Pelamar Calon ASN Masih Kesulitan Sampaikan Sanggahan
Setelah mengumumkan hasil seleksi administasi, pemerintah membuka kesempatan pelamar calon ASN mengajukan sanggahan. Masa sanggah dilaksanakan pada 4-6 Agustus dan jawaban sanggah dijadwalkan pada 4-13 Agustus 2021.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menyampaikan bahwa pelamar calon aparatur sipil negara atau ASN masih kesulitan menyampaikan sanggahan. Persoalan klasik ini akan disampaikan kepada pemerintah dan penyelenggara untuk perbaikan penerimaan calon ASN selanjutnya.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, Rabu (11/8/2021), menyampaikan, sejak Ombudsman membuka Posko Pengaduan Seleksi Calon ASN 2021, pekan lalu, ada dua persoalan yang banyak dilaporkan oleh pelamar. ”(Laporannya) berulang, isu-isu klasik. Dari sisi teknis, saluran komunikasi ke pansel (panitia seleksi) untuk memberikan sanggahan,” kata Robert ketika dihubungi dari Jakarta.
Setelah mengumumkan hasil seleksi administasi, pemerintah membuka kesempatan pelamar untuk mengajukan sanggahan. Masa sanggah dilaksanakan pada 4-6 Agustus dan jawaban sanggah dijadwalkan pada 4-13 Agustus 2021.
Robert mengungkapkan, selama masa sanggah, pelamar masih kesulitan untuk menghubungi nomor pusat pengaduan. Padahal, seharusnya pansel menempatkan pengaduan dan penanganan laporan sebagai hal yang sangat penting. Jika penyelenggara mengoptimalkan sumber daya aparatur yang ada, tidak akan ada keluhan sulit mengakses.
Seharusnya pandemi tak menjadi alasan untuk tidak melayani publik secara optimal. Persoalan itu, menurut Robert, terjadi karena permasalahan kompetensi dan sikap dari SDM yang mengurus selama masa sanggah.
Ke depan harus ada keterpaduan minimal sinkronisasi rumpun program studi dengan formasi di calon ASN.
Agar persoalan ini tidak terjadi lagi di masa depan, Ombdusman berpandangan, harus ada pembenahan infrastruktur pusat informasi. Selain itu, perlu SDM yang berpengalaman dan memiliki kesebaran serta empati.
Laporan lainnya yang paling banyak masuk di Ombudsman adalah ketidakterpaduan antara kebutuhan formasi jabatan dan nomenklatur program studi. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya koordinasi antara pansel dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Menurut Robert, ke depan harus ada keterpaduan minimal sinkronisasi rumpun program studi dengan formasi di calon ASN. Faktor ketidakterpanduan itu menjadi salah satu penyebab target 5 juta pelamar yang disampaikan penyelenggara di awal pendaftaran calon ASN 2021 tidak tercapai.
Dua laporan tersebut merupakan persoalan klasik yang selalu berulang dalam pendaftaran calon ASN. Tak hanya pada seleksi tahun 2021, tetapi juga pada 2019, bahkan tahun-tahun sebelumnya.
Penyelenggaraan seleksi calon ASN selalu dievaluasi setiap tahun. Laporan dari Ombudsman tentu akan menjadi salah satu bahan evaluasi agar penyelenggaraan seleksi calon ASN ke depan lebih baik lagi.
Robert berharap, segala laporan dari pelamar dapat menjadi masukan untuk perbaikan pendaftaran calon ASN ke depan. Ombdusman akan berkirim surat dan berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) untuk menindaklanjuti keluhan dan laporan yang masuk.
Dihubungi secara terpisah, Pelaksana Tugas Asisten Deputi Perencanaan dan Pengadaan SDM Aparatur Kemenpan dan RB Katmoko Ari Sambodo mengatakan, penyelenggaraan seleksi calon ASN selalu dievaluasi setiap tahun. Laporan dari Ombudsman tentu akan menjadi salah satu bahan evaluasi agar penyelenggaraan seleksi calon ASN ke depan lebih baik lagi.
Pengajar Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Gitadi Tegas Supramudyo, mengatakan, perlu ada mekanisme baru berbasis aplikasi yang lebih baik dan komprehensif untuk memenuhi kebutuhan pelamar dalam menyampaikan sanggahannya. Bukan hanya sekadar memindahkan pelayanan tatap muka ke layar komputer.
Terkait dengan formasi calon ASN, kata Gitadi, sudah menjadi keluhan umum saat kelulusan. Sebab, tidak ada koordinasi dan komunikasi antara kampus, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan kementerian yang membuka formasi kerja.
Ia mengungkapkan, banyak kampus mengganti nama program studi dengan nama baru yang lebih kekinian menyesuaikan dengan perkembangan keilmuan. Bagi kampus besar, mereka membuat surat keterangan kesetaraan nama. Namun, cara tersebut merepotkan karena surat keterangan masih individual.
Gitadi menegaskan, dalam pelayanan publik oleh birokrasi yang berbasis teknologi informasi, dibutuhkan birokrasi cerdas dan adaptif. Birokrasi harus mampu dengan cepat menyesuaikan tantangan di lapangan. Ironisnya, rata-rata birokrasi di Indonesia masih berkultur patrimonial.
”Karena monopoli dan ketiadaan kompetitor, birokrasi jadi lambat dan sulit keluar dari zona nyaman,” kata Gitadi.