Jamaah Islamiyah Terus Bangun Kekuatan di Pulau Jawa
BNPT dan Polri telah memetakan jejaring Jamaah Islamiyah di Tanah Air. Kelompok ini masih terus berupaya membangun kekuatan melalui kaderisasi dan pengumpulan dana, terutama di Pulau Jawa.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun tampak seperti sel yang tertidur selama lebih dari satu dekade, kelompok Jamaah Islamiyah terus membangun basis massa untuk memperkuat organisasi. Penangkapan orang-orang yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah dalam beberapa waktu terakhir mengungkap bahwa pengembangan kekuatan dan jaringan sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Eddy Hartono mengakui, penegakan hukum besar-besaran pada anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) serta pelarangan entitas kelompok tersebut pada 2008 memang tidak serta-merta menghilangkan eksistensi JI. Seiring dengan penangkapan pimpinannya, yakni Para Wijayanto, pada 2019, terungkap bahwa kelompok ini berevolusi untuk tetap bertahan.
Jamaah Islamiyah Evolusi yang dimaksud dilakukan dengan memperbarui pedoman umum perjuangan JI (PUPJI) terkait dengan strategi perekrutan anggota dan pembangunan kekuatan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (23/8/2021).
Tiga tahun terakhir penangkapan terhadap jejaring JI meningkat. Pada 2019, Densus 88 Antiteror menangkap 25 tersangka, pada 2020 menangkap 64 orang, dan Januari-Agustus 2021 sebanyak 123 tersangka. Polri juga mendapat keterangan jumlah anggota JI di Indonesia sebanyak 1.600 orang (Kompas, 23/8).
Eddy yang merupakan mantan Kepala Densus 88 Antiteror Polri menambahkan, dalam konteks pembaruan organisasi, JI juga membentuk wilayah koordinasi, antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Pada daerah-daerah tersebut, kelompok teroris itu menggencarkan pembangunan kekuatan dengan mendirikan sejumlah akademi pengaderan dan pendidikan.
”JI terus mengembangkan itu sehingga saat ini perubahannya sudah signifikan,” ujarnya.
Penentuan wilayah pengembangan, kata Eddy, didasarkan pada karakteristik dan fungsi wilayah yang dimaksud. Untuk perekrutan kader dan penghimpunan dana, JI memilih kota-kota besar yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera. Sementara itu, untuk lokasi pelatihan militer serta persiapan senjata dan bahan peledak, kota kecil di wilayah terpencil cenderung dijadikan sasaran JI.
Kecenderungan itu juga terlihat dari penangkapan tersangka terorisme yang terafiliasi dengan JI dalam beberapa waktu terakhir. Dalam periode 12-20 Agustus 2021, misalnya, Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap 55 tersangka dari 11 provinsi, yakni Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jambi, Banten, Kalimantan Barat, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku, dan Sulawesi Tengah.
Sebanyak 27 tersangka atau sebagian besar penangkapan dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten. Lembaga pendanaan dan penyebaran kotak amal untuk menghimpun dana terorisme pun mayoritas ditemukan di daerah tersebut.
Berdasarkan catatan Kompas, sejak 2019 mayoritas penangkapan juga terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, termasuk penangkapan Para Wijayanto beserta istrinya di Bekasi, Jawa Barat. Selain tiga wilayah itu, Densus 88 juga menangkap sejumlah tersangka di Lampung dan Kepulauan Riau. Dari salah satu penangkapan di Lampung, terungkap lokasi itu digunakan untuk menyembunyikan persenjataan anggota JI.
Secara terpisah, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Alif Satria, mengatakan, sejak 2008 fokus membangun organisasi di Tanah Air. Sejak saat itu pula. JI membagi Indonesia ke dalam dua khodimah atau brigade, yakni Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Khodimah Indonesia Barat mencakup Cepu, Semarang, Salatiga, Klaten, Jawa Barat, dan Sumatera.
Adapun Khodimah Indonesia Timur meliputi Bojonegoro, Boyolali, Sukoharjo, Jawa Timur, Lombok, dan Sumbawa. Pembangunan basis massa umumnya dilakukan di wilayah-wilayah tersebut.
Meski demikian, Densus juga menangkap sejumlah anggota JI di luar dua khodimah itu. Menurut Alif, hal tersebut menandakan adanya reaksi anggota JI untuk berpindah lokasi setelah penangkapan yang gencar dilakukan pada 2019 dan 2020. ”JI itu sangat adaptif, salah satu bentuknya adalah dengan berpindah tempat yang dirasa lebih aman ketika merasa terancam,” katanya.
Alif memperkirakan, ke depan JI akan tetap mengutamakan pembangunan basis massa di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dua daerah itu memiliki akar sejarah sebagai lokasi awal pembangunan JI dan juga basis organisasi Darul Islam yang merupakan embrio JI. Pada dua daerah itu pula, JI telah banyak membangun infrastruktur fisik dan sosial yang dapat memudahkan mereka ketimbang mengulangnya dari awal di daerah lain.
Terpetakan
Eddy mengatakan, baik BNPT maupun Densus 88 telah memetakan jejaring JI. Kesempatan untuk terus menekan gerakan kelompok tersebut menjadi lebih besar. ”Tetapi, upaya kami memang memerlukan waktu karena masalah ini masalah ideologi,” ujarnya.
Untuk itu, pihaknya terus mengoordinasikan pencegahan dari hulu hingga ke hilir, yakni dengan membangun kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi. Di sisi hilir, pencegahan melalui penegakan hukum relatif lebih baik karena aparat mampu menangkap tersangka terorisme dan menggagalkan rencana mereka. Antisipasi juga bisa dilakukan sejak dini karena undang-undang telah mengategorikan pidana terorisme sejak fase persiapan permufakatan jahat.
Menurut Eddy, pencegahan di hulu memiliki tantangan tersendiri karena bertanggung jawab atas pembangunan narasi di tengah masyarakat. Apalagi kelompok teroris gencar menyebarkan narasi intoleransi dan ekstremisme melalui media sosial. Oleh karena itu, BNPT saat ini menggiatkan penyebaran narasi kebinekaan dan kebangsaan di media sosial dan media massa.
Selain itu, BNPT bersama dengan 46 kementerian/lembaga negara lainnya membentuk tim sinergi penanggulangan terorisme. Salah satunya dengan Kementerian Agama yang membuat program moderasi beragama untuk menyebarkan narasi keagamaan yang tetap toleran.
Pengamat terorisme Solahudin mengatakan, untuk mengantisipasi tren penguatan kelompok JI, negara perlu menganalisis elemen kekuatan yang mampu membuat organisasi ini bangkit kembali setelah dinyatakan terlarang pada 2008. ”Dengan analisis itu, kekuatan JI dapat diidentifikasi sehingga langkah penanggulangannya pun bisa ditentukan secara tepat,” katanya.
Salah satu contoh kekuatan JI, kata Solahudin, adalah kemampuan membangun kekuatan logistik. Salah satunya menggalang dana melalui lembaga amal dan menghimpun dana dari masyarakat umum tanpa dicurigai. Selain itu, menurut Solahudin, JI juga jeli membaca konteks sosial dan politik sehingga ia mampu beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi.