Polarisasi Kian Irasional, Narasi Agama dan Kebangsaan Dibenturkan
Polarisasi masyarakat ke kutub Islam dan kebangsaan terus terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Pembelahan karena ada kecenderungan mempertentangkan agama dengan Pancasila. Ini dinilai irasional dan ahistoris.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecenderungan mempertentangkan agama dengan Pancasila dinilai semakin terasa. Hal itu semestinya tidak dilakukan karena bertentangan dengan kesepakatan dan pengorbanan yang telah dilakukan para pendiri bangsa.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie melihat, polarisasi masyarakat ke kutub Islam dan kebangsaan terus terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Pembelahan yang dimaksud terjadi karena ada kecenderungan mempertentangkan agama dengan Pancasila. Ini sangat disayangkan karena perdebatan yang mengiringi pembelahan itu bersifat irasional dan ahistoris.
”Kalau kita membaca sejarah dengan benar, seharusnya semua generasi tidak terperosok dalam polarisasi yang irasional,” kata Jimly dalam diskusi bertajuk ”Pancasila 18 Agustus 1945” yang digelar secara daring, Minggu (22/8/2021) malam.
Jimly menjelaskan, perumusan Pancasila terjadi dalam proses panjang yang ditandai dengan beberapa kejadian penting. Pertama, 1 Juni 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Saat itu, Soekarno menyampaikan pidato yang menyarikan semua gagasan para tokoh tentang dasar negara di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan memberikan nama Pancasila. ”1 Juni 1945 itulah peran intelektual Bung Karno,” ujar Jimly.
Namun, Pancasila yang tercetus dari pidato Soekarno itu belum final. Untuk itu, dibentuk Panitia 9 yang juga diketuai oleh Soekarno. Pada 22 Juni 1945, Panitia 9 mengadakan sidang yang menghasilkan kesepakatan dasar negara, yakni Piagam Jakarta.
Isi Piagam Jakarta ialah ”Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Setelah isi Piagam Jakarta disepakati, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk mempersiapkan kemerdekaan sekaligus mengesahkan dasar negara dan konstitusi Indonesia. Dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan, terdapat perubahan isi Piagam Jakarta, yaitu pada bagian pertama menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan yang dimaksud diajukan oleh kelompok minoritas karena merasa tidak terwakili dengan klausul sebelumnya.
Pada hari yang sama, sidang PPKI menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi. Tanggal 18 Agustus 1945 pun kemudian ditetapkan sebagai Hari Konstitusi.
”Pegangan kita sebagai kesepakatan tertinggi bernegara adalah yang dihasilkan pada 18 Agustus 1945. Rumusan Pancasila, seperti yang ada pada alinea keempat pembukaan UUD 1945, jangan diperas-peras lagi hanya menjadi beberapa sila,” ujar Jimly.
Ia menambahkan, pemahaman atas Pancasila tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah tersebut. Urutan sejarah itu memperlihatkan kesepakatan semua elemen bangsa, termasuk kelompok Islam sebagai golongan mayoritas.
Oleh karena itu, kesepakatan tersebut jangan sampai dirusak oleh pihak tertentu yang sengaja ingin membenturkan agama dengan Pancasila.
”Jadi, kita harus saling menghargai. Di era media sosial yang menciptakan disinformasi, polarisasi masyarakat semakin irasional. Kelompok pembenci memanfaatkan narasi agama dan kebangsaan untuk dibentur-benturkan,” kata Jimly.
Menurut dia, Pancasila harus menjadi sumber hukum tertinggi dan sumber etika tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga semestinya bisa menjadi penuntun bangsa Indonesia semakin berkembang ke depan.
Problematika Pancasila
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Atip Latifulhidayat menambahkan, Pancasila mengandung nilai-nilai yang digali dari seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah semestinya ia menjadi pemersatu tidak hanya dalam konteks waktu 1945, tetapi juga pada masa depan.
Namun, pada setiap rezim, Pancasila menghadapi permasalahan ketika penguasa berusaha membuat klaim kebenaran atas dasar negara tersebut. ”Karena itu, alih-alih menjadi alat pemersatu, Pancasila malah jadi alat pemukul,” ujarnya.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Muchamad Ali Safaat mengatakan, saat ini cenderung terjadi perebutan ruang pemaknaan atas Pancasila. Hal ini berbahaya, karena bisa memunculkan kembali dikotomi masyarakat yang sebelumnya sudah berhasil diatasi, misalnya antara kelompok nasionalis dan agamis. Kecenderungan tersebut juga dapat menghadirkan kembali sejumlah kontroversi sejarah kelahiran Pancasila yang sebenarnya sudah berakhir pada kesepakatan 18 Agustus 1945.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Sri Zul Chairiyah mengatakan, Pancasila mengandung semua nilai penting yang harus diutamakan dalam penyelenggaraan negara. Akan tetapi, hingga saat ini implementasinya belum optimal, termasuk dalam sistem demokrasi perwakilan yang dianut Indonesia. Meski sudah lima kali menggelar pemilu pasca-reformasi, budaya demokrasi di Indonesia belum terbentuk baik di level masyarakat ataupun partai politik.