Penerima Bansos Lebih Menderita dari Juliari, Beras Berkutu Terpaksa Dimakan
Pertimbangan meringankan hakim dalam putusan bekas Mensos Juliari Batubara dinilai mengada-ada. Penerima bansos yang dikorupsi Juliari lebih menderita daripada Juliari. Mereka terpaksa makan beras yang berkutu.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch menilai pertimbangan meringankan yang dipakai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam putusan bekas Menteri Sosial Juliari Batubara mengada-ada. Cercaan yang dilayangkan masyarakat kepada Juliari dinilai tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan masyarakat. Adapun korban korupsi bantuan sosial menilai putusan hakim belum memberikan efek jera kepada koruptor.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat dihubungi, Senin (23/8/2021), menyebutkan, alasan meringankan dalam vonis terhadap bekas Mensos Juliari Batubara dalam kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) terlalu mengada-ada.
Hakim dalam putusannya menyebutkan bahwa terdakwa sudah cukup menderita karena dicerca, dimaki, dan dihina masyarakat. Hakim berpandangan, terdakwa dianggap telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal secara hukum belum tentu bersalah karena belum ada putusan pengadilan.
”Ekspresi publik semacam itu merupakan hal yang wajar, terlebih mengingat dampak yang terjadi akibat praktik korupsi Juliari. Praktik suap-menyuap itu dilakukan secara sadar oleh Juliari di saat kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat ambruk karena pandemi Covid-19,” ujar Kurnia.
Selain itu, lanjut Kurnia, cercaan, makian, dan hinaan kepada Juliari juga tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan masyarakat karena kesulitan mendapatkan bansos akibat dikorupsi. Korban korupsi bansos juga harus menerima bansos dengan kualitas rendah yang dengan terpaksa tetap dimakan karena tidak ada lagi penghasilan.
Melukai perasaan korban
Pertimbangan yang digunakan majelis hakim, kata Kurnia, menunjukkan keberpihakan kepada korban kejahatan belum sepenuhnya dilakukan.
Salah satu korban korupsi bansos Kementerian Sosial (Kemensos) dari Jakarta Utara, Eni Rochayati, juga menilai pertimbangan itu tidak menunjukkan empati kepada korban korupsi bansos. Ia beserta penerima bansos Kemensos lainnya jauh lebih menderita daripada Juliari karena terpaksa mengonsumsi beras yang sudah berkutu dan ikan sarden yang kualitasnya buruk sebagai imbas pengadaan bansos dikorupsi. Ini terpaksa dilakukan karena akibat pandemi Covid-19, banyak yang kehilangan pekerjaan sehingga mereka bergantung pada bansos.
”Tidak layak hal seperti itu dijadikan pertimbangan dan melukai perasaan para korban,” ujar Eni, yang saat ini sedang menempuh upaya hukum kasasi untuk gugatan ganti rugi korban korupsi bansos Kemensos.
Belum memenuhi rasa keadilan
Eni juga berpandangan bahwa vonis 12 tahun penjara bagi Juliari Batubara belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Putusan itu hanya lebih tinggi satu tahun dari tuntutan jaksa. Padahal, hakim memiliki keleluasaan untuk memutus dengan hukuman maksimal untuk memberikan efek jera.
Putusan itu dianggapnya hanya merupakan putusan basa-basi, dan lagi-lagi, tidak menunjukkan empati kepada para korban korupsi bansos.
”Nanti juga kemungkinan dipotong hukumannya. Lagi pula, penjara koruptor itu, kan, fasilitasnya bagus, tidak seperti penjara rakyat kecil. Ini jelas tidak memberikan efek jera, justru akan semakin banyak pejabat yang tidak sungkan melakukan korupsi,” kata Eni.
Kurnia juga berpandangan dengan fakta yang terungkap di persidangan, Juliari seharusnya bisa dihukum maksimal sesuai yang diatur di Pasal 12 Huruf (b) UU Pemberantasan Tipikor, yaitu hukuman seumur hidup. Ada berbagai unsur pemberat yang bisa digunakan, di antaranya posisinya sebagai pejabat publik dan korupsi dilakukan pada saat pandemi Covid-19. Korupsi di masa wabah sangat berdampak, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan masyarakat.
”Hukuman berat bagi Juliari akan memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah situasi pandemi Covid-19. Namun, putusan yang dijatuhkan justru tidak masuk akal dan melukai hati korban korupsi bansos,” ujar Kurnia.
Kurnia menambahkan, sejak awal penanganan korupsi bansos Kemensos, kejanggalan sudah terlihat, baik dari KPK maupun pengadilan, dalam menangani perkara korupsi bansos Kemensos. Sebagai contoh, KPK terkesan takut dan enggan mengembangkan perkara ke pihak lain sejak tahapan penyidikan. KPK pun terkesan enggan menggeledah dan memanggil sejumlah politikus sebagai saksi.
Kemudian, saat tahap penuntutan, sejumlah nama yang diduga terlibat dihilangkan. Tuntutan jaksa juga dinilai rendah atau hanya 11 tahun penjara.
Adapun di luar proses hukum, Kepala Satgas Penyidikan dan Penyidik Perkara Bansos Kemensos di KPK Andre Dedy Nainggolan justru dinonaktifkan melalui modus tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
”Hakim dalam perkara bansos ini juga sebelumnya telah menolak gugatan penggabungan perkara ganti rugi korban bansos dengan alasan yang janggal. Mereka juga memutus dengan hukuman yang ringan,” kata Kurnia.
Memberikan efek jera
KPK menghormati putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa dakwaan tim jaksa penuntut umum (JPU) KPK terbukti. Lebih dari itu, KPK juga mengapresiasi adanya putusan pidana tambahan berupa penjatuhan pidana uang pengganti dan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik yang tertuang dalam amar putusan.
”KPK berharap putusan ini memberikan efek jera sekaligus menjadi upaya asset recovery hasil tindak pidana korupsi secara optimal,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Selanjutnya, kata Ali, KPK akan mempelajari seluruh isi pertimbangan majelis hakim. Dengan begitu, KPK dapat segera menentukan langkah selanjutnya. ”Tentu setelah menerima salinan putusan lengkapnya,” katanya.