Surat Keberatan KPK Dinilai Memperkeruh Hubungan dengan Ombudsman
Penyampaian keberatan KPK justru dapat menyebabkan hubungan antarlembaga makin merenggang. Hal ini tak akan terjadi jika KPK menghargai tugas dan fungsi Ombudsman.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataaan keberatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang enggan menindaklanjuti putusan Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK malah akan membuat hubungan kedua lembaga tersebut makin memanas. KPK diminta menghargai tugas dan fungsi setiap lembaga.
Pengajar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (6/8/2021), mengatakan, penyampaian keberatan KPK justru menyebabkan hubungan antarlembaga makin merenggang. Sebenarnya, hal ini tak akan terjadi jika KPK menghargai tugas dan fungsi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sebagai penerima laporan masyarakat.
”Mestinya enggak perlu terjadi lempar pendapat karena setiap institusi itu dikenal dua-duanya sangat profesional. Jadi, enggak mungkinlah melakukan sesuatu yang di luar tugas fungsinya,” ujar Gitadi.
Sebelumnya, KPK menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan ORI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK. KPK justru menilai Ombudsman melanggar hukum dan melampaui kewenangan. Pimpinan KPK juga menegaskan, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPK tak tunduk kepada lembaga apa pun.
Jika Presiden tak segera turun tangan menengahi situasi ini, relasi Ombudsman dan KPK akan kian memanas. (Gitadi Tegas Supramudyo)
Gitadi berpandangan, jika Presiden tak segera turun tangan menengahi situasi ini, relasi Ombudsman dan KPK akan kian memanas. Di tengah kesibukan bangsa pada penanganan pandemi Covid-19, situasi ini tak baik dipertontonkan ke publik.
Karena itu, menurut Gitadi, solusinya adalah semua dikembalikan pada pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Dari situ, diharapkan semua berujung pada keputusan yang terbaik untuk pemerintahan dan publik.
Hal yang dilakukan ORI sudah tepat karena menerima pengaduan publik. Namun, ia melihat KPK terlalu berlebihan menyikapi putusan ORI sehingga malah terkesan self defense.
”Keduanya itu harus bekerja untuk kepentingan masing-masing yang secara umum adalah untuk kepentingan negara, kepentingan rakyat,” kata Gitadi.
Sebagai lembaga penegak hukum, sudah sepatutnya KPK taat hukum tanpa pilih-pilih aturan mana yang ditaati. Tindakan korektif dari Ombudsman sepatutnya dijadikan bahan KPK untuk perbaikan.
Sikap antikoreksi
Secara terpisah, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengaku tidak terkejut atas keputusan KPK yang enggan menindaklanjuti putusan ORI. ”Sikap ini, kami lihat sebagai sikap antikoreksi,” ujarnya.
Padahal, kata Yudi, sebagai lembaga penegak hukum, sudah sepatutnya KPK taat hukum tanpa pilih-pilih aturan mana yang ditaati. Tindakan korektif dari Ombudsman sepatutnya dijadikan bahan KPK untuk perbaikan, bukan malah menyerang pemberi rekomendasi yang mencari solusi terhadap permasalahan status 75 pegawai KPK.
”Ini sama saja KPK memilih untuk kill the messenger bukannya mengapresiasi rekomendasi Ombudsman,” tutur Yudi.
Sikap KPK ini juga menunjukkan bahwa dalih pimpinan KPK yang ingin memperjuangkan hak dan nasib 75 pegawai KPK adalah retorika belaka. Padahal, seharusnya pimpinan KPK menjadikan rekomendasi Ombudsman sebagai dasar untuk memperjelas status 75 pegawainya sesuai dengan revisi Undang-Undang KPK, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan arahan Presiden.
”Dengan begitu, 75 pegawai tersebut bisa segera kembali bekerja melaksanakan tupoksinya dalam memberantas korupsi di Indonesia,” kata Yudi.