Mereka yang Merasa Tetap Merdeka meski Terkungkung di Penjara…
Satu hari lagi, rakyat Indonesia merayakan 76 tahun kemerdekaan. Saat yang sama ratusan ribu rakyat masih berada di penjara karena kesalahan yang mereka buat. Lalu, apa arti merdeka menurut para tahanan dan narapadina?
Sudahkah Anda merdeka hari ini? Barang kali Anda akan menjawab dengan cepat: Sudah! Atau bisa jadi Anda justru akan marah dan mengecam orang yang melontarkan pertanyaan tersebut karena seakan tak menghormati para pejuang kemerdekaan yang mengorbankan nyawa sehingga Indonesia bisa menjadi seperti sekarang ini.
Namun, tunggu dulu. Makna kemerdekaan bagi tiap orang bisa bermacam-macam. Bagi sebagian kalangan, buah kemerdekaan yang diperoleh 76 tahun lalu belum begitu dirasakan. Sebab, ada yang belum merdeka dari rasa lapar karena belum beruntung secara ekonomi. Ada pula yang belum merdeka dari ketakutan akan masa depan yang kian tak pasti, terutama di saat krisisi akibat pandemi seperti sekarang ini. Ada banyak hal yang mungkin sulit untuk disebutkan satu-satu.
Bagaimana dengan kelompok masyarakat khusus, seperti narapidana dan tahanan, dalam memaknai kemerdekaan? Sebab, secara fisik, kemerdekaan mereka untuk bergerak dirampas berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Atau, bagi tersangka atau terdakwa yang masih menjalani proses persidangan tetapi ditahan, kebebasan fisik mereka dirampas oleh penyidik atau penuntut umum ataupun hakim berdasarkan kewenangan mereka yang diberikan oleh undang-undang. Apakah mereka masih dapat merasa ”merdeka”?
Yashadi Alvon alias Alvonso, warga binaan Lembaga Pemasayarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, punya cerita. Narapidana kasus narkoba yang harus menjalani masa pidana selama 6 tahun 8 bulan tersebut kini justru merasa merdeka meski harus hidup di balik jeruji besi yang membatasi ruang geraknya.
”Arti kemerdekaan bagi kita warga binaan pemasyarakatan, ya bebasnya kita beribadah. Bebasnya kita beraktivitas. Bebasnya kita membuat hal-hal baik. Ada yang bebas (di luar penjara), tapi kurang baik. Dan bebas narkoba. Merdeka dari narkoba,” kata lelaki yang sudah mendekam di penjara selama 5 tahun 4 bulan ini kepada Rika Apriyanti, Kepala Biro Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam acara bincang-bincang yang disiarkan di akun Youtube Humas Ditjenpas.
Dalam rangka menyambut HUT Kemerdekaan Ke-76 RI, Ditjen Pemasyarakatan membuat acara ”76 Jam Pemasyarakatan Menuju 76 Tahun Kemerdekaan Indonesia”, tayangan berbagai aktivitas LP, rumah tahanan, rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan), dan Lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) di berbagai pelosok Indonesia di dalam memaknai hari kemerdekaan. Acara tersebut ditayangkan secara non-stop selama 76 jam dengan dibagi 8 hingga 11 jam setiap harinya.
Arti kemerdekaan bagi kita warga binaan pemasyarakatan, ya bebasnya kita beribadah. Bebasnya kita beraktivitas. Bebasnya kita membuat hal-hal yang baik. Ada yang bebas (di luar penjara), tapi kurang baik. Dan bebas narkoba. Merdeka dari narkoba
Sebelum terpenjara di LP Gunung Sindur, Alvonso pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional tetapi kemudian dikenai PHK (putus hubungan kerja). Semenjak PHK, ia mulai mengenal narkoba. Tak cuma mengenal dan memakai, ia juga mengedarkan barang terlarang tersebut.
”Bisa dapat (untung) ratusan juga. Tapi keberkahannya enggak ada,” kenang Alvonso yang mengaku uang tersebut tidak membuat hidupnya beserta istri dan anaknya menjadi bahagia.
”Tapi alhamdulilah ketangkap,” kenang Alvonso.
”Kenapa alhamdulilah?” tanya Rika yang mengenakan batik produksi LP Permisan, Nusakambangan, Jawa Tengah.
”Ya kalau enggak ketangkap, gimana kita kenal agama,” jawab Alvonso yang mengenakan sarung, kopiah, dan kini memelihara jenggot.
Hingga saat ini, ia masih menyimpan sesal atas perbuatannya ”meracuni” generasi muda bangsa dengan narkoba. Ia pun kini menyampaikan pesan, ”Kalau yang masih menggunakan narkoba, itu belum merdeka. Karena (narkoba) kini musuh negara. Merdeka itu jauh dari narkoba. Tinggalkan narkoba.”
Baca juga: Butuh Keterlibatan Kaum Muda Melawan Peredaran Narkoba
Ada pula Fariz (18), salah satu warga binaan LPKA Kelas II Bandung, yang terpaksa jauh dari orangtua dan teman-temannya karena perbuatannya di masa lalu. Ia mengaku selalu dilanda kecemasan saat awal masuk LPKA Bandung. Namun, ia akhirnya dapat mengatasi perasaan itu dan kemudian bergabung dengan para narapidana lain mengikuti berbagai kegiatan, seperti belajar menjahit, mencukur, hidroponik, menari, dan pelatihan perikanan.
Fariz memilih menari. ”Saya dapat bebas berekspresi dan berkreasi, mengembangkan minat dan bakat di sini, serta bisa melanjutkan sekolah formal hingga lulus SMA,” ungkapnya.
Tak cuma kisah para penghuni penjara yang mendapatkan ”pencerahan” selama menjalani masa pidana. Setiap unit kerja di bawah Ditjen Pemasyarakatan mencoba memaknai kemerdekaan tersebut dengan berbagai cara. Dalam tayangan ”76 Jam Pemasyarakatan menuju 76 Tahun Kemerdekaan”, masyarakat dapat mengenal lebih dalam upaya-upaya para pegawai LP dan rutan serta warga binaannya mengisi hari-hari panjang di penjara dengan beragam kegiatan.
Ini seperti ditunjukkan oleh warga binaan LP Narkotika Cirebon, Jawa Barat, yang memaknai kemerdekaan dengan ”merdeka berkarya”. Dalam tayangan beberapa menit, tanpa narasi yang panjang, mereka menampilkan sejumlah aktivitas penghuni sel di LP Narkotika Cirebon saat bekerja di bengkel kerja pemasyarakatan.
Sebagian narapidana/tahanan terlihat bekerja membuat kursi anyaman rotan sintetis, ada pula yang memilih membudidayakan tanaman sayuran organik, atau memilih mengembangkan hobinya bermain musik.
Selain itu, ada pula warga binaan yang terlibat dalam pembuatan minyak atsiri untuk kemudian dijual di platform e-dagang, membuat kerajinan tangan, atau beternak burung lovebird.
Keterbukaan
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Rika Apriyanti saat dikonfirmasi mengatakan, gagasan untuk memanggungkan aktivitas di LP dan rutan se-Indonesia tersebut berawal dari kenyataan bahwa pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir meski sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Di saat banyak pihak melakukan kegiatan kerja dari rumah (WFH), petugas LP dan rutan harus tetap bekerja seperti biasa.
”Untuk menunjukkan semangat ini, kami di pusat (Ditjen Pemasyarakatan) memfasilitasi kerja mereka, semangat mereka, dengan mengangkat tema kemerdekaan, dengan live di PAStv semama 76 jam nonstop. Seluruh UPT (unit pembina teknis seperti LP, rutan, rupbasan/rumah dan LPKA) secara bergantian. Masyarakat bisa menonton langsung,” ujar Rika.
Rika mengakui, kualitas video yang dikirimkan tiap UPT berbeda-beda. Ada yang sangat bagus, tetapi ada pula yang standar. Menurut dia, tiap-tiap UPT terbantu dengan hadirnya anak-anak muda kaum milenial yang mulai bekerja di pemasyarakatan sejak 2017 lalu.
Humas Ditjenpas meluncurkan akun Youtube sejak 2020, tetapi baru diluncurkan secara resmi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada 27 April lalu. Peluncuran Pastv ini merupakan salah satu bagian dari keterbukaan informasi publik. Selama ini, masyarakat awam kurang mengetahui seperti apa suasana di dalam LP dan rutan. Bahkan mungkin publik tidak memiliki gambaran sama sekali mengenai kondisi sel yang menjadi rumah bagi sebagian kawan atau kerabat yang harus merasakan dinginnya tembok penjara.
”Tidak ada dusta di antara kita. Silakan dilihat. Silakan, akan kami fasilitasi,”ujar Rika.
Upaya untuk menjadi institusi yang lebih terbuka sebenarnya sudah dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan sejak satu dekade terakhir. Ini setidaknya terlihat dari situs resmi Ditjen Pemasyarakatan yang khusus menyajikan informasi mengenai perkembangan jumlah penghuni LP dan rutan setiap harinya. Data jumlah tahanan dan narapidana, jenis kelamin, tindak kejahatan, data overcrowing di dalam LP dan rutan pun dapat diakses publik, kapan saja. Publik tinggal menyambangi situs sistem basis data pemasyarakatan di smslap.ditjenpas.go.id untuk mengecek data yang dibutuhkan.
Apa saja yang ditampilkan di dalam situs tersebut? Selain data penghuni harian dan bulanan, situs tersebut juga memuat data jumlah penghuni khusus, data anak, penghuni yang mendapatkan perawatan, sumber daya manusia di LP/rutan, jumlah warga negara asing yang ada di LP/rutan, termasuk lokasinya di mana saja, dan lainnya. Selain itu, Ditjen Pemasyarakatan juga menampilkan data anggaran dan serapannya tiap bulan tiap unit satuan kerja.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengaku sangat terbantu dengan adanya smslap.ditjenpas.go.id, khususnya buat penelitian. ”Saya benar-benar berharap semua institusi punya data real time seperti itu. Misalnya, (data) penahanan polisi, kejaksaan. Juga Mahkamah Agung soal putusan-putusannya, jadi seperti laporan MA tetapi real time,” ujarnya.
Ia sepakat keberadaan smslap.ditjenpas.go.id merupakan salah satu wujud dari upaya membangun keterbukaan publik. Namun, ia menyayangkan masih adanya data yang belum di-share ke publik, terutama data yang bersifat sensitif. Misalnya, data mengenai jumlah penghuni LP/rutan yang sakit atau yang positif Covid-19.
Dalam tayangan di akun Youtube Humas Ditjenpas pun, suasana overcrowding di dalam LP dan rutan belum tergambarkan dengan baik. Padahal, hampir seluruh LP dan rutan di Indonesia mengalami hal tersebut. Secara nasional, terjadi kelebihan penghuni mencapai 100 persen dibandingkan kapasitas yang ada. Menurut data smslap.ditjenpas.go.id per 15 Agustus 2021, jumlah penghuni LP dan rutan seIndonesia mencapai 271.181 narapidana dan tahanan. Padahal, kapasitas LP dan rutan hanya 135.561 orang.
Baca juga: Rutan dan Lapas Balikpapan Kelebihan Penghuni 300 persen
Terlepas dari kekurangan yang ada, upaya Ditjen Pemasyarakatan untuk menghadirkan keterbukaan di institusi LP dan rutan perlu diapresiasi. Ada perkembangan yang signifikan yang dapat dirasakan. Apabila satu dekade silam, untuk mengakses data jumlah penghuni penjara harus meminta langsung kepada Ditjen Pemasyarakatan, kini setidaknya hal tersebut tak perlu lagi. Data itu dapat diakses tiap saat, real time.