Temuan Komnas HAM Perkuat Dasar Presiden untuk Ambil Alih TWK KPK
Temuan 11 pelanggaran HAM dalam penyelenggaraan TWK pegawai KPK oleh Komnas HAM menguatkan adanya penyimpangan dalam tes tersebut. Presiden Jokowi diminta mengambil alih sekaligus mengakhiri polemik kepegawaian KPK.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/NIKOLAUS HARBOWO/SUSANA RITA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Temuan 11 pelanggaran hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menguatkan adanya penyimpangan dalam tes tersebut.
Maka, seharusnya, semakin kuat pula dasar bagi Presiden Joko Widodo untuk mengambil alih proses peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), sekaligus mengakhiri polemik kepegawaian KPK yang sudah berlangsung berbulan-bulan.
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, jika Presiden Jokowi tidak mengambil alih penyelesaiannya, kasus ini akan terus membayanginya sampai akhir masa jabatan pada tahun 2024.
”Masalah ini juga akan menjadi warisan negatif karena ia gagal menunjukkan kemauan politik untuk memberantas korupsi dan menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti amanat reformasi,” kata Azyumardi saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Sebelum Komnas HAM merilis temuan 11 pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pada Senin (16/8), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah lebih dulu merilis temuan adanya malaadministrasi berlapis dalam TWK (Kompas, 22/7/2021).
Namun, alih-alih melaksanakan tindakan korektif yang diminta ORI, kedua institusi yang dinilai melakukan malaadministrasi, KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), justru melawan argumentasi ORI.
Oleh karena itu, menurut Azyumardi, temuan Komnas HAM semestinya bisa kian menguatkan dasar bagi Presiden Jokowi untuk segera menghentikan kegaduhan akibat insubordinasi yang telah dilakukan KPK dan BKN.
Segera mengakhiri polemik kepegawaian KPK penting agar KPK bisa kembali fokus memberantas korupsi dan energi bangsa bisa terfokus pada penanganan pandemi Covid-19.
Angkat jadi ASN
Atas temuan 11 pelanggaran HAM dalam TWK, Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden selaku pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan TWK pegawai KPK. Salah satunya, Presiden diminta memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dapat diangkat menjadi ASN.
Adapun hak-hak yang dinilai telah dilanggar, antara lain, hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, dan hak untuk tidak didiskriminasi. Selain itu, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak atas privasi, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Temuan, kesimpulan, dan rekomendasi tersebut diungkapkan dalam jumpa pers, Senin, yang dipimpin Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Hadir pula komisioner lainnya, yakni Beka Ulung Hapsara, Amiruddin, Choirul Anam, Munafrizal Manan, Sandrayati Moniaga, dan Hairansyah.
Damanik mengungkapkan, pemulihan status 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi ASN dapat dimaknai sebagai bagian dari arahan Presiden yang sebelumnya sudah disampaikan.
Pada 17 Mei lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan, hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah perbaikan di KPK dan tidak serta- merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.
Hal tersebut, tambah Damanik, juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 70/PUU-XVII/ 2019 yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan, alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan.
Penyingkiran
Komnas HAM juga menilai TWK tidak mempunyai landasan hukum yang jelas dan memiliki intensi lain, yakni penyingkiran pegawai KPK yang mendapatkan stigma dan label tertentu. Berdasarkan hasil penyelidikan, kata Choirul Anam, tes wawasan kebangsaan diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran pegawai yang terlabel Taliban. Padahal, pelabelan itu bentuk pelanggaran HAM.
Menurut dia, pelabelan Taliban di kalangan internal KPK sengaja dilekatkan kepada pegawai KPK yang kenyataannya sangat erat dengan aktivitas kerja profesional pegawai yang bersangkutan. ”Label itu juga melekat pada pegawai yang tidak bisa dikendalikan,” ujarnya.
Menyikapi temuan Komnas HAM, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menghormati hal tersebut. KPK akan memelajarinya setelah mendapatkan salinan hasil pemeriksaan Komnas HAM. Saat ini, ia tak bisa banyak berkomentar karena KPK juga masih menunggu proses hukum di MK dan Mahkamah Agung (MA) terkait alih status pegawai KPK.
Sebagaimana diketahui, Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK yang mengatur pegawai KPK harus menjadi ASN tengah diuji materi di MK. Adapun Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN juga sedang diuji di MA.
Pelaksana Tugas Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, rekomendasi Komnas HAM spesifik ditujukan kepada Presiden. Sebagai aparat negara, BKN akan menindaklanjuti keputusan Presiden terkait rekomendasi itu. ”Itu prerogatif Presiden. Bawahan akan melaksanakan apa pun yang diputuskan,” ujar Bima.