Pemerintah Diminta Mencabut Pasal Diskriminatif terhadap Advokat di RKUHP
Peradi meminta pemerintah mengeluarkan ketentuan Pasal 282 dari RKUHP. Peradi menyadari ada advokat yang berbuat curang terhadap kliennya dan perlu diberi sanksi. Namun, sanksi pidana di pasal itu dinilai tidak tepat.
Oleh
susana rita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi profesi advokat meminta pemerintah mencabut Pasal 282 dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang memuat ancaman pidana bagi advokat yang diketahui curang dalam menjalankan pekerjaannya. Pasal tersebut dinilai diskriminatif, prejudice, dan tendensius karena seolah-olah hanya advokat yang dapat berlaku curang.
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan dalam siaran persnya, Selasa (10/8/2021), mengungkapkan, Peradi meminta pemerintah mengeluarkan ketentuan Pasal 282 dari RKUHP. Peradi menyadari, dalam praktiknya ada advokat yang berbuat curang terhadap kliennya dan perlu mendapatkan sanksi.
Namun, sanksi pidana seperti diatur dalam draf RKUHP tersebut tidak tepat. Selama ini, katanya, sanksi dijatuhkan secara tegas oleh Dewan Kehormatan Peradi karena pelanggaran kode etik advokat.
Adapun, Pasal 282 RKUHP mengatur, ”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang: a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau b. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan”.
Dalam bagian Penjelasan Pasal 282 RKUHP disebutkan, ketentuan tersebut ditujukan untuk advokat yang secara curang merugikan kliennya atau meminta kliennya untuk menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan.
Menurut Otto, pasal tersebut dibuat dengan paradigma yang kurang tepat. Keberadaan pasal tersebut membuat seakan-akan hanya advokat yang dapat berbuat curang kepada kliennya. Padahal, klien memiliki potensi yang sama untuk berbuat curang terhadap advokat.
Pasal tersebut juga dinilai terkesan diskriminatif, penuh prasangka (prejudice) dan tendensius. Sebab, seolah-olah hanya advokat yang dapat berlaku curang, padahal penegak hukum lain juga dapat melakukan hal yang sama.
”Kalau pasal ini tetap dipertahankan, maka pasal ini tidak boleh hanya ditujukan kepada advokat saja. Tetapi juga ditujukan kepada penegak hukum yang lain, yaitu hakim, jaksa, penyidik, panitera, termasuk juga klien,” kata Otto dalam siaran persnya. Saran tersebut sudah disampaikan Peradi kepada pemerintah.
”Kami tadi diundang oleh tim dari pemerintah untuk memberi masukan. Masukan kami adalah seperti itu,” ujarnya.
Tak hanya Peradi, organisasi advokat lain, seperti Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), juga menyerukan hal serupa. Ketua Bidang Humas Ikadin Erwin Natosmal Oemar mengatakan, pasal tersebut meletakkan advokat sebagai aktor utama kusutnya peradilan.
Selain diskriminatif dan asumtif, pasal tersebut juga bertentangan dengan hak imunitas advokat. Pasal ini mengancam advokat dalam menjalankan praktiknya sebagai pembela hukum.
Namun, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho mengungkapkan, Pasal 282 RKUHP justru bagus untuk melindungi klien dalam menggunakan jasa advokat sehingga tidak terjebak dalam situasi yang termaktub dalam pasal itu. Ia menilai pasal itu dibuat agar dapat meletakkan advokat secara profesional. Hibnu tak sependapat jika disebutkan pasal itu bersifat tendensius terhadap profesi advokat.
”Jangan sampai suatu perkara jadi bias dan tidak fokus karena ada perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. Mesti diingat, ini posisi advokat sebagai penegak hukum. Masa penegak hukum memengaruhi, mengatur, menyiasati perkara. Advokat itu profesi mulia,” ujarnya.
Hibnu juga meminta para advokat membedakan hak imunitas yang dimiliki dengan jerat Pasal 282 RKUHP. Hak imunitas berlaku dalam persidangan, dalam konteks litigasi. ”Jadi, ini tidak termasuk imunitas,” ujarnya.