Adanya calon penerima vaksin Covid-19 yang tak bisa divaksin karena NIK sudah digunakan akseptor lain menguatkan problem integrasi data kependudukan di negeri ini. Integrasi baru dilakukan setelah kerugian muncul.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Problem yang muncul akibat tak terintegrasinya data kependudukan kembali terjadi. Yang terbaru, kasus warga DKI Jakarta dan Bekasi yang gagal vaksinasi Covid-19 karena nomor induk kependudukannya digunakan orang lain. Sebelumnya, kasus yang mirip muncul dalam pemilihan kepala daerah dan buronan yang kabur di luar negeri hingga bertahun-tahun.
Gagal vaksinasi Covid-19 karena nomor induk kependudukan (NIK) dialami Yuni Trianita (43), warga dengan KTP DKI Jakarta yang berdomisili di Cibitung, Kabupaten Bekasi. Yuni yang akan mendaftar vaksinasi Covid-19 di Jakarta mendapati keterangan sudah menerima vaksin dosis pertama di aplikasi Jakarta Kini dan Peduli Lindungi. Sertifikat vaksinasi di dua aplikasi tersebut menampilkan keterangan, Yuni telah menerima vaksin Sinovac di Serpong, Tangerang Selatan.
Seperti kasus yang dialami Yuni, hal serupa terjadi kepada Wasit Ridwan (47), warga Kabupaten Bekasi. Wasit gagal mengikuti vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Bekasi karena NIK sudah dipakai orang lain. NIK milik Wasit telah digunakan seorang warga negara asing yang mengikuti vaksinasi Covid-19 di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Pribadi menyebutkan, kasus kesalahan NIK tersebut terjadi karena human error. Kesalahan bisa terjadi di fasilitas kesehatan (faskes) atau diri sendiri saat memasukkan NIK.
Sebelum kasus gagal vaksinasi Covid-19 tersebut mencuat di publik, persoalan integrasi data juga terjadi dalam pemilihan kepala daerah dan kaburnya buronan. Calon bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient Patriot Riwu Kore, lolos dalam tahap pencalonan dan memenangi Pilkada Sabu Raijua 2020. Padahal, Orient memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat.
Adapun syarat calon kepala daerah adalah warga negara Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) pun membatalkan kemenangan Orient karena persoalan kewarganegaraan tersebut. Dampak buruknya, belasan miliar rupiah anggaran pilkada terbuang dan memantik konflik di masyarakat.
Persoalan kewarganegaraan ganda, seperti kasus Orient, tidak hanya terjadi sekali. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakhrulloh saat memberikan keterangan dalam sidang pemeriksaan sengketa hasil Pilkada Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, di MK, mengungkapkan, dalam kurun waktu enam tahun terakhir, ada tiga kasus kewarganegaraan ganda yang muncul di publik.
Sebelum kasus Orient, persoalan serupa terjadi pada Arcandra Tahar yang sempat diangkat menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ada juga kasus Joko Tjandra, buron kasus Bank Bali yang mendapatkan kewarganegaraan Papua Niugini, tetapi tetap bisa memperoleh dokumen KTP elektronik dan mengurus paspor Indonesia.
Akibat persoalan integrasi data kependudukan, buronan lain pun dapat kabur ke luar negeri hingga bertahun-tahun. Terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis, yang sempat 13 tahun buron, bisa memegang paspor RI sebanyak empat kali. Tiga paspor di antaranya dikeluarkan Imigrasi atas nama Hendro Leonardi.
Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Arya Pradhana Anggakara menyebutkan, Adelin telah melampirkan dan menunjukkan dokumen yang menjadi syarat permohonan, baik asli maupun fotokopi. Dokumen tersebut adalah kartu tanda penduduk (KTP), surat bukti perekaman KTP elektronik, kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat pernyataan ganti nama.
Buronan lainnya, Hendra Subrata, menjadi buronan selama 10 tahun dalam kasus percobaan pembunuhan. Hendra ditemukan saat memperpanjang paspor atas nama Endang Rifai di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Adapun Adelin dan Hendra sudah dideportasi dari Singapura pada Juni lalu.
Arya menyebutkan, pemalsuan yang dilakukan oleh Adelin dan Hendra pada data identitas diri, yakni KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran, bukan paspor. Sebab, persyaratan dan prosedur saat pengajuan paspor telah sesuai dengan mekanisme sehingga paspor dapat diterbitkan.
Adapun Zudan berdalih, dalam basis data kependudukan yang dimiliki Dukcapil, Adelin dan Hendra memiliki data ganda. Ini bisa terjadi karena mereka membuat KTP sebelum program KTP elektronik diterapkan pada 2009.
Upaya perbaikan
Setelah problem-problem tersebut mencuat, pemerintah baru berupaya untuk memperbaikinya. Terkait dengan vaksinasi, misalnya, Kemendagri menjalin kerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan pada Jumat (6/8/2021).
Melalui kerja sama itu, input data NIK dari para calon penerima vaksin akan langsung terintegrasi dengan basis data kependudukan yang dikelola Kemendagri. Dengan demikian, jika ada calon penerima vaksin yang keliru menuliskan NIK atau misalkan sengaja mencatut NIK milik orang lain agar bisa memeroleh vaksin, akan segera terdeteksi. Kesalahan pun bisa dicegah terjadi.
Kemudian, pascakejadian Joko Tjandra, Kemendagri menyerap ratusan data buron milik Kejaksaan Agung untuk dimasukkan ke dalam basis data (database) kependudukan. Dengan demikian, penerbitan dokumen kependudukan yang diajukan oleh buron tak akan terulang kembali.
”Dengan masuknya data DPO atau buron ke sistem database, akan muncul alert system tentang status hukum penduduk yang bersangkutan,” ujar Zudan, awal Agustus 2020.
Meski demikian, upaya perbaikan yang ditempuh belum bisa menjawab semua persoalan yang muncul.
Dalam kasus kewarganegaraan ganda, seperti Orient, sistem pencatatan data kependudukan di Kemendagri bersifat pasif. Artinya, perubahan kewarganegaraan menunggu laporan dari orang yang menerima kewarganegaraan negara lain. Dengan kata lain, jika orang yang berubah kewarganegaraannya tidak lapor ke Kemendagri atau Kementerian Hukum dan HAM, orang tersebut akan tercatat memiliki kewarganegaraan Indonesia.
Begitu pula dalam kasus data ganda buronan seperti Adelin Lis dan Hendra Subrata. Persoalan itu berpotensi bisa terus muncul jika tak ada upaya pembersihan data ganda di basis data kependudukan. Data ganda dimaksud, data ganda kependudukan yang dibuat sebelum KTP elektronik diterapkan pada 2009.
Adapun dalam kasus vaksinasi, anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, mengatakan, Sabtu (7/8/2021), tidak semua fasilitas atau sentra vaksinasi terkoneksi dengan pusat data kependudukan di Kemendagri. Akibatnya, petugas sekadar mencatat NIK calon penerima vaksin tanpa bisa memverifikasi keabsahan dari NIK tersebut ke pusat data. Kondisi ini membuat kasus yang dialami Wasit dan Yuni berpotensi terulang di kemudian hari.
Maka, problem-problem tersebut penting untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Tak terkecuali belum terintegrasinya basis data kependudukan dengan instansi lain yang menggunakan NIK. Menurut Indraza, persoalan administrasi ini bisa dihindari,jika semua data terintegrasi.
”NIK itu penting. Data kependudukan itu sangat penting, integrasi antarpihak pengguna harus diintensifkan,” tutur Indraza.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele, ketika sudah ada NIK tunggal setelah program KTP elektronik diterapkan, seharusnya tidak terjadi duplikasi sebab sudah didukung dengan teknologi.
Saat ini, pekerjaan rumah dari pemerintah adalah memastikan integrasi data tersebut dapat berjalan dengan benar agar sungguh-sungguh menjadi satu data.