Fungsi-fungsi DPR seperti pengawasan dan penyusunan anggaran dinilai seharusnya lebih baik dilakukan DPR daripada fungsi legislasi. Saat ini DPR sangat dibutuhkan untuk mengawal kebijakan terkait pandemi Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan aspirasi masyarakat dalam pembentukan legislasi di masa pandemi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dipandang belum optimal. Hal ini berdampak tidak hanya pada minimnya aspirasi dan keterlibatan publik dalam pembuatan legislasi atau undang-undang, tetapi juga memengaruhi kualitas dan produktivitas legislasi di masa pandemi.
Catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sepanjang 2020, baru 13 rancangan undang-undang (RUU) yang disahkan menjadi UU oleh DPR dari 37 RUU yang masuk sebagai program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahunan. Dari jumlah itu, hanya tiga UU yang merupakan usulan pemerintah atau DPR. Sisanya adalah UU yang disahkan dari ratifikasi konvensi, perjanjian kerja sama antarnegara, ataupun tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, Selasa (24/8/2021) di Jakarta, mengatakan produktivitas legislasi yang masih rendah ini memang sangat dipengaruhi oleh pandemi. Namun, jika dibandingkan dengan produktivitas dalam kondisi normal, capaian itu rupanya tidak banyak berubah. Dalam enam tahun terakhir, penyelesaian target prolegnas prioritas tahunan tidak pernah tercapai. Rata-rata DPR menyelesaikan 15-20 RUU setiap tahun.
Di masa pandemi, kondisi itu memburuk karena sejumlah keterbatasan, terutama untuk rapat-rapat fisik yang memerlukan pendalaman dan waktu yang lama, termasuk penyerapan aspirasi. Oleh karena itu, tugas-tugas legislasi sejak awal diharapkan selektif dan hanya memilih RUU yang mendesak atau terkait dengan kebutuhan penanganan pandemi.
”Kalau masih mau membahas legislasi, DPR harus mengoptimalkan adaptasi dan penyerapan aspirasi di masa pandemi. Jangan sampai ketika legislasi itu dipaksakan, tetapi malah mengorbankan penyerapan aspirasi masyarakat,” katanya.
Rendahnya produktivitas dan penyerapan aspirasi masyarakat dalam legislasi di masa pandemi, menurut Fajri, mencerminkan pula sistem dan mekanisme legislasi di DPR yang belum cukup beradaptasi dengan pandemi. Penyerapan aspirasi masyarakat melalui rapat-rapat virtual juga sebenarnya dapat lebih ditingkatkan dengan optimalisasi laman resmi DPR dan media sosial (medsos).
Partisipasi publik dapat hadir dengan baik jika ada transparansi yang juga difasilitasi oleh mekanisme legislasi di DPR. Penayangan rapat dan sidang melalui kanal resmi DPR, menurut Fajri, tidak memadai jika saluran-saluran komunikasi lainnya tidak dibuka bagi publik.
”Laman DPR itu memiliki features yang sangat baik, tetapi isinya kosong. Publik, misalnya, tidak akan selalu menemukan draf RUU yang sedang dibahas di DPR, sementara untuk memberi masukan, publik perlu tahu drafnya,” kata Fajri.
Kanal-kanal komunikasi lainnya, seperti medsos dan surat elektronik (e-mail), mestinya juga dibuka dan dijadikan wadah menerima aspirasi masyarakat.
”Kalau keberatan dengan e-mail dan medsos pribadi, sebenarnya bisa saja dibuka e-mail dan medsos fraksi. Melalui sarana itu, publik bisa bebas menyampaikan masukan terkait legislasi. Namun, drafnya harus juga dibuka. Dengan begitu, penyerapan aspirasi untuk pembentukan legislasi di masa pandemi menjadi lebih terjamin,” ucapnya.
Fungsi-fungsi DPR lainnya, yakni pengawasan dan penyusunan anggaran, menurut Fajri, seharusnya lebih baik dilakukan DPR daripada fungsi legislasi. Sebab, saat ini DPR sangat dibutuhkan untuk mengawal kebijakan dan program pemerintah dalam mengatasi pandemi.
Wakil Ketua Badan Legislasi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, jika persoalannya adalah kuantitas produk legislasi yang rendah, DPR seharusnya tidak dapat didorong untuk fokus pada peran-peran lainnya.
”Pandemi tidak boleh dijadikan alasan untuk pembahasan legislasi molor. Kalau, misalnya, DPR fokus pada anggaran dan pengawasan, persoalannya sebenarnya sama, yaitu pandemi. Kendala dalam pertemuan fisik itu juga dialami DPR saat menjalankan fungsi pengawasan dan anggaran,” katanya.
Penyerapan aspirasi dalam pembentukan legislasi di masa pandemi oleh DPR, menurut Baidowi, sebenarnya sudah dilakukan oleh DPR. Penyerapan aspirasi itu dilakukan secara virtual dan tidak harus bertemu fisik. ”Yang terpenting ialah substansi pendapatnya,” kata Baidowi.
DPR melakukan berbagai adaptasi di masa pandemi, termasuk adanya perubahan tata tertib DPR yang membolehkan rapat dan pengambilan keputusan dilakukan secara virtual. Ia membantah penilaian jika DPR belum beradaptasi dengan pandemi, karena beberapa perubahan dilakukan agar DPR tetap bisa menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.
Secara terpisah, anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani, mengatakan, fungsi-fungsi legislasi tidak mungkin dikesampingkan. Ketiga fungsi DPR itu harus berjalan beriringan. Hanya saja, capaian legislasi DPR di masa pandemi memang masih butuh optimalisasi.
”Kami juga menyadari soal tersebut dan menyayangkan capaian legislasi belum sesuai target. DPR tidak sendirian membentuk UU. Kami siap bekerja keras sebagaimana dibuktikan dalam pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi, yang seharusnya sudah selesai, hanya sayang belum bersepaham dengan pemerintah,” katanya.
Pembahasan legislasi di komisi-komisi lain, menurut Christina, juga masih berjalan sampai saat ini. RUU yang akan dibahas di Badan Legislasi, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pendidikan Kedokteran, dan RUU Larangan Minuman Beralkohol, saat ini masih dalam proses harmonisasi dan pemantapan konsepsi. Tahapan itu dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum.
”Peran pengawasan dan anggaran juga tetap berjalan. Minggu ini juga akan dimulai pembahasan rencana kerja dan anggaran (RKA) kementerian dan lembaga mitra kerja pasca-penyampaian RUU tentang APBN 2022 beserta Nota Keuangan oleh Presiden beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Muhammad Ichsan, mengatakan, dari kajian IPC, peran pengawasan DPR juga harus dioptimalkan dalam mengawal kebijakan penanganan Covid-19.
”DPR terlihat masih belum optimal dalam kerja-kerja pengawasan melalui panitia kerja (panja) dan panitia khusus (pansus). Sebab, dalam beberapa kasus, pilihan untuk membentuk panja dan pansus itu pun tidak diambil DPR,” ungkapnya.