Jerat Pidana Korupsi Jika Tommy Soeharto cs Tak Kooperatif
Menko Polhukam Mahfud MD meminta debitor dana BLBI yang dipanggil Satgas BLBI, salah satunya Tommy Soeharto, kooperatif. Jika tidak, proses perdata yang kini berjalan memungkinkan dialihkan ke jalur pidana korupsi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Debitor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang dipanggil Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI diminta patuh dan kooperatif memenuhi panggilan. Jika tidak, terbuka kemungkinan kasus perdata itu akan dialihkan ke jalur pidana korupsi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD selaku Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat dihubungi, Rabu (25/8/2021), membenarkan bahwa satgas memanggil tiga orang untuk menagih pembayaran kewajiban utang BLBI kepada negara.
Surat panggilan tersebut juga dimuat di harian Kompas, Senin (23/8/2021). Ada tiga nama yang dipanggil Satgas BLBI.
Panggilan pertama ditujukan kepada Agus Anwar. Agus adalah orang yang bertanggung jawab untuk melunasi utang BLBI pada tiga perusahaan berbeda. Dia wajib membayar utang senilai Rp 635,4 miliar dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Pelita Istimarat.
Selain itu, dia juga wajib membayar Rp 82,2 miliar sebagai penjamin PT Panca Musipan serta Rp 22,3 sebagai debitor PT Bumisuri Adilestari. Besok, dia diminta menemui Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Satgas BLBI di Kementerian Keuangan pada pukul 10.00.
Adapun surat panggilan kedua dilayangkan kepada pengurus PT Timor Putra Nasional. Panggilan ditujukan kepada putra Presiden ke-2 RI, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono. Mereka diminta menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Satgas BLBI pada hari yang sama, Kamis pukul 15.00.
Keduanya diminta menyelesaikan kewajiban sebagai debitor dengan nilai utang Rp 2,6 triliun. Surat pemanggilan dibuat pada tanggal 20 Agustus oleh Ketua Satgas BLBI Ronald Silaban.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan telah membentuk satuan tugas khusus yang ditargetkan bisa mengejar Rp 110,45 triliun aset negara terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia hingga 2023 (Kompas, 5 Juni 2021).
Libatkan KPK
Mahfud MD meminta para debitor atau obligor BLBI yang dipanggil patuh dan kooperatif menyelesaikan utang perdata mereka. Itu proses hukum yang dilakukan negara untuk menagih utang resmi debitor kepada negara. Jika tidak dipatuhi, negara akan mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan aturan perundang-undangan.
”Dalam konteks ini, saya juga sudah berbicara dengan Ketua KPK (Firli Bahuri) untuk membahas kemungkinan beralihnya perkara perdata ke jalur pidana korupsi jika hak tagih perdata itu dimungkiri,” kata Mahfud.
Menurut dia, jika debitor mangkir, tindakan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Apabila debitor mangkir dari kewajiban membayar atau memberikan bukti palsu, hal itu bisa dinyatakan merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri dan orang lain, hingga perbuatan melawan hukum karena tidak mengakui apa yang secara hukum sudah sah. Dengan demikian, hal itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
”Sebaiknya kooperatif dan menyelesaikan secara keperdataan sebagai utang,” ujar Mahfud.
Kuasa hukum Tommy Soeharto dalam perkara sengketa Jalan Tol Desari, Victor Simanjuntak, saat dikonfirmasi belum bisa memberikan informasi apakah kliennya akan hadir memenuhi panggilan Satgas BLBI atau tidak.
Hingga Rabu (25/8), ia belum mendapatkan surat kuasa penunjukan sebagai kuasa hukum resmi Tommy dalam perkara BLBI. ”Meskipun saya tahu informasinya, saya belum bisa menyampaikan ke media karena belum ada surat kuasa penunjukan resmi dari Pak Tommy,” kata Victor.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menyangsikan langkah yang ditempuh pemerintah melalui Satgas BLBI akan segera mengembalikan utang dana BLBI kepada negara.
Jalan perdata yang ditempuh pemerintah, lanjut Alvin, bergantung sepenuhnya pada itikad baik para debitor atau obligor. Apalagi, Satgas BLBI hanya dibentuk dengan payung hukum Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021. Payung hukum itu dinilainya tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat. Satgas pun hanya memiliki kewenangan menagih.
Pertemuan antara debitor atau obligor dan Satgas BLBI bisa jadi hanya akan memperoleh hasil bagaimana mekanisme pengembalian utang kepada negara. Apabila aset tersebut sudah dialihkan ke luar negeri atau disamarkan asal-usulnya, misalnya, satgas akan kesulitan melacaknya.
Akibatnya, kembali lagi, pengembalian utang negara secara penuh hanya bergantung pada itikad baik debitor. Bahkan, tak tertutup kemungkinan, negara justru dituntut balik oleh debitor melalui jalur perdata.
”Ini adalah risiko-risiko jika BLBI diselesaikan dengan jalur perdata. Prosesnya lama, berbelit-belit, dan kedudukan hukum Satgas BLBI tidak bisa mengikat seperti jalur pidana,” katanya.
Alvin berpandangan, target penyelesaian hak tagih utang perdata BLBI Rp 110,45 triliun sampai tahun 2023 akan sangat terjal.
Pertama, satgas akan kesulitan untuk melacak aset milik debitor yang akan digunakan untuk membayar utang. Apalagi, ada celah hukum, yaitu belum adanya regulasi Undang-Undang Perampasan Aset. Ini akan menyulitkan langkah satgas karena bergantung pada itikad baik debitor. Selama ini, satgas juga tidak pernah menginformasikan perihal mekanisme yang akan ditempuh apabila aset debitor tidak cukup untuk membayar utang.
Alvin tidak yakin pemanggilan yang dilakukan Satgas BLBI akan efektif untuk mengembalikan aset negara. Oleh karena itu, dia berharap kasus ini segera dialihkan ke ranah pidana. Dengan pengalihan ke ranah pidana, kekuatan hukum pemerintah akan lebih kuat sehingga aset negara bisa dieksekusi.
”Kalau hanya memakai mekanisme perdata, ini hanya akan menjadi gimik politik semata. Sementara penagihannya akan sulit dan pemerintah juga selama ini tidak terbuka tentang bagaimana mekanisme penagihannya,” katanya.