Para Pendiri Bangsa, Buku, dan Politisi Masa Kini
Kegemaran membaca buku jadi salah satu karakter yang khas dari para pendiri bangsa. Buku membantu mereka menyintesiskan pemikiran dan mengolah pengetahuan. Bagaimana dengan politisi di era masa kini?
Sejarah mencatat, bagi para pendiri bangsa di awal abad ke-20, buku tak sekadar teman di kala senggang, tetapi menjadi kebutuhan dalam perjuangan. Mohammad Hatta, proklamator yang juga Wakil Presiden Pertama RI, meminta 16 peti bukunya diangkut dengan kapal guna dibawa ke tempat pembuangan di Boven Digul. Hatta mengisi waktu-waktu pengasingannya dengan menyibukkan pikiran bergumul dengan buku-buku itu. Buku-buku itu pula yang menjaga pikirannya tetap jernih, sekaligus menguatkannya di tahun-tahun pembuangan.
Soekarno juga begitu gemar membaca. Proklamator dan Presiden RI pertama ini dikenal sebagai seorang polyglot. Ia menguasai sejumlah bahasa, dan membaca buku dalam bahasa aslinya. Ia tak kesulitan memahami buku-buku itu berkat kegilaannya membaca sedari kecil, dengan menyimak buku-buku di perpustakaan ayahnya.
Buku-buku asing itu menjadikan Soekarno berpikiran luas, terbuka, dan modern pada masanya. Seorang intelektual dengan kemampuan berbahasa yang memikat. Kelak, dunia juga menyaksikan bagaimana ia dapat mempersatukan suatu nation baru dengan karakter kemajemukaan yang luar biasa.
Pendiri bangsa lainnya, seperti KH Agus Salim dan Sutan Syahrir, serta Tan Malaka, juga adalah pembaca yang kuat. Tidak hanya membaca, masing-masing pendiri bangsa itu juga aktif menulis di media massa, pamflet, maupun buku.
Mereka tidak semata-mata aktivis pergerakan, tetapi juga kelompok intelektual yang menempatkan posisi elite terdidik tidak hanya sebagai kaum yang menikmati kemudahan dan fasilitas, tetapi adalah motor perjuangan dan perbaikan nasib bangsanya.
Kuasa buku dan pendidikan memungkinkan lahirnya tokoh-tokoh pendiri bangsa yang ulet dan tidak pantang menyerah, lagi cerdas cendekia. Kini di era kemerdekaan, bagaimana posisi buku bagi para anak negeri dan politisi pemimpin negeri? Apakah buku tetap penting bagi mereka dalam menganyam mimpi-mimpi negeri ini ke depan, dan apakah literatur tetap dijadikan salah satu fondasi pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik?
Dalam kaderisasi partai, kami selalu diajar metodologi berpikir Bung Karno yang berdasarkan dari pendekatan dialektika materialisme historis. Di situlah kami membedah secara kritis pidato-pidato Bung Karno, khususnya Indonesia Menggugat; Mencapai Indonesia Pancasila; Lahirnya Pancasila; Penemuan Kembali Revolusi Kita; To Build the World A New; Demokrasi Ekonomi, dan lain-lain. (Hasto Kristiyanto)
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengemukakan, buku dan budaya intelektualitas menjadi bagian tidak terpisahkan dari kaderisasi di partainya. Tradisi membaca dibangun sebagai kultur organisasi partai agar kader berdisiplin dalam ideologi Pancasila, disiplin dalam teori, politik, organisasi, dan memiliki disiplin sebagai kader partai.
”Dalam kaderisasi partai, kami selalu diajar metodologi berpikir Bung Karno yang berdasarkan dari pendekatan dialektika materialisme historis. Di situlah kami membedah secara kritis pidato-pidato Bung Karno, khususnya Indonesia Menggugat; Mencapai Indonesia Pancasila; Lahirnya Pancasila; Penemuan Kembali Revolusi Kita; To Build the World A New; Demokrasi Ekonomi, dan lain-lain,” katanya, Kamis (19/8/2021) di Jakarta.
Hasto juga menyadari tantangan bangsa semakin berat di masa depan, sehingga partai sebagai infrastruktur politik mesti menyiapkan diri untuk menghadapi hal itu. Pengelolaan partai yang modern juga menjadi krusial. Persoalan partai itu menyangkut pula tata kelola partai, yang di dalamnya mencakup kepemimpinan, manajemen, kultur organisasi, dan transformasi organisasi.
Baca juga: Parpol Menghadapi Setumpuk Tantangan
”Itu semua dilakukan untuk mewujudkan PDI-P sebagai partai modern dan profesional dalam tata kelola, namun dengan jati diri kerakyatan yang kuat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Hasto yang kini menempuh pendidikan doktoral di Universitas Pertahanan menyarankan beberapa buku manajemen yang sangat berguna bagi organisasi dan juga diajarkan dalam sekolah sekretaris partai. Buku-buku itu, antara lain, Managing Today!; Competitive Advantage; Competing For The Future; Built to Last dan Good to Great; Blue Ocean Strategy; The Balance Scorecard, dan Project Management Body of Knowledge.
”Buku-buku tersebut tersebut diambil intisarinya dalam manajemen kepartaian sehingga mengapa PDI-P juga sebagai satu-satunya partai di ASEAN yang memiliki standar kualitas mutu ISO 9001:2015,” ungkapnya.
Selain itu, kader-kader partai juga diwajibkan membaca karangan Bung Karno. Guna mengolah seluruh ”rasa” dan juga spiritualitas kepartaian, buku-buku Bung Karno tentang seni, puisi, cinta Tanah Air juga diterbitkan oleh partai.
”Selain buku-buku di atas, partai juga menerbitkan banyak buku yang dibagi ke daerah. Buku-buku Yudi Latif, seperti Negara Paripurna, Revolusi Pancasila, Mata Air Keteladanan, juga menjadi bacaan wajib,” ungkapnya.
Hasto mengaku, buku-buku itu banyak menginspirasi dirinya dalam membangun organisasi kepartaian. Di samping itu, ia kini banyak membaca buku terkait geopolitik dan pertahanan negara, yang, antara lain, mencakup strategi, doktrin, dan postur pertahanan; diplomasi militer; manajemen pertahanan, dan lain-lain. ”Karena saya baru ambil program S-3 di Universitas Pertahanan,” ungkapnya.
Di sekolah kader, PDI-P khusus membuat beberapa video yang menyampaikan pesan-pesan khusus tentang karakter pemimpin pembelajar. Video tentang pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pentingnya tradisi research based policy juga dibuat secara khusus untuk memudahkan pemahaman kader tentang karakter pembelajar itu. PDI-P ingin membangun tradisi kepemimpinan strategik yang salah satu elemennya adalah kepemimpinan intelektual.
Baca juga: Jaga Imaji Keindonesiaan
”Dengan tradisi kepemimpinan intelektual yang substansinya adalah banyak membaca, kader dengan dialektika pemikirannya dapat memahami arah masa depan, dan bagaimana dengan jalur migrasi terpendek mencapai masa depan itu,” katanya.
Memahami masyarakat
Ketua Bidang Fungsional DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, mempertahankan tradisi membaca buku menghadapi tantangan tidak mudah di era digital. Namun, tradisi literasi itu tetap harus disemai untuk meningkatkan pemahaman politisi dan anak negeri dalam menghadapi tantangan masa depan.
Dalam soal-soal kemasyarakatan, Baidowi misalnya paling menyukai karya Ibnu Khaldun yang berjudul Muqaddimah yang membahas sejarah dan awal ikhwal kehidupan sosial manusia. Sebagai politisi yang berlatar belakang pendidikan sosiologi agama, buku itu sangat membekas karena memberinya dasar-dasar memahami kondisi masyarakat.
Baca juga: Mereka yang Menggugah Kesadaran...
”Bahwa pola hubungan sosial kemasyarakatan dan kekuasaan itu lebih ditopang oleh ashabiyah, yang dapat dimaknai pula sebagai ikatan kesukuan, atau golongan,” katanya.
Mempertahankan tradisi membaca buku menghadapi tantangan tidak mudah di era digital. Namun, tradisi literasi itu tetap harus disemai untuk meningkatkan pemahaman politisi dan anak negeri dalam menghadapi tantangan masa depan. (Achmad Baidowi).
Sifat dasar itu pula yang membantunya memahami keindonesiaan dalam konteks politik dan keislaman. Di pemilihan umum, misalnya, orang akan cenderung memilih orang-orang yang dekat dengan mereka, keluarga, atau yang dinilai sebagai satu bagian kelompok dengan mereka.
”Karakter dasar itu wajar, naluriah, dan tidak dapat dibohongi. Tetapi tentu dalam praktik ketatanegaraan, ada aturan yang berlaku, dan tidak semuanya harus berdasarkan kedekatan. Dalam perekrutan pejabat, misalnya, ada rangkaian tes yang harus dijalani oleh mereka, dan tidak serta-merta dipilih karena kedekatan dan golongan,” katanya.
Sifat yang mendahulukan ashabiyah itu, sekalipun sederhana, menurut Baidowi, secara signifikan merangkai pranata hukum sosial masyarakat, termasuk dalam tata cara memilih pejabat dan pemimpin di tengah masyarakat secara profesional dan proporsional.
Buku-buku karya pemikir muslim lainnya, seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, juga menjadi favoritnya. Buku-buku dua intelektual itu dinilainya menjadi dasar kuat untuk memahami keindonesiaan dan keislaman.
”Cak Nur dapat mengemas Islam dan keindonesiaan itu dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban yang mengontekstualisasikan bagaimana nilai-nilai keislaman itu dipraktikkan dalam keindonesiaan sehingga hadirlah Islam Indonesia itu,” katanya.
Baidowi kerap membaca buku-buku Gus Dur yang sekalipun tema-temanya ringan, tetapi pesan dan nilai yang disampaikan mendalam. Pemikiran Gus Dur mengenai kebangsaan, kemajemukan, dan keanekaragaman anak bangsa diakuinya menginspirasi.
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi juga menganggap buku menjadi salah satu pintu masuk memahami karakter masyarakat. Pengetahuan yang diperoleh dari membaca buku, terutama kajian-kajian sosiologi, ekonomi pertanian, dan kebijakan negara membuatnya mudah bergaul dengan kelompok-kelompok yang diperjuangkan dalam berpolitik, seperti para petani dan nelayan.
”Peran membaca buku sangat penting dalam menghadirkan narasi-narasi politik karena banyak perspektif tentang nilai dan ideologi. Dari membaca buku, kami punya banyak pemikiran dan pertimbangan terhadap narasi politik yang digaungkan dan keberpihakan kepada rakyat,” ujarnya.
Tradisi membaca buku bagi Viva sudah dijalankan sejak sekolah dasar. Kebiasaan itu diturunkan dari kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai guru dan mengajarkannya untuk selalu membaca buku sebagai jendela dunia. ”Bagaimana mau pintar kalau tidak mau baca buku,” kata Viva mengingat pesan orangtuanya.
Peran membaca buku sangat penting dalam menghadirkan narasi-narasi politik karena banyak perspektif tentang nilai dan ideologi. Dari membaca buku, kami punya banyak pemikiran dan pertimbangan terhadap narasi politik yang digaungkan dan keberpihakan kepada rakyat. (Viva Yoga)
Buku yang dibaca Viva tidak spesifik satu tema. Beberapa buku favoritnya adalah novel karya Pramoedya Ananta Toer; pemikiran-pemikiran dari Soekarno, Abdurrahman Wahid, dan Nurcholish Madjid; buku tentang kebudayaan dari Ignas Kleden; buku Das Kapital yang ditulis Karl Marx; buku tentang feminisme; tentang demokrasi; serta kebijakan publik dari Robert Dahl.
”Sekarang saya masih baca buku Sejarah Tuhan dari Karen Armstrong,” ujarnya.
Menurut dia, politisi perlu berwawasan luas karena kompleksitas permasalahan yang harus diatasi. Kebijakan negara tidak bisa hanya berpandangan dari satu spesifikasi ilmu dan mesti dipecahkan melalui pendekatan yang menyeluruh. Buku bisa menjadi salah satu rujukan dan tidak bisa hanya satu jenis buku untuk menghindari cara pandang yang sempit.
Sementara itu, Ketua Bidang Kerohanian DPP Partai Golkar TB Ace Hasan Syadzily bertutur, membaca buku adalah kebutuhan bagi politisi. Kebutuhan itu makin tak terelakkan baginya yang juga menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
”Selain menjadi tuntutan untuk mengambil kebijakan yang tepat sebagai politisi, saya pun diasah untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengajar. Kalau tidak membaca, pengetahuan tentang keilmuan tidak akan berkembang,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu.
Adapun buku-buku yang sering dibaca Ace terkait kebijakan publik dan keadilan sosial. Buku tentang kebijakan publik yang menjadi favoritnya, antara lain, Social Equity and Public Administration, The Spirit of Public Administration, serta Ethics in Public Management. Selain itu, ia juga membaca buku-buku karya akademisi dalam negeri, seperti Kuasa Uang dari Burhanuddin Muhtadi dan Muslim Demokrat dari Saiful Mujani.
”Politik juga soal membangun idealisme tentang demokrasi, maka saya juga mengikuti studi tentang demokrasi dan partisipasi politik,” ujar Ace, yang juga menjadi Ketua Golkar Institute.
Masih minim literasi
Literasi amat penting bagi pengambil kebijakan. Namun, tak banyak politisi yang dinilai punya perhatian kuat dalam literasi. Menurut Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Wasisto Raharjo Jati, politisi Indonesia saat ini cenderung minim literasi dan minim pendekatan dialogis. Hal ini tak terlepas dari politik transaksional yang membingkai politik di Tanah Air, serta lahirnya politisi instan dari pengusaha atau dari keluarga elite.
”Jika Soekarno, Hatta, dan pendiri bangsa lainnya adalah intelektual dan aktivis, politisi saat ini lahir dari keluarga-keluarga politik atau pengusaha yang mendapat pengalaman politik bukan by achievement, tapi lebih banyak dari pengalaman keluarga atau elite sebelumnya,” katanya.
Politisi dinilainya rentan terjebak pada pendekatan-pendekatan instan untuk menggapai kekuasaan sehingga tidak jarang menggunakan berbagai cara. Literasi tidak lagi menjadi prioritas mereka, sebab yang diperlukan adalah testimoni semata.
Upaya untuk menjadikan literasi sebagai pemandu pengambilan kebijakan adalah suatu hal yang penting untuk menghindarkan negeri ini dari kemunduran. Praktik berpikir kritis dan analitis, menurut Wasisto, menjadi sesuatu yang perlu terus ditumbuhkan dalam kaderisasi partai politik. Kemampuan analisis akan membantu politisi dan pembuat kebijakan memahami dunia, geopolitik yang lebih luas, dan selanjutnya mengambil kebijakan strategis demi kepentingan nasional.
”Kurangnya kemampuan berpikir kritis inilah yang memicu banyak sekali kesalahan oleh politisi, yang itu makin membuat politisi tercoreng, karena yang terlihat kebijakannya kebanyakan diputuskan secara emosional, dan tidak berbasis riset atau pengetahuan,” katanya.