”Arisan” Korupsi Para Kepala Daerah
Korupsi kepala daerah semakin mengkhawatirkan apabila sudah merembet ke birokrasi. Karena itu, solusinya harus dicari sehingga akar rantai korupsi yang melibatkan pimpinan daerah ini dapat terputus.
Publik tak henti disuguhi penangkapan kepala daerah akibat tersandung kasus korupsi. Ironisnya lagi, tindakan itu dilakukan di tengah fokus bangsa dalam penanganan pandemi Covid-19. Jika tak ada perbaikan yang fundamental, bukan tidak mungkin kepala daerah lain tinggal menunggu giliran jatuh ke lubang yang sama.
”Kembali mengingatkan kepada penyelenggara negara untuk tidak menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya,” ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (12/8/2021).
Ultimatum itu disampaikan Alexander seusai ia mengumumkan penetapan tersangka sekaligus penahanan terhadap Bupati Bintan, Kepulauan Riau, Apri Sujadi dalam perkara pengaturan barang kena cukai. Bupati yang baru terpilih kembali pada Desember 2020 itu diduga menerima suap sekitar Rp 6,3 miliar.
Penahanan Bupati Bintan menambah panjang daftar kepala daerah yang disidik KPK sepanjang tahun ini. Sederet kepala daerah yang tersandung kasus korupsi misalnya Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat; Bupati Bandung Barat, Jawa Barat, Aa Umbara Sutisna; dan Wali Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, M Syahrial.
Sementara itu, dari tahun 2004 hingga 2020, KPK telah menyidik 122 bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota serta 21 gubernur. Dengan kata lain, 11,3 persen dari total tersangka yang pernah ditangani KPK pada tahun 2004-2020 merupakan kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Baca juga : Bola Liar Korupsi Kepala Daerah di Pilkada
Teranyar, KPK juga sedang mengusut dugaan korupsi terkait pemborongan, pengadaan, atau persewaan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Sejumlah dokumen dari hasil penggeledahan di rumah dinas dan kantor Bupati Banjarnegara telah disita tim penyidik KPK.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengaku sangat prihatin atas situasi ini. Ia mengibaratkan korupsi kepala daerah ini seperti kanker. Artinya, kondisinya sudah benar-benar parah.
Baca juga : Perketat Pengawasan Dana Kampanye
”Kalau perbaikan cuma minor saja, maka ini tinggal tunggu waktu, akan ada lagi (kepala daerah) yang kena kasus korupsi. Tinggal menunggu giliran saja,” tutur Djohermansyah.
Ungkapan keprihatinan Djohermansyah ini masuk akal. Berdasarkan data yang ia kumpulkan pada 2015-2021, dari 542 daerah otonom di Indonesia, setidaknya 433 kepala daerah atau wakil kepala daerah terlibat tindak pidana, dengan lebih dari 80 persennya merupakan tindakan pidana korupsi.
Menurut Djohermansyah, korupsi pimpinan daerah ini semakin mengkhawatirkan apabila sudah merembet ke birokrasi. Untuk itu, solusinya harus dicari sehingga akar rantai korupsi yang melibatkan pimpinan daerah ini dapat terputus.
”Tercemar” sistem buruk
Djohermansyah melihat ada dua persoalan mendasar yang mengakibatkan korupsi kepala daerah terus berulang. Pertama, integritas kepala daerah. Kedua, sistem secara keseluruhan, mulai dari rekrutmen kepala daerah, pemilihan, sampai tata kelola penyelenggaraan pemda.
Baca juga : Komplikasi Kronis Korupsi Kepala Daerah
Jika dilihat dari faktor pertama, hanya sedikit sekali kepala daerah terpilih yang berpengalaman dalam pemerintahan serta mempunyai kompetensi dan integritas. Mereka kebanyakan dipilih berdasarkan kedekatan dengan ” bos” partai, uang yang banyak, serta politik dinasti. Alhasil, putra-putri terbaik di daerah tersingkir.
“Jadi, hasilnya kepala daerah yang lack of competence, lack of integrity, lack of capacity. Tak heran, lahir korupsi di daerah tersebut,” ucapnya.
Kedua, faktor sistem. Menurut Djohermanysah, sistem yang melingkupi rekrutmen kepala daerah di partai politik, sampai penyelenggaraan pemerintah daerah, selama ini sudah bermasalah. Sistem kepartaian, misalnya, tak terlepas dari mahar politik, nepotisme, dan politik dinasti. Padahal, seharusnya semua itu tersaring di partai sehingga partai mencalonkan figur yang terbaik.
Kemudian, sistem pilkada juga bermasalah. Sistem pilkada langsung yang dianut Indonesia sungguh berbiaya mahal. Seuruh biaya kampanye, biaya tim sukses, biaya mahar, dan biaya saksi dibebankan kepada calon. Belum lagi, yang paling menyedihkan, beberapa calon masih bermain politik uang.
Baca juga : Rentetan Korupsi Kepala Daerah
Selanjutnya, calon yang menang dalam kontestasi dihadapkan pada penyelenggaraan pemda yang belum cukup akuntabel dan transparan. Alhasil, tata kelola pemerintahan masih bisa disiasati atau diakali oleh kepala daerah, terutama yang minim integritas.
Selain itu, kepala daerah yang berintegritas, jika masuk dalam sistem yang buruk, akan ikut ”tercemar” sehingga tergoda melakukan korupsi. Ini terefleksi sebenarnya dari sejumlah daerah yang kepala daerahnya berkali-kali ditangkap KPK, seperti di Medan, Bandung Barat, dan Nganjuk.
Pengawasan longgar
Peneliti Pusat Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, menambahkan, pandemi Covid-19 juga semakin membuka celah korupsi. Alasannya ada dua. Pertama, pengawasan menjadi longgar. Ini akibat sumber daya manusia dan sistem pengawasan tidak berubah, sedangkan banyak aspek harus diawasi.
Kedua, proyek-proyek pengadaan barang/jasa atau program pemerintah dilakukan dalam kondisi darurat. Artinya, pengadaan ini tak membutuhkan tender sehingga bisa dilakukan dengan pengadaan langsung.
”Jadi, memang dalam kondisi pandemi ini, kesempatan melakukan korupsi menjadi semakin besar karena banyak program pemerintah yang insidental juga, yang tiba-tiba aturannya juga sangat longgar, berbeda dengan aturan normal,” kata Zaenur.
Zaenur juga melihat ada fenomena kepala daerah yang tersandung korupsi ketika mereka memasuki periode kedua. Ini diduga karena mereka sudah tak mempunyai beban politik lagi. Kemudian, mereka justru berlomba-lomba mengembalikan modal politik yang sudah dikeluarkan sekaligus mencari modal politik untuk bekal kontestasi di jenjang lain, seperti dalam pertarungan legislatif pada periode berikutnya.
Karena itu, Zaenur mengusulkan sejumlah solusi agar korupsi kepala daerah ini tak terus menjadi ”tradisi” dari tahun ke tahun. Pertama, penguatan pengawasan oleh aparat penegak hukum, mulai dari program pencegahan, penindakan, lalu diikuti lagi program pencegahan.
Kedua, perbaikan sistem politik. Ini merupakan pekerjaan besar karena harus dimulai dari kaderisasi. Kemudian, politisi yang ingin ”naik” harus berasaskan meritokrasi. Ketiga, sebisa mungkin menghilangkan politik uang. Upaya menghilangkan politik uang ini adalah pekerjaan semua pihak, salah satunya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut dia, Bawaslu selama ini lemah dalam menanggulangi politik uang.
”KPK hanya bisa masuk kalau itu berasal dari tindak pidana korupsi. Jadi, di sini ada faktor masyarakat. Kalau masyarakat menerima uang suap dalam pemilihan, sudah dapat dipastikan di kemudian hari, calon kepala daerah yang terpilih akan berusaha mengembalikan modal politik tersebut,” tutur Zaenur.
Perbaikan sistem
Djohermansyah juga berpendapat, untuk menyelesaikan politik berbiaya mahal, ada dua cara. Pertama, jika pemerintah tetap ingin pilkada langsung, harus ada subsidi bagi calon-calon kepala daerah. Subsidi ini meliputi biaya saksi dan biaya kampanye. Dengan begitu, mereka tak akan menerima uang dari para cukong yang membiayai pilkadanya.
Cara lain, lanjutnya, adalah menggunakan pendekatan asimetris. Menurut dia, Indonesia patut menerapkan pilkada langsung khusus untuk pemilihan gubernur. Sementara untuk pemilihan bupati dan wali kota, katanya, hal itu dapat dilakukan melalui DPRD atau diangkat oleh gubernur. Dia meyakini hal ini sekaligus dapat mengefektifkan penyelenggaraan pemda sehingga satu komando.
Menurut dia, lebih dari 15 tahun Indonesia menjalani pilkada. Namun, sejumlah daerah malah memunculkan kepala daerah yang koruptif. Presiden Joko Widodo sebagai pemegang eksekutif tertinggi harus bertindak untuk memperbaiki sistem pilkada yang telah menelan 433 kepala daerah dan ribuan birokrasi yang ikut terseret pusaran kasus korupsi kepala daerah.
”Efek perusakannya juga kepada rakyat. Mereka ke bilik suara capai-capai, tetapi mendapat pelayanan yang dikorupsi kepala daerah. Hak-hak mereka menjadi hilang. Jika ini tak segera ditata, ini sungguh tinggal menunggu waktu saja, hari ini kena siapa lagi, lalu mana lagi,” kata Djohermansyah.