Ombudsman Sebut Tidak Akan Berbalas ”Pantun” dengan KPK
”ORI masih mempelajari isi surat keberatan dari KPK karena isinya cukup banyak. Yang pasti, ORI tidak dalam posisi berbalas pantun atas substansi keberatan tersebut,” kata anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberatan Komisi Pemberantasan Korupsi menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK dikhawatirkan menggerus kepercayaan publik. Ombudsman tetap menunggu langkah korektif dilakukan KPK sebelum akhirnya memberikan rekomendasi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron menyatakan KPK keberatan menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Ghufron menyebutkan, ada 13 pokok keberatan KPK atas laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP). Surat keberatan itu sudah diterima oleh ORI, Jumat (6/8/2021).
Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/8/2021) mengatakan, ORI tidak akan membalas surat surat dari KPK berkaitan dengan substansi dari isi surat tersebut. Surat balasan akan diberikan terkait dengan pemberitahuan bahwa ORI sudah menerima surat keberatan itu.
”Saat ini, kami ORI masih mempelajari isi surat keberatan dari KPK karena isinya cukup banyak. Yang pasti, ORI tidak dalam posisi berbalas pantun atas substansi keberatan tersebut,” katanya.
Menurut dia, surat keberatan yang disampaikan KPK sudah sesuai prosedur. Namun hal itu tidak memengaruhi prosedur tahapan yang ada, yakni harus ada tindakan korektif berdasarkan LAHP yang telah disampaikan. Apabila selama 30 hari KPK tidak melakukan tindakan korektif, ORI akan mengeluarkan rekomendasi.
”Ombudsman fokus menjalankan mekanisme prosedural yang berlaku di Ombudsman, di mana jika dalam batas 30 hari tidak dijalankan tindakan korektif yang kami sampaikan dalam LAHP, Ombudsman meneruskan ke tahap rekomendasi,” kata Robert.
Ketua ORI Mokhammad Najih mengatakan, sejak periode ORI kali ini dilantik Februari 2021, ada ratusan kasus yang telah ditangani. Namun semua berakhir pada LAHP karena institusi yang diadukan selalu melakukan tindakan korektif meskipun ada juga yang hanya menindaklanjuti sebagian. Baru kali ini, ada institusi yang mengirim keberatan untuk menindaklanjuti LAHP ORI.
”Semuanya melaksanakan tindakan korektif karena ini menjadi salah satu bentuk penilaian reformasi birokrasi. Apalagi KPK sekarang sudah masuk di rumpun eksekutif,” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, keberatan KPK yang disampaikan kepada ORI menunjukkan hubungan kelembagaan yang buruk. Hal ini berpotensi menjadi konflik antarkelembagaan karena masing-masing mengutamakan ego sektoral.
Jika keberatan yang diajukan KPK berujung pada penolakan dan membuat ORI mengeluarkan rekomendasi, hal ini dikhawatirkan bisa berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga itu.
Pada KPK, keberatan menunjukkan ego sektoral yang tinggi karena tidak mematuhi aturan-aturan, sedangkan ORI bisa dianggap lembaga yang kurang kuat karena produknya tidak dijalankan oleh instansi lain. Publik pun bisa ragu untuk membuat pengaduan kepada ORI karena instansi yang diadukan bisa tidak menjalankan tindakan korektif dari ORI.
”Jika lembaga-lembaga negara sudah tidak dipercaya publik, ujungnya akan merugikan publik sendiri. Segala langkah yang dilakukan lembaga itu tidak akan mendapatkan respons publik dan dianggap sebagai sebuah pemborosan,” katanya.