Jalan Terjal Korban Korupsi Bansos Mencari Keadilan
Korupsi bansos tak hanya merugikan negara, tetapi juga warga penerima manfaat. Namun, upaya warga korban korupsi bansos meminta ganti rugi pada bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara belum juga membuahkan hasil.
Di masa sulit lantaran pandemi Covid-19, korban korupsi bantuan sosial berharap hak mereka dipulihkan oleh negara. Selama ini, para korban korupsi sulit untuk mengklaim ulang hak mereka karena mekanisme hukum yang rumit. Namun, harapan itu pupus di tangan palu hakim.
Sebulan setelah kasus pertama Covid-19 ditemukan di Depok, Jawa Barat, pemerintah melalui Kementerian Sosial mulai mengucurkan bansos berupa paket bahan pokok. Paket itu disalurkan dari bulan April hingga November 2020, khusus untuk warga terdampak Covid-19 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jumlah bansos yang disalurkan sebanyak 1,9 juta paket yang pengadaannya dibagi dalam 12 tahapan proyek.
Salah satu penerima bansos dari Kemensos itu adalah Herdayati (47), warga Muara Baru, Jakarta Utara. Tahun lalu, dia mendapatkan paket bansos berisi beras, sarden, mi instan, gula, terigu, minyak goreng, susu, dan biskuit. Dia merasa terbantu dengan bansos yang diterima karena saat itu kondisi perekonomian keluarga sedang buruk. Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai buruh serabutan selama Covid-19 terus menurun. Sementara dia ibu rumah tangga.
Namun, dari paket bahan pokok yang diterima, dia merasakan keanehan, terutama pada produk sarden. Menurut dia, kualitas sarden buruk, sausnya encer, dan ikan sardennya hancur. Saat dimakan, rasanya juga aneh. Bahkan, ia dan keluarganya sempat diare setelah mengonsumsi sarden tersebut.
”Saya heran sardennya itu sepertinya tidak layak makan. Ikannya hancur, baunya juga menyengat seperti barang yang sudah disimpan lama. Tetapi karena tidak punya uang, ya terpaksa dimasak,” kata Herdayati, Kamis (12/8/2021).
Donris Sianturi (43), warga Pademangan, Jakarta Utara, juga merasakan keanehan yang sama pada sarden di paket bansos Kemensos. Menurut dia, sarden yang dia terima itu mereknya tidak terkenal. Saat dibuka, baunya menyengat dan ikan sarden sudah hancur. Saat dimakan, rasanya juga kurang enak. Akhirnya, dia tidak memasak semua stok sarden yang diterima.
Baik Herdayati maupun Donris mengeluhkan kualitas beras yang, menurut mereka, juga kurang layak. Terkadang, beras yang mereka terima sudah berkutu. Mereka harus memilah beras itu sebelum dimasak. Selain itu, produk mi instan yang mereka terima juga kemasannya sudah berlubang di sana-sini.
”Saat itu, posisi saya menganggur. Karena tempat wisata Ancol ditutup, saya tidak bisa berjualan mainan seperti biasa. Akhirnya, apa yang kita terima ya dimakan saja sekeluarga,” tutur Donris.
Tidak lama berselang, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan dugaan korupsi dalam proyek pengadaan bansos Kemensos. Tak tanggung-tanggung, dugaan korupsi bansos bahan pokok melibatkan Juliari P Batubara, Menteri Sosial saat itu. Ia ditahan KPK setelah terjaring dalam operasi tangkap tangan pada Desember 2020.
Wakil Bendahara Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu kemudian didakwa menerima suap Rp 32,482 miliar dalam kasus proyek pengadaan bansos. Dalam dakwaan di persidangan disebut, uang didapatkan dari sekitar 62 perusahaan rekanan Kemensos, penyedia paket bansos. Sejumlah pejabat Kemensos diperintahkan untuk meminta fee Rp 10.000 per paket bansos. Di persidangan yang masih berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, para pejabat Kemensos itu juga diduga ikut menikmati uang rasuah tersebut.
Kini, Juliari telah dituntut 11 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut hukuman tambahan berupa uang pengganti Rp 14,5 miliar.
Gugatan kali pertama
Korupsi bansos bahan pokok itu tentu merugikan masyarakat penerima manfaat. Karena itu, Heryati dan Donris tergerak untuk bergabung menjadi penggugat dalam permohonan penggabungan ganti rugi korban korupsi bansos Kemensos dengan perkara korupsi bekas Mensos Juliari P Batubara. Bersama dengan 16 korban korupsi bansos lainnya, keduanya berharap hak mereka dipulihkan.
Mereka kemudian melayangkan gugatan ganti kerugian pada bekas Mensos Juliari P Batubara. ”Kalau permohonan kami ini sukses, itu bisa memberikan harapan bagi korban korupsi lainnya. Bahwa mereka masih bisa menuntut ganti rugi haknya yang dicuri para koruptor,” kata Donris.
Baca juga: 18 Korban Korupsi Bansos Berharap Hak Mereka Dipulihkan
Para korban bansos memohon Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/ Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang tengah menyidangkan perkara korupsi bekas Mensos dapat menggabungkan gugatan ganti kerugian yang mereka ajukan. Sebab, korupsi bansos telah merugikan setidaknya 1,3 juta keluarga penerima manfaat.
Sejak awal proses gugatan disampaikan, kuasa hukum korban merasa dipersulit.
Kuasa hukum Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos, M Isnur, mengungkapkan, permohonan penggabungan perkara gugatan perdata ganti rugi dengan perkara pidana korupsi baru pertama kali terjadi di Indonesia. Hal yang jamak terjadi sebelumnya adalah penggabungan gugatan ganti rugi dengan perkara pidana umum, misalnya penggabungan kasus ganti rugi kecelakaan atas biaya pengobatan rumah sakit korban atau kerugian akibat pencurian.
”Secara hukum, acara sebenarnya sama karena tindak pidana korupsi kan tindak pidana juga. Jika kemarin dikabulkan majelis hakim, itu akan menjadi tonggak bersejarah dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia. Namun sayang, hakimnya tidak progresif,” kata Isnur.
Sebelum penggabungan perkara itu ditolak oleh majelis hakim, Isnur berharap banyak pada majelis hakim PN Jakarta Pusat/ Pengadilan Tipikor. Sebab, sudah banyak preseden putusan yang mengabulkan penggabungan gugatan ganti rugi dengan pidana umum.
Preseden itu salah satunya adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 PK/Pid.Sus/2011 tanggal 20 Januari 2012 yang menguatkan Putusan Nomor 1926 K/Pid.Sus/2009 yang menyatakan, ”Menetapkan gugatan ganti kerugian yang diajukan penggugat sesuai dengan ketentuan Pasal 98 KUHAP dan digabungkan pemeriksaan dengan pemeriksaan perkara pidana No. 1075/Pid.B/PN.Smg”.
Isnur sangat menyayangkan proses dan putusan hakim dalam permohonan penggabungan ganti rugi korban bansos. Sejak awal proses gugatan disampaikan, kuasa hukum korban merasa dipersulit. Mereka sampai harus interupsi hingga berdemo saat sidang berlangsung. Di akhir, majelis hakim seolah memberikan sinyal positif akan menerima permohonan itu karena meminta dokumen persyaratan diperbaiki. Setelah itu, justru majelis hakim PN Jakarta Pusat/Pengadilan Tipikor menolak permohonan karena dianggap salah alamat. Majelis hakim menggunakan perspektif perdata murni, di mana gugatan perdata harus diajukan sesuai dengan alamat domisili terdakwa yaitu PN Jakarta Selatan.
”Hakim tidak konsisten. Kalau sejak awal menggunakan perspektif perdata murni, seharusnya ada hukum acara perdata. Hakim bersifat pasif, setiap pihak yang memberikan pembuktian. Di perkara ini, tidak ada jawab jinawab, tetapi langsung dikeluarkan penetapan majelis hakim,” kata Isnur.
Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos pun menuding hakim menghalangi perkara tersebut sejak awal, padahal belum mendengarkan keterangan korban dan kuasa hukum. Apabila memang yang dipermasalahkan majelis sejak awal adalah kewenangan, Isnur mengatakan, pihaknya siap beradu argumen dengan majelis hakim. Tim juga sudah menyiapkan sejumlah pakar hukum untuk menjadi saksi ahli. Namun, majelis tidak memberikan kesempatan itu.
”Belum ada pembuktian sama sekali sehingga putusan hakim ini kami nilai mengedepankan ego keyakinan sendiri. Pertimbangan majelis sangat prematur,” kata Isnur.
Memulihkan hak korban
Gap antara kerugian negara dan uang yang dikembalikan masih sangat besar. Tahun 2020, kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp 56 triliun atau naik empat kali lipat dibandingkan tahun 2019. Adapun pemulihan kerugian keuangan negara baru 30 persen atau sekitar Rp 19 triliun.
Anggota Tim Advokasi Korban Bansos Kemensos, Kurnia Ramadhana, menuturkan, gugatan ganti rugi bansos diajukan oleh 18 korban dari DKI Jakarta karena kegelisahan terkait penegakan kasus korupsi. Pengadilan pasti menjatuhkan vonis penjara bagi koruptor. Namun, faktanya, tren pemidaan perkara korupsi masih tergolong ringan. Rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara.
Selain itu, terkait dengan pemulihan keuangan negara, gap antara kerugian dan uang yang dikembalikan masih relatif besar. Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2020, dari 1.200-an terdakwa yang divonis pengadilan, hanya enam terdakwa yang dijatuhi denda maksimal Rp 1 miliar. Sisanya hanya dijatuhi pidana denda ratusan juta rupiah.
”Gap antara kerugian negara dan uang yang dikembalikan masih sangat besar. Tahun 2020, kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp 56 triliun atau naik empat kali lipat dibandingkan tahun 2019. Adapun pemulihan kerugian keuangan negara baru 30 persen atau sekitar Rp 19 triliun,” katanya.
Kurnia menilai, pemberantasan korupsi di Indonesia perlahan kian meninggalkan korban yang terdampak langsung. Oleh karena itu, tim mencoba mengangkat Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam konteks korupsi bansos dengan terdakwa bekas Mensos Juliari P Batubara. Perkara ini dinilai cocok untuk membangun kausalitas karena ada korban yang merasakan dampak korupsi secara langsung.
”Jika gugatan itu diterima kemudian dikabulkan oleh majelis, ini akan memulihkan kerugian yang dirasakan masyarakat secara konkret. Tidak rumit dan berbelit-belit seperti sebelumnya karena kerugian negara yang dipulihkan melalui denda atau uang pengganti akan masuk ke kas negara melalui Kementerian Keuangan,” kata Kurnia.
Baca juga: Penggabungan Gugatan Ganti Rugi Ditolak, Korban Korupsi Bansos Akan Ajukan Kasasi
Penolakan majelis hakim atas permohonan penggabungan perdata ganti rugi itu, menurut Kurnia, juga menunjukkan perspektif jaksa KPK yang belum berpihak kepada korban. Jaksa penuntut umum sebagai representasi negara seharusnya bisa mewakili korban untuk memulihkan haknya. Kasus korupsi bansos Kemensos dinilai bisa menjadi praktik terbaik jaksa karena mudah membangun kausalitasnya. Terlebih, korupsi dilakukan saat pandemi Covid-19 sehingga jaksa seharusnya lebih memiliki sensitivitas terhadap krisis.
Gugatan di negara lain
Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Sri Bayuningsih Praptadina, menambahkan, di negara lain gugatan ganti rugi atas tindak pidana korupsi juga sudah beberapa kali dilakukan. Kosta Rika, misalnya, pernah menuntut ganti rugi kepada perusahaan swasta Alcatel atas perbuatan suap yang dilakukan. Permohonan ganti rugi itu diajukan oleh Jaksa Agung sebagai representasi negara.
Kemudian, kasus antara British Aerospace (BAE) System yang dihukum karena perkara suap penjualan sistem kontrol militer lalu lintas yang kedaluwarsa oleh Pemerintah Tanzania, Afrika. BAE System dituntut membayar ganti rugi senilai 30 juta euro atas kasus suap tersebut. Kasus suap itu dinilai merugikan rakyat Tanzania.
Pemerintah Filipina juga pernah menggugat mantan Presiden Ferdinand Marcos dan istrinya yang membawa lari harta hasil korupsinya ke Amerika Serikat. Kasus diadili di pengadilan Amerika Serikat.
”Gugatan itu semuanya didasarkan pada Pasal 35 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Melawan Korupsi (UNCAC) yang menegaskan bahwa negara wajib untuk menjamin adanya hak untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku kejahatan atas kerugian untuk memperoleh kompensasi,” kata Praptadina.
Turunan kesepakatan itu sebenarnya juga telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi (UNCAC) 2003. Namun, sayangnya, di Indonesia langkah pertama korban menuntut kerugian yang diderita lantaran korupsi pejabat belum diakomodasi pengadilan. Kini, korban dan tim advokasi sedang menggugat putusan itu ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Para korban bansos berharap, perjuangan mereka akan membuahkan hasil yang manis.