Di usia ke-76 RI, Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia Saiful Sulun melihat, belum semua elemen bangsa menerapkan nilai-nilai Pancasila. Akibatnya, cita-cita kemerdekaan belum terwujud sepenuhnya.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di usia ke-76 tahun kemerdekaan RI, cita-cita para pendiri bangsa belum sepenuhnya terwujud. Asa untuk menyejahterakan masyarakat masih kerap diwarnai problem korupsi, ketidakadilan, dan isu perpecahan. Segenap elemen bangsa diharapkan kembali berpedoman pada Pancasila untuk meraih cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam konstitusi.
Harapan itu disampaikan Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Saiful Sulun kepada Kompas, Kamis (19/8/2021).
Saiful mengatakan, selain menjadi bangsa berdaulat yang merdeka dari penjajahan, cita-cita para pendiri bangsa adalah Indonesia makmur dan rakyatnya sejahtera. Namun, di usia ke-76 RI ini, cita-cita itu belum sepenuhnya tercapai. Saat ini, kondisi bangsa yang tergambar adalah masih banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh elite. Dia menyebut, korupsi yang dilakukan oleh pemimpin yang terpelajar itu merupakan kejahatan kemanusiaan. Korupsi memiskinkan negara dan merebut hak rakyat kecil.
”Kok bisa, di masa sulit pandemi Covid-19 ini, para pemimpin yang terpelajar korupsi demi mencari senang dan kaya sendiri, tidak peduli rakyat miskin. Ini membuat rakyat sangat kecewa,” kata Saiful.
Selain itu, masalah yang memprihatinkan lainnya adalah penegakan hukum masih kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum diperjualbelikan oleh orang-orang yang justru bertugas menegakkan keadilan. Oknum mafia peradilan melakukan kejahatan itu demi memperkaya diri sendiri.
Ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin semakin nyata. Pandemi memperlebar jurang kemiskinan di masyarakat.
Di luar isu tersebut, Saiful juga prihatin dengan masalah narkoba yang masih menggerogoti mental generasi muda. Jika tidak ditangani dengan serius, narkoba bisa menghancurkan generasi bangsa.
”Dengan situasi seperti itu, dapat kita katakan bahwa belum semua elemen bangsa bersatu mencapai tujuan kemerdekaan. Belum semua bergerak untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan,” terang Saiful.
Saiful menilai situasi yang terjadi di Indonesia ini sebagai sebuah kemunduran. Dahulu, Indonesia bisa memimpin pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Sekarang, Indonesia kalah dari negara tetangga. Menurut dia, hal itu disebabkan oleh banyak faktor.
Salah satunya, energi bangsa kerap habis untuk bertengkar satu sama lain dan mengurusi hal-hal nonsubstansial. Karena terlalu banyak bertengkar, masyarakat lupa amanah pendiri bangsa. Mereka lupa bahwa tujuan kemerdekaan adalah untuk menyejahterakan masyarakat melalui negara berdasarkan filosofi Pancasila.
”Jangan sampai lupa bahwa yang mempersatukan kita adalah Pancasila. Negara kita bukan negara liberal-komunis, bukan negara berdasarkan paham agama tertentu. Kita adalah negara yang menjunjung tinggi persatuan dan gotong royong untuk menyejahterakan rakyat,” tegas Saiful.
Agar Indonesia bisa mencapai cita-cita kemerdekaan, Saiful menegaskan, seluruh energi bangsa harus disatukan dan diorkestrasikan dengan Pancasila. Semua harus bersatu, bersama-sama, bergotong royong mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Persatuan dan gotong royong tersebut setidaknya sudah terlihat di sebagian masyarakat. Di tengah pandemi Covid-19 ini, mereka bergerak bersama melakukan aksi solidaritas melalui gerakan rakyat bantu rakyat.
Sebaliknya, perilaku korupsi elite menunjukkan bahwa mereka tak menghayati nilai-nilai Pancasila. Ke depan, hal ini harus dicegah terulang. Hal lain yang juga penting, aparat penegak hukum harus menegakkan hukum dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hukuman koruptor bisa diperberat untuk memberikan efek jera. Dengan demikian, pemerintahan bisa lebih bersih, efektif, dan efisien.
Pemimpin yang beradab
Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra sepakat dengan ajakan kembali kepada Pancasila untuk mengatasi permasalahan bangsa yang akut. Menurut dia, bangsa Indonesia membutuhkan sosok-sosok pemimpin yang tidak hanya pandai dalam teori, tetapi juga sungguh-sungguh mempraktikkan Pancasila dalam kinerjanya. Tumbuhnya pemimpin dan kepemimpinan semacam itu amat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan politik, demokrasi, dan tata kelola negara.
”Dibutuhkan seorang pemimpin yang beradab. Ketika akan berbuat kejahatan, dia dibendung dan dihalangi norma-norma Pancasila. Pemimpin seperti ini tentu bisa dibentuk oleh sistem pendidikan,” ujar Azyumardi.
Menurut Azyumardi, untuk mengatasi permasalahan bangsa yang akut, seperti korupsi, tata kelola pemerintahan yang kurang efektif, serta penegakan hukum yang tidak adil, dibutuhkan kepemimpinan publik berlandaskan Pancasila.
Pemimpin yang dibutuhkan tak hanya yang pandai berteori, tetapi juga mempraktikkan kelima sila Pancasila dalam kinerjanya. Oleh karena itu, intelektual bangsa harus bisa merumuskan cara agar Pancasila bisa diaktualisasikan tidak hanya sebagai pemanis bibir.
Pancasila harus dihidupkan di tengah masyarakat melalui pendidikan karakter, baik formal maupun informal. Generasi penerus bangsa harus dibentuk karakternya agar menjadi calon pemimpin yang beradab.