Memperingati Hari Kemerdekaan RI, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berpesan agar elite bangsa menjadi teladan dalam bertutur kata, bersikap, dan mengambil kebijakan bagi hajat hidup bangsa dan negara.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan 76 Tahun Kemerdekaan RI mesti dijadikan pengingat bagi seluruh elite bangsa untuk menjadi negarawan. Elite harus menjadi teladan dalam bertutur kata, bersikap, dan mengambil kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, para elite bangsa mulai dari tingkat pusat hingga daerah yang berada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus menjadi negarawan. Mereka harus menjadi teladan terbaik dalam bertutur kata, bersikap, dan mengambil kebijakan-kebijakan penting yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara.
”Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju sesuai dengan cita-cita kemerdekaan jika semuanya berjiwa satria dengan meletakkan kepentingan Indonesia di atas kepentingan warga dan elite bangsa,” kata Haedar dalam keterangannya, Selasa (17/8/2021).
Menurut dia, jiwa kenegarawanan dari rakyat dan elite bangsa sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. Kepentingan bangsa harus selalu berada di atas kepentingan pribadi, golongan, kelompok, partai politik, serta kepentingan-kepentingan yang bersifat eksklusif dan egois.
Menurut Haedar, masyarakat Indonesia terbukti mampu hidup rukun, bersatu, dan bergotong royong dalam semangat persatuan. Keragaman suku, agama, ras, dan antargolongan serta kedaerahan tidak mampu membuat bangsa Indonesia terpecah.
Meski demikian, ia menyadari ada benih-benih perpecahan dan perbedaan, terutama setelah kehadiran media sosial, sehingga hal ini menjadi tantangan dan masalah yang tidak ringan. Ada perbedaan orientasi politik dan keragaman lain yang berpotensi membuat Indonesia terpecah jika perbedaan itu tidak dikelola dengan baik.
Maka, dengan peringatan HUT Ke-76 RI kali ini, bangsa Indonesia harus menjadikannya sebagai momentum untuk semakin mengokohkan persatuan. Semua komponen bangsa dan rakyat harus mengeliminasi setiap potensi perpecahan, kebencian, intoleransi, dan segala macam virus yang membuat Indonesia sebagai bangsa terbelah.
”Perbedaan politik dan kontestasi politik cukup selesai ketika kita berkontestasi dan jangan berkepanjangan menjadi dendam politik yang membuat kita kehilangan jiwa, semangat, dan langkah bersatu,” ucap Haedar.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta peringatan HUT Ke-76 RI dijadikan momentum bagi para kader PDI-P untuk tidak berdiam diri dan berada di zona nyaman. Hasil perjuangan kerja keras partai dengan menjadi pemenang dalam dua pemilu terakhir merupakan kesinambungan perjuangan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era Orde Baru yang harus merasakan tekanan luar biasa dari rezim.
”Tapi, kan, tidak bisa. Tidak ada garansi sesuatu itu akan selalu ada. Yang selalu ada itu hanya Tuhan. Jadi, kita harus berusaha terus, jangan hanya ingin menikmati kehidupan zona nyaman itu,” katanya.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menambahkan, pesan Megawati sangat kontekstual di tengah kondisi pandemi saat ini. Itu mengingatkan bahwa tugas anggota dan kader PDI-P adalah terus menggelorakan semangat juang di tengah kehidupan rakyat.
”Jangan pernah kita melupakan jati diri sebagai bagian dari wong cilik. Indonesia harus terus tumbuh dan berkembang. Maka, mari terus menggelorakan semangat juang bagi seluruh anak bangsa sehingga mereka memiliki semangat juang untuk berdarma bakti yang terbaik kepada bangsanya,” tutur Hasto.
Adapun Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf Al-Jufri menilai, pandemi Covid-19 yang telah memasuki tahun kedua membuat seolah-olah upaya dalam memenuhi cita-cita kemerdekaan menjadi semakin jauh dan berat. Tekanan yang dihadapi rakyat membuat sebagian frustasi dan pesimistis sehingga akan berbahaya jika menjadi gejala kolektif bagi sebuah bangsa.
Situasi yang seperti saat ini, atau mungkin jauh lebih buruk, telah dihadapi oleh para pendiri bangsa. Namun, mereka membuktikan bahwa dengan sikap kenegarawanan dan keteladanan, api perjuangan tetap menyala dan semakin berkobar meski dalam situasi yang paling buruk, gelap, dan pesimistis.
”Sebagai sebuah bangsa, Indonesia hari ini sedang dihadapkan pada suasana yang mengarah ke krisis keteladanan. Para pemimpin yang seharusnya bisa dijadikan teladan justru malah sibuk mengurus diri dan kelompok, serta membuat berbagai tindakan kontroversial dan kontraproduktif. Tentu, jika terus terjadi, kondisi ini sangat tidak kondusif untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa Indonesia,” papar mantan menteri sosial tersebut.
Menurut Salim, Indonesia membutuhkan hadirnya sikap keberpihakan yang jelas kepada rakyat serta konsistensi antara kata dan perbuatan. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan kolaborasi, bukan segregasi, apalagi polarisasi. Elite politik diminta tidak mencederai kepercayaan rakyat dengan berbagai aksi kontroversial dan kontraproduktif yang tidak mencerminkan sense of crisis.
”Di samping masalah inkonsistensi kebijakan, kita juga menyaksikan gejala diskriminasi hukum, perlakuan istimewa kepada para koruptor dengan memberikan keringanan hukuman, dan penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam,” ucapnya.