Perlu ada perbaikan regulasi untuk mencegah potensi konflik kepentingan di antara penyelenggara negara yang dinilai kian tumbuh subur belakangan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi konflik kepentingan di antara penyelenggara negara seolah dibiarkan tumbuh subur. Padahal, hal tersebut jadi pintu masuk korupsi. Perlu ada perbaikan regulasi untuk mencegah konflik kepentingan.
Hal itu jadi salah satu yang mengemuka dalam webinar bertajuk ”Menyoal Konflik Kepentingan. Masalah Integritas dan Etika Pejabat Publik” yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Minggu (15/8/2021).
Hadir sebagai pembicara di antaranya mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode M Syarif, Wakil Koordinator ICW Siti Juliantari, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, dan Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas Padjadjaran Wicaksana Dramanda.
Menurut Laode, tak sedikit penyelenggara negara saat ini yang berpotensi konflik kepentingan. Sebagai contoh, lebih dari separuh anggota DPR berlatar belakang sebagai pengusaha. Konflik kepentingan para anggota DPR itu bahkan dinilainya telah terjadi saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pertengahan 2020 lalu. RUU hanya dibahas dalam jangka waktu dua minggu dengan sejumlah pasal di dalamnya yang menguntungkan pengusaha.
Selain anggota DPR, contoh lainnya yang berpotensi konflik kepentingan, menurut Laode, adalah Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) M Yusuf Ateh. Memimpin lembaga pengawas pemerintahan, Ateh justru ditunjuk menjabat Komisaris Bank Mandiri dan staf khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
”Bagaimana mungkin seorang auditor keuangan negara justru bertugas dan mendapatkan gaji dari lembaga yang dia awasi. Ini sangat berpotensi konflik kepentingan, dan keterlaluan,” kata Laode.
Konflik kepentingan juga berpotensi muncul pada anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Salah satunya karena kader partai politik dapat dipilih menjadi anggota BPK. Saat masih menjabat Wakil Ketua KPK, ia bahkan pernah mendapatkan pertanyaan dari perwakilan negara asing di Indonesia mengenai hal tersebut. Perwakilan negara asing itu heran dan mempertanyakan bagaimana para kader partai tersebut bisa menjaga independensi dan imparsialitas audit keuangan negara.
Selain di eksekutif dan legislatif, Alvin Nicola melihat, potensi konflik kepentingan memungkinkan pula terjadi di yudikatif. Karena itu, seharusnya ada seleksi lebih ketat dalam perekrutan hakim. Saat seleksi calon hakim agung (CHA), misalnya, panitia seleksi seharusnya menelisik lebih dalam dalam soal laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) CHA dan asal-usul kekayaannya.
”Tetapi, yang kita lihat kemarin saat seleksi calon hakim, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan belum mendalam pada isu LHKPN, misalnya. Pertanyaan masih sekadar formalitas dan prosedural. Ini yang kurang dilakukan untuk mencari pejabat publik yang berintegritas,” kata Alvin.
Siti Juliantari mengingatkan, potensi konflik kepentingan yang dibiarkan tumbuh subur justru bisa berujung pada korupsi. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia pun selalu berkaitan dengan konflik kepentingan.
Sesuai definisi dari KPK, konflik kepentingan adalah situasi di mana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan kewenangan yang dapat memengaruhi kualitas dan kinerjanya.
”Konflik kepentingan memang tidak selalu menyebabkan korupsi. Namun, konflik kepentingan ini bisa menjadi pintu masuk korupsi apabila tidak dikelola dangan baik,” kata Juliantari.
Konflik kepentingan bisa berubah menjadi praktik koruptif apabila kepentingan pribadi memengaruhi, mendominasi, atau bahkan menyingkirkan kepentingan publik. Juliantari menyebut, praktik rangkap jabatan yang saat ini terjadi di Indonesia juga sangat rawan konflik kepentingan.
Kasus yang dia soroti, misalnya, dalam kasus korupsi dana bansos Kemensos. Uang suap fee paket bansos sembako Kemensos diduga digunakan untuk kepentingan pribadi bekas Mensos Juliari Batubara, seperti sewa pesawat jet pribadi untuk kunjungan kerja ke daerah. Demikian pula kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang yang terungkap dananya mengalir untuk membiayai kongres Partai Demokrat.
Wicaksana Dramanda mengatakan, untuk mencegah konflik kepentingan penyelenggara negara, regulasi yang ada harus diperbaiki. Harus ada aturan yang secara tegas menyebutkan bahwa pejabat publik dilarang rangkap jabatan atau memiliki bisnis yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Bahkan, khusus mereka yang berlatar belakang pengusaha atau partai politik jika ingin menjadi anggota BPK, BPKP atau KPK, seharusnya sudah berhenti dari pekerjaan sebagai pengusaha atau kader partai sejak dua sampai lima tahun sebelum melamar. Syarat jeda waktu ini disebutnya telah berlaku di negara lain.
Selain itu, harus ada pengaturan kode etik yang tegas agar tidak ada rangkap jabatan dan konflik kepentingan pejabat negara.
Menurut dia, sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, salah satunya Pasal 43, belum cukup kuat mencegah konflik kepentingan pada penyelenggara negara. Bahkan, keberadaan aturan itu masih kerap dilanggar penyelenggara negara.
”Harus ada penguatan pengelolaan konflik kepentingan pejabat publik. Jangan sampai konflik kepentingan diabaikan dan hanya dianggap sebagai kesalahan kecil. Padahal, itu berpotensi terjadinya pelanggaran yang lebih serius yaitu korupsi,” kata Wicaksana.