Reformasi Birokrasi di Kabupaten/Kota Dinilai Masih Rendah
Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemenpan dan RB Erwan Agus Purwanto menyatakan pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah masih rendah sehingga perlu ditingkatkan lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Program reformasi birokrasi di kabupaten/kota masih rendah. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mencatat, reformasi birokrasi masih bersifat formalitas. Upaya percepatan reformasi birokrasi akan terus dilakukan, khususnya pada pemerintah kabupaten/kota.
Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Erwan Agus Purwanto, Rabu (18/8/2021), menyampaikan, pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah kabupaten/kota pada tahun 2020 masih rendah.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kemenpan dan RB, kabupaten/kota hanya memiliki 24,41 persen indeks reformasi birokrasi kategori baik. Padahal, untuk tingkat provinsi, 79,41 persen berada pada kategori baik dan untuk kementerian/lembaga, 96,39 persen ada pada kategori baik.
Baca juga : Reformasi Birokrasi Juga Butuh Perbaikan Kultural
Erwan mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir terdapat peningkatan pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Meskipun terendah, angka yang diperoleh kabupaten/kota mengalami kenaikan sebesar 11,96 persen dibandingkan tahun 2018. Pemerintah provinsi juga mengalami kenaikan sebesar 17,65 persen dibandingkan tahun 2018.
Tiga tahun terakhir terdapat peningkatan pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Meskipun terendah, angka yang diperoleh kabupaten/kota mengalami kenaikan sebesar 11,96 persen dibandingkan tahun 2018. Pemerintah provinsi juga mengalami kenaikan sebesar 17,65 persen dibandingkan tahun 2018. (Erwan Agus Purwanto)
Ia menuturkan, dari tahun 2019 sampai 2020, beberapa instansi pemerintah mengalami penurunan nilai indeks reformasi birokrasi. Hal ini disebabkan adanya perubahan instrumen evaluasi yang menjadi lebih komprehensif dan kolaboratif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menpan dan RB Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi.
”Ke depan kita akan fokus bantu agar reformasi birokrasi di kabupaten/kota berjalan lebih baik sehingga mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan yang sudah baik di level provinsi dan kementerian/lembaga,” kata Erwan dalam acara ”Kick Off Evaluasi Sakip RB Zona Integritas 2021” secara daring.
Erwan menjelaskan, ada berbagai indeks untuk menilai pencapaian pelaksanaan reformasi birokrasi di delapan area perubahan. Delapan area perubahan reformasi birokrasi itu meliputi manajemen perubahan, deregulasi kebijakan, organisasi, tata laksana, SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik.
Indeks reformasi birokrasi dinilai dari dua komponen, yakni pengungkit dan hasil. Komponen pengungkit dinilai dari tiga aspek, yaitu pemenuhan, hasil antara, dan perubahan (reform). Adapun komponen hasil meliputi akuntabilitas kinerja dan keuangan, kualitas pelayanan publik, pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kinerja organisasi.
Untuk penilaian reformasi birokrasi digunakan sistem skor 0-100. Dari skor tersebut dibuat skala ordinal untuk mengelompokkan hasil penilaian dalam kategori-kategori dan diberi nilai huruf D, C, sampai yang tertinggi AA. Nilai B memperoleh kategori baik, BB sangat baik, A memuaskan, dan AA sangat memuaskan.
Di beberapa aspek sudah ada kemajuan dalam mengimplementasikan arahan Presiden Joko Widodo, di antaranya penyederhanaan 41.272 struktur di 91 kementerian/lembaga. Selain itu, 37 lembaga nonstruktural telah dibubarkan dan diintegrasikan pada kementerian/lembaga yang sesuai.
Lebih jauh Erwan menyebutkan, di beberapa aspek sudah ada kemajuan dalam mengimplementasikan arahan Presiden Joko Widodo, di antaranya penyederhanaan 41.272 struktur di 91 kementerian/lembaga. Selain itu, 37 lembaga nonstruktural telah dibubarkan dan diintegrasikan pada kementerian/lembaga yang sesuai.
Meskipun demikian, ada beberapa catatan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, di antaranya reformasi birokrasi sering bersifat formalitas. Pelaksanaannya lebih banyak menghasilkan dokumen atau lebih banyak kegiatan administratif daripada substantif.
Menurut Erwan, fokus dan lokus reformasi birokrasi belum mengacu pada akar masalah. Reformasi birokrasi belum berdampak langsung pada tujuan pembangunan nasional. Seharusnya reformasi birokrasi mempunyai dampak terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat.
Selain itu, kolaborasi antarkementerian/lembaga yang menangani pelaksanaan reformasi birokrasi belum terbangun dengan baik. Karena itu, kolaborasi masih perlu ditingkatkan.
Ia menuturkan, strategi percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi pada 2021 adalah menyempurnakan panduan reformasi birokrasi nasional, meningkatkan kolaborasi dalam mengawal pusat atau daerah, meningkatkan efektivitas tim asistensi reformasi birokrasi, memberikan penghargaan bagi yang memiliki reformasi birokrasi tinggi, dan evaluasi bersama pelaksanaan reformasi birokrasi dengan kedeputian lain.
Kesulitan
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Nikson Nababan, yang juga Bupati Tapanuli Utara, mengaku kesulitan dalam menerapkan reformasi birokrasi untuk tingkat struktural dan fungsional. Ia kesulitan dalam pemberian tugas kepada pejabat eselon IV yang menjadi fungsional. Nikson mempertanyakan apakah tugas, pokok, dan fungsi dari fungsional sama dengan eselon.
Ia mengungkapkan, reformasi birokrasi sulit diterapkan di kabupaten karena masalah anggaran. Selama ini, eselon IV mempunyai tunjangan. Jika fungsional mendapatkan hak yang sama dengan yang tidak memiliki jabatan eselon, akan timbul kecemburuan sosial. Persoalan tunjangan ini akan berdampak pada dana alokasi umum (DAU).
Reformasi birokrasi sulit diterapkan di kabupaten karena masalah anggaran. Selama ini, eselon IV mempunyai tunjangan. Jika fungsional mendapatkan hak yang sama dengan yang tidak memiliki jabatan eselon, akan timbul kecemburuan sosial. Persoalan tunjangan ini akan berdampak pada dana alokasi umum. (Nikson Nababan)
Baca juga : Rapor Reformasi Birokrasi
Menurut Nikson, jika jabatan struktural difungsionalkan, penghasilan staf biasa harus setara dengan yang difungsionalkan agar tidak ada kecemburuan. Alhasil, anggaran DAU harus ditambah.
Ia berharap, Kemenpan dan RB serta Presiden menginstruksikan agar eselon IV yang pensiun tidak diangkat lagi untuk mengisi jabatan tersebut. ”Yang sudah ada tetap dipertahankan sampai pensiun. Artinya, tidak ada lagi pengangkatan eselon IV ke depan,” kata Nikson.
Nikson ingin penyederhanaan ini tidak menyakiti semua orang karena merasa dibuang. Sebab, hal ini berkaitan dengan konteks politik. Selain persoalan tunjangan kinerja, jabatan eselon merupakan sebuah kebanggaan dari seorang pegawai negeri sipil. Jabatan tersebut merupakan penghargaan dari kinerja mereka.
Menurut pengajar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo, penilaian yang dilakukan Kemenpan dan RB cenderung mengambil data kuantitatif yang dipilih sepihak. Fakta di lapangan bisa berbeda.
Adapun kabupaten mengalami kesulitan dalam melakukan reformasi birokrasi, menurut Gitadi, karena kesalahan sendiri. Jabatan dijadikan komoditas oleh banyak kepala daerah. Selain itu, dari segi kapasitas kepala daerah dan rekrutmen pejabat, acap kali sarat dengan dugaan jual beli jabatan.
”Tekanan atau intervensi politik dari partai yang mendukung kemenangan ketika pilkada adalah hal yang sulit dihindari seorang kepala daerah,” kata Gitadi.