Pemberian remisi bagi 214 koruptor mengusik rasa keadilan publik. Kian suram pula komitmen negara pada agenda pemberantasan korupsi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Agenda pemberantasan korupsi dinilai kian suram menyusul pemberian remisi kepada 214 narapidana korupsi pada peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI. Apalagi beberapa di antaranya diduga tidak memenuhi syarat untuk menerima remisi seperti diatur dalam peraturan pemerintah. Salah satunya, terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, yang sempat menjadi buron selama 11 tahun, bahkan mengakali aparatur negara untuk bisa kabur.
Joko Tjandra memperoleh remisi selama 2 bulan. Dalam kasus tersebut, ia dihukum 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) pada 2009. Namun, ia baru menjalani hukuman itu mulai akhir Juli 2020 karena selama 11 tahun sebelumnya, ia kabur ke luar negeri.
Di luar hukuman itu, ia juga terlibat dua kasus lain menyangkut pelariannya ke luar negeri. Pertama, kasus surat jalan palsu dengan vonis 2,5 tahun penjara. Kedua, kasus penghilangan nama Joko dari daftar pencarian orang dan fatwa bebas MA dengan vonis dari majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, selama 3,5 tahun penjara. Sebelumnya di tingkat pertama, ia divonis 4 tahun penjara.
Selain Joko, terpidana lain dalam kasus pelarian Joko, yakni Andi Irfan Jaya, juga memperoleh remisi. Andi sebelumnya divonis 6 tahun penjara dalam kasus tersebut. Di luar kasus pelarian Joko, ada nama Eni Maulana Saragih, terpidana kasus korupsi proyek PLTU Riau-1, yang juga memperoleh remisi. Pada 2019, Eni divonis 6 tahun penjara.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti saat dihubungi, Jumat (20/8/2021), membenarkan diberikannya remisi hari kemerdekaan kepada ketiga nama tersebut. Selain ketiganya, ada 211 narapidana korupsi lain yang juga memperoleh remisi.
Ia mengatakan, remisi merupakan hak narapidana. Pemberian remisi kepada napi korupsi pun dinilai telah sesuai aturan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sebagai contoh, Joko Tjandra. Ia dinilai berkelakuan baik dan telah menjalani satu pertiga masa pidana sebagai syarat narapidana korupsi memperoleh remisi di PP No 28/2006.
”Joko Tjandra merupakan terpidana yang sudah menjalani 1/3 masa pidana, maka dia berhak mendapatkan remisi yang pertama,” ujar Rika.
Namun, Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana meragukan pemberian remisi telah memenuhi syarat. Pemberian remisi kepada Joko, misalnya, dipertanyakan karena ia tidak memenuhi syarat berkelakuan baik. Ini terutama karena Joko kabur setelah vonis hukuman dijatuhkan kepadanya.
Adapun Andi dan Eni diduga tidak memenuhi salah satu syarat pemberian remisi bagi napi korupsi seperti diatur Pasal 34A Ayat (1) PP No 99/2012 yang memperberat syarat remisi bagi napi korupsi di PP No 28/2006.
Syarat dimaksud, terpidana korupsi harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator). Kesediaan untuk bekerja sama ini harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan instansi penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
”Dua terpidana, Andi Irfan Jaya dan Eni Maulani Saragih, tidak dapat status justice collaborator,” ujar Kurnia.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, melihat, pemberian remisi bagi koruptor sudah lama mengusik rasa keadilan masyarakat. Lebih dari itu, pemberian remisi kepada ratusan koruptor
di hari kemerdekaan dinilainya kian membuat suram komitmen negara, termasuk aparat penegak hukum, pada agenda pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, publik menyaksikan banyaknya koruptor yang dituntut hukuman ringan, bahkan menerima potongan hukuman dari pengadilan. Belum lagi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilihatnya terjadi melalui proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
”Paket pelemahan mulai dari pembiaran oleh Presiden terhadap substansi hukum yang kurang baik, kelembagaan pemberantasan korupsi yang lemah, dan penegak hukum yang tidak peka. Ini sungguh meninggalkan legacy (warisan) yang buruk bagi pemberantasan korupsi ke depan,” kata Aan.
Dari kelanjutan sidang kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (20/8), baik terdakwa Adi Wahyono maupun Matheus Joko Santoso sama-sama mengungkapkan perintah mengutip fee dari para vendor bansos datang dari bekas Menteri Sosial Juliari Batubara yang juga menjadi terdakwa di kasus tersebut.
Hal ini mereka sampaikan secara terpisah sebagai bagian dari nota pembelaan. Adi kala itu menjabat Kuasa Pengguna Anggaran di Kemensos, sedangkan Matheus adalah Pejabat Pembuat Komitmen di Kemensos.
Adi mengaku takut saat menerima perintah menteri mengutip fee. Ia sempat melapor ke atasannya, yakni Sekretaris Direktorat Jenderal dan Direktur Jenderal Jaminan Sosial Kemensos. Namun ternyata, mereka pun takut. ”Atau mereka ada pikiran menikmati (uang korupsi bansos),” ujarnya.
Begitu pula Matheus yang mengaku takut. ”Arahan yang disampaikan merupakan perintah menteri. Perintah agar dilaksanakan dan sudah diketahui para pejabat Kemensos. Saya sempat takut, tetapi Adi menyampaikan tugasnya lebih berat dan ikut bertanggung jawab atas perintah dari Juliari,” ujarnya.