Jadikan Faktor Integritas Standar Utama Loloskan Calon Hakim Agung
Faktor integritas perlu dikedepankan di atas kualitas intelektual dan kinerja dalam memilih calon hakim agung. Dari pengamatan panelis, Jimly Asshiddiqie, saat proses seleksi, kebanyakan calon berkemampuan standar.
Oleh
Susana Rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial perlu mengedepankan faktor integritas dalam memilih calon hakim agung yang nantinya dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan.
Sebab, masyarakat pencari keadilan membutuhkan hakim-hakim di Mahkamah Agung yang independen dan imparsial, serta dihormati dan terhormat, sebagai pengawal negara hukum yang bermartabat. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengungkapkan harapannya tersebut, Jumat (6/8/2021). Jimly menjadi salah satu panelis dalam tes wawancara yang merupakan rangkaian akhir seleksi calon hakim agung di KY. Tes wawancara digelar sejak Selasa (3/8/2021) hingga Sabtu (7/8/2021) terhadap 24 calon yang berasal dari rumpun hukum pidana, perdata, dan militer.
”Yang terpenting integritas para calon, baru soal kualitas intelektual dan kapasitas kinerjanya untuk menopang perbaikan terus-menerus di dalam tubuh MA yang pada waktunya pasti berdampak keluar. Kita butuh MA yang sungguh-sungguh independen dan imparsial, serta semakin respected (dihormati) dan respectable (terhormat) sebagai pengawal negara hukum yang bermartabat karena kualitas dan integritas,” kata Jimly.
KY akan melanjutkan proses seleksi pada Sabtu ini dengan mewawancarai empat calon terakhir. Mereka adalah Berlian Napitupulu, Ennid Hasanuddin, Mochamad Hatta, dan Raden Murjiyanto.
Peserta seleksi calon hakim agung tahun 2021 ini mayoritas berasal dari jalur karier atau hakim. Dari 24 calon, hanya dua calon nonhakim dan berasal dari kalangan perguruan tinggi. Kebanyakan calon melamar untuk menjadi hakim agung kamar pidana.
Saat ditanya mengenai penilaiannya terhadap para calon, Jimly yang menjadi panelis selama dua hari mengungkapkan, kebanyakan calon memiliki kemampuan standar.
”Pada umumnya calonnya standar umum saja. Ada 3-5 yang agak menonjol wawasannya, idealisme keadilannya, dan kemampuan manajerialnya,” ujarnya.
Ia berharap seleksi kali ini mampu menghasilkan hakim-hakim agung sesuai kebutuhan MA. Jimly pun berharap, nantinya para anggota DPR yang akan memutuskan untuk menerima atau menolak calon yang diajukan KY dapat meloloskan para calon yang sudah diseleksi tersebut.
Seleksi kali ini dimaksudkan untuk mengisi 13 jabatan hakim agung yang kosong di MA. Seperti disampaikan oleh MA dalam permintaannya ke KY, saat ini lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu membutuhkan dua hakim agung untuk kamar perdata, delapan hakim agung untuk kamar pidana, satu hakim agung untuk kamar militer, dan dua hakim agung untuk kamar tata usaha negara (TUN), khususnya pajak.
Ditanya tentang Pinokio
Pada Jumat, KY menggelar seleksi wawancara terhadap lima calon hakim agung. Mereka adalah Brigadir Jenderal TNI Slamet Sarwo Edy, Brigjen Tama Ulinta Br Tarigan, Brigjen Tiarsen Buaton, Haswandi, dan Fauzan.
Dalam seleksi wawancara terhadap Haswandi yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, komisioner KY, Sukma Violetta, menanyakan pada saat mengadili perkara dugaan korupsi yang melibatkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
”Bapak pernah mengatakan kepada salah satu saksi (dalam perkara Anas), yaitu Nazaruddin (M Nazaruddin, mantan Bendara Umum Partai Demokrat), sebagai pinokio. Supaya jangan berbohong. Dalam kasus Susno Duadji, Anda mengatakan, kapolres kok seperti anak kecil. Saya hanya ingin menanyakan kaitannya dengan kode etik. Terhadap sikap seperti itu, dalam kode etik (hakim) diaturnya seperti apa?” kata Sukma.
Mendapat pertanyaan tersebut, Haswandi pun menjawab, ”Pertama saya jelaskan lebih dulu berkaitan dengan Pak Nazaruddin. Sebagai seorang Minang, saya terbiasa dengan bahasa kiasan. Karena pada saat ditanya, (Nazaruddin) selalu memberikan keterangan berbeda dengan yang ditulis di BAP (berita acara pemeriksaan). Saya ingatkan saat itu, kalau beda keterangan di persidangan, tentu kita ingatkan mana yang benar. Tetapi karena dia pada saat itu selalu tidak menyampaikan sebagaimana adanya, lalu dengan bahasa kiasan saya sampaikan, ya nanti hidung Bapak kayak pinokio.”
Sukma pun terus mengejar Haswandi agar merefleksikan sikapnya tersebut dengan 10 prinsip yang ada di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
”Itu kaitannya dengan (prinsip) arif dan bijaksana, bagaimana kemudian kita dalam memimpin persidangan harus tidak boleh merendahkan pihak-pihak yang berada dalam persidangan itu. Prinsip lain mungkin terkait dengan integritas,” kata Haswandi.
Sukma kemudian menambahkan bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan prinsip rendah hati dalam KEPPH. ”Rendah hati ya Pak. Karena disebutkan (di dalam kode etik) untuk menghargai orang lain. Saya paham mengenai kiasan tapi ada ketentuan di dalam kode etik,” kata Sukma mengakhiri pertanyaan tentang pinokio.
Sukma kemudian mengelaborasi pemahaman Haswandi akan prinsip kemandirian di dalam kekuasaan kehakiman dan implementasinya.
Calon hakim agung lainnya, Fauzan, yang menjadi peserta tes wawancara terakhir pada Jumat kemarin, ditanya mengenai hal yang sama oleh anggota panel, Yuliandri, yang juga Guru Besar Perundang-undangan Universitas Andalas, Padang. Ia diminta untuk menjelaskan tentang pengaturan kekuasaan kehakiman di dalam konstitusi.