnya tak berdampak juga penyidik yang enggak lolos, kemudian dia tidak bisa melakukan penyidikan. Bukan karena itu,” katanya.
Karyoto sependapat dengan Alexander bahwa banyaknya perkara yang belum selesai bukan disebabkan penonaktifan 75 pegawai itu. Sebab, total kasus yang tengah ditangani merupakan kasus-kasus mulai Januari hingga sekarang, sedangkan mereka baru keluar dari penugasan pada Mei lalu.
Pertanggungjawaban
Berdasar catatan capaian KPK pada semester I tahun 2021, KPK telah memeriksa 2.761 saksi dan 50 tersangka. Lalu, KPK juga melakukan penggeledahan sebanyak 45 kali dan penyitaan 198 kali. Adapun ada 4 orang ditangkap KPK dan 33 telah ditahan.
Salah satu kasus yang mangkrak juga telah coba dituntaskan, salah satunya perkara korupsi pengadaan dan pemeliharaan tiga quayside container crane (QCC) pada 2009-2011, yang menjerat Direktur Utama PT Perusahaan Pelabuhan Indonesia II (Persero) RJ Lino.
”Kasus RJ Lino sudah kami tuntaskan, dengan segala risiko, dipraperadilankan dan lain-lain,” kata Karyoto.
Pengajar hukum pidana di Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, seharusnya KPK tidak menggunakan pandemi sebagai alasan lambannya kinerja di penindakan. Semua itu, menurut dia, bisa disiasati dengan pengetatan protokol kesehatan atau pemanfaatan teknologi komunikasi masa kini. Dia khawatir, jika tunggakan kasus tak diselesaikan, publik akan menganggap roda pemberantasan korupsi seperti berhenti. Kepercayaan publik pada kinerja KPK bisa berkurang.