Desa Peduli Pemilu Diharapkan Tingkatkan Kualitas Partisipasi Pemilih Desa
Pemerintah meluncurkan program Desa Peduli Pemilu. Peran aktif masyarakat diharapkan akan berdampak pada legitimasi penyelenggaraan pemilu. Karena itu, pendidikan pemilih yang berkesinambungan perlu terus ditingkatkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Upaya meningkatkan kualitas pemilu terus dilakukan tak hanya di kota, tetapi juga di desa. Alasannya tak lain bukan hanya untuk penguatan demokrasi, melainkan juga pemilu yang bersih dan jauh dari kepentingan politik uang. Diyakini, peran aktif masyarakat akan berdampak pada legitimasi terhadap penyelenggaraan pemilu. Karena itu, pendidikan kepada pemilih yang berkesinambungan dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pemilihan.
Masyarakat desa pun tak kalah pentingnya mendapatkan pengetahuan dan pendidikan politik agar tidak terjebak dalam pelanggaran seperti politik uang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, jumlah desa di Indonesia pada 2021 sebanyak 74.961 desa. Adapun jumlah penduduk perdesaan pada 2019 sekitar 119,7 juta jiwa atau 44,23 persen dari penduduk Indonesia.
Rata-rata tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk perdesaan adalah taraf sekolah dasar, yakni sebesar 30,97 persen. Mereka yang tamat perguruan tinggi hanya 5,22 persen. Jumlah tersebut lebih sedikit dari masyarakat desa yang tidak pernah sekolah yang mencapai 5,57 persen.
Dalam usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat desa terhadap pemilu dan pemilihan, dibutuhkan sarana pendidikan bagi pemilih. Salah satu usaha yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan yang diluncurkan pada Jumat (20/8/2021) di Jakarta. Peresmian dipimpin Ketua KPU Ilham Saputra.
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi; Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Yusharto Huntoyungo; Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Sugito; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati; serta pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito.
KPU berusaha mengedukasi masyarakat dalam menyaring informasi sehingga masyarakat tidak mudah termakan isu hoaks terkait kepemiluan. Di samping itu, agar menghindarkan masyarakat dari praktik politik uang yang sering terjadi menjelang pemilu. (I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi)
”Tujuan program ini untuk membangun kesadaran politik masyarakat agar menjadi pemilih yang mandiri dan rasional,” kata Raka.
Melalui program ini, KPU berusaha mengedukasi masyarakat dalam menyaring informasi sehingga masyarakat tidak mudah termakan isu hoaks terkait kepemiluan. Di samping itu, agar menghindarkan masyarakat dari praktik politik uang yang sering terjadi menjelang pemilu.
Program ini juga menjadi sarana untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi pemilih. KPU mencatat, tingkat partisipasi pemilih pada sejumlah penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan trennya fluktuatif.
Pada Pemilu 1999, angka partisipasi pemilih cukup tinggi, mencapai 92,6 persen, tetapi turun pada Pemilu 2004, yakni pemilu legislatif (pileg) 84,1 persen, pemilu presiden (pilpres) putaran pertama 78,2 persen, dan putaran kedua 76,6 persen. Partisipasi pemilih kembali naik pada Pemilu 2009, yakni pileg 70,9 persen dan pilpres 71,7 persen.
Saat Pemilu 2014, tingkat partisipasi pemilih kembali turun, yakni pileg 72 persen dan pilpres 69,58 persen. Terakhir, pada pemilu serentak 2019, angka partisipasi kembali meningkat mencapai 81,93 persen.
Hal yang sama terjadi untuk pemilihan kepala daerah. Pada pemilihan 2015, partisipasi mencapai 69,06 persen dan naik pada pemilihan 2017 sebesar 74,2 persen. Namun, tingkat partisipasi turun pada pemilihan 2018, yakni 73,24 persen, dan kembali naik pada pemilihan 2020 mencapai 76,09 persen.
Menurut Raka, salah satu indikator keberhasilan program ini adalah adanya peningkatan partisipasi pemilih di daerah partisipasi rendah. Ia menuturkan, setiap provinsi akan dipilih dua lokus atau desa untuk mengikuti program ini. Jumlah peserta minimal 25 orang dari setiap lokus. Program dilaksanakan melalui pelatihan tatap muka dan daring.
Program ini juga menjadi sarana untuk membentuk kader yang mampu menjadi penggerak dan penggugah kesadaran politik masyarakat di lingkungannya. Kader-kader tersebut diharapkan secara aktif dan sukarela mengajak masyarakat di tingkat desa untuk berpartisipasi dalam pemilu dan pemilihan.
Program ini juga menjadi sarana untuk membentuk kader yang mampu menjadi penggerak dan penggugah kesadaran politik masyarakat di lingkungannya. Kader-kader tersebut diharapkan secara aktif dan sukarela mengajak masyarakat di tingkat desa untuk berpartisipasi dalam pemilu dan pemilihan.
Modal sosial
Yusharto Huntoyungo mengungkapkan, Kemendagri mendukung penuh kegiatan ini. Ia berharap program ini dapat membentuk perilaku demokratis, yakni kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak politiknya tanpa pengaruh uang ataupun barang yang diberikan.
Menurut Yusharto, demokrasi dalam masyarakat majemuk menjadi modal sosial untuk mewujudkan komunitas humanistik yang disebut komunitas warga. Demokrasi juga menjadi modal sosial untuk mengontrol dan membentuk pertukaran sosial, yakni distribusi kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi antarindividu atau kelompok dalam masyarakat.
Sugito juga mengungkapkan, demokratisasi desa merupakan prasyarat penting dalam membangun akuntabilitas publik melalui kultur lokal. Selain itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan iklim dan budaya demokrasi di desa dan di tingkat atasnya.
Pemilu hendaknya dibangun dalam narasi keadaban dan kemartabatan, prestasi pemilu desa sebagai fondasi pembangunan politik bangsa. Menampilkan politik bukan dalam wajah horor, tetapi lebih humanis dan kultural. (Arie Sudjito)
Ia mengingatkan, desa merupakan arena demokrasi. Salah satu bagian terpenting dalam Undang-Undang Desa adalah pengakuan negara terhadap hak asal-usul desa dan penetapan kewenangan berskala lokal. Selain itu, pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.
Arie Sudjito menambahkan, desa adalah entitas sosial dan arena politik yang nyata. Desa menjadi penanda praktik demokrasi di level bawah. Interaksi sosial mereka dalam pilkades, pilkada, pileg, dan pilpres menjadi narasi sejarah serta politik keseharian.
Menurut Arie, dalam pendidikan politik perlu memanfaatkan demokrasi dengan emansipasi warga. Pendidikan dapat diberikan berupa arena diskursus dengan tema sosial, ekonomi, pembangunan, dan kesejahteraan. Perlu juga dihubungkan pemilu dengan politik keseharian.
”Pemilu hendaknya dibangun dalam narasi keadaban dan kemartabatan, prestasi pemilu desa sebagai fondasi pembangunan politik bangsa. Menampilkan politik bukan dalam wajah horor, tetapi lebih humanis dan kultural,” tutur Arie.
Khoirunnisa Nur Agustyati menjelaskan, fokus utama dalam pendidikan pemilih adalah membuat informasi dan data pemilu dapat diakses, membangun kepercayaan melalui pemilu yang transparan dan akuntabel, serta mendorong partisipasi dan inovasi pemilih. Dalam pelaksanaan pendidikan pemilih, perlu dipantau dan dievaluasi sehingga ada perbaikan untuk program pendidikan pemilih di masa yang akan datang.