Industri Pertahanan Domestik Ciptakan Kapal Perang Baru untuk TNI AL
TNI AL kini memiliki kapal perang terbaru KRI Pollux-935 buatan dalam negeri, PT Karimun Anugerah Sejati. Hal ini dianggap dapat menjadi solusi mengurangi ketergantungan dengan negara lain untuk pengadaan alutsista.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri pertahanan nasional kembali memproduksi alat utama sistem persenjataan atau alutsista untuk memenuhi kebutuhan Tentara Nasional Indonesia. Salah satunya kapal perang jenis kapal patroli cepat 40 meter untuk TNI Angkatan Laut. Hal ini perlu diikuti dengan pengembangan berkelanjutan untuk menjawab tantangan mewujudkan kemandirian pembangunan alutsista.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Jumat (6/8/2021), mengatakan, TNI AL kini memilliki kapal perang terbaru buatan dalam negeri. Kapal perang yang dimaksud adalah KRI Pollux-935 yang dibuat PT Karimun Anugerah Sejati (KAS).
Yudo menambahkan, KRI Pollux-935 telah melalui tahapan penamaan, pengiriman, dan peresmian yang dilakukan di galangan PT KAS, Batam, Kepulauan Riau, pada Kamis (5/8). Pada kesempatan tersebut, ia mengukuhkan Mayor Laut (P) Tomy Ronaldo sebagai Komandan KRI Pollux-935. Tomy yang merupakan alumnus Pendidikan Pertama Perwira Prajurit Karier atau Dikmapa PK TNI angkatan X Tahun 2003 itu akan bertugas di jajaran Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL (Pushidrosal), sesuai dengan tempat operasi KRI Pollux-935.
”Kapal ini nantinya akan dioperasikan Pushidrosal sebagai unsur Bantu Hidro Oseanografi (BHO) Lembaga Hidrografi Nasional dan Pusat Informasi Geospasial Kelautan Indonesia. Semoga kehadiran KRI ini dapat menambah semangat dan menajamkan kemampuan TNI AL dalam melaksanakan tugas-tugas survei dan pemetaan laut,” ujar Yudo.
KRI Pollux-935 merupakan jenis kapal patroli cepat (PC) 40 meter. Kapal tersebut berdimensi panjang 45,50 meter; lebar 7,90 meter; tinggi 4,25 meter; draf 2,20 meter; serta bobot 220 ton. Kecepatan maksimum KRI Pollux-935 adalah 27 knots, sedangkan kecepatan jelajahnya 20 knots dan kecepatan ekonomis kapal adalah 15 knots. Kapal perang yang mampu mengangkut 37 anak buah kapal (ABK) ini juga dipersenjatai meriam 30 milimeter dan 12,7 milimeter.
Penamaan kapal diambil dari nama bintang paling terang dan mudah dikenali dalam rasi bintang Gemini. Rasi bintang itu pun merupakan salah satu dari 20 bintang yang paling terang di langit.
Yudo mengatakan, kehadiran KRI Pollux-935 bermakna strategis bagi industri pertahanan nasional. (Kepala Staf TNI Angkatan Laut)
Yudo mengatakan, kehadiran KRI Pollux-935 bermakna strategis bagi industri pertahanan nasional. PT KAS menunjukkan kemampuan mengembangkan teknologi pertahanan sekaligus memperlihatkan bahwa galangan kapal nasional mampu berinovasi untuk berkompetisi di pasar global.
”Ini dapat menjadi solusi dalam upaya mengurangi ketergantungan dengan negara lain untuk pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI AL di masa mendatang, khususnya kapal-kapal BHO yang selama ini pengadaan dan pembangunannya dilakukan oleh galangan kapal luar negeri,” katanya.
Yudo menegaskan, ini merupakan momentum untuk menunjukkan kepada bangsa lain bahwa Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri sambil terus mengejar ketinggalan yang Sudah terjadi selama ini. ”Bangsa Indonesia harus menjadi kompetitif dan mampu bersaing di tataran internasional, termasuk dalam industri perkapalan,” ucapnya.
Kendaraan taktis
Selain KRI Pollux-935, industri pertahanan nasional juga telah membangun sejumlah kendaraan taktis (rantis), di antaranya P6 ATAV (All Terrain Assault Vehicle) V3 milik Korps Pasukan Khas (Korpaskhas) TNI AU. Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo dalam keterangan tertulisnya mengatakan, rantis tersebut dibuat oleh PT Sentra Surya Ekajaya (SSE Defense). Perusahaan itu bergerak dalam bidang produksi kendaraan untuk misi khusus yang perakitannya ada di kota Tangerang, Banten.
Pada Kamis (5/8), Fadjar meninjau rantis tersebut bersama sejumlah pejabat TNI AU dan perwakilan PT Sentra Surya Ekajaya. Ia juga memeriksa perlengkapan P6 ATAV V3, mulai dari persenjataan hingga sarana pendukung lainnya.
Fadjar mengatakan, P6 ATAV V3 dibangun menggunakan struktur rangka pipa tubular baja ringan dan dibekali baju zirah (armour) level 1 STANAG. Kendaraan yang dapat diawaki empat orang ini juga dilengkap stasiun senjata kendali jarak jauh (RCWS) yang bersenjatakan senapan mesin. Bobot 2,6 ton ditambah tenaga besar dari mesin diesel 2.400 cc membuat rantis ini dapat digunakan di segala jenis permukaan medan.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, kehadiran alutsista produksi dalam negeri harus disambut gembira. Hal itu merupakan capaian dan pertanda baik untuk mewujudkan cita-cita kemandirian alutsista. ”Artinya, Indonesia memiliki kemampuan untuk mengurangi ketergantungan pada alutsista yang 100 persen impor dang mengembangkan industri pertahanan dalam negeri secara bertahap,” katanya.
Menurut Khairul, selama ini kesenjangan antara kebutuhan dan kapabilitas industri pertahanan nasional masih lebar. Sebab, industri dalam negeri masih berkutat pada bisnis perakitan dan produk lisensi. Padahal, perlu peningkatan berkelanjutan agar industri pertahanan nasional bisa berkembang ke arah manufaktur alat peralatan pertahanan dan keamanan sepenuhnya.
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, kehadiran alutsista produksi dalam negeri harus disambut gembira. Hal itu merupakan capaian dan pertanda baik untuk mewujudkan cita-cita kemandirian alutsista.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, kata Khairul, dibutuhkan dukungan anggaran dan perencanaan jangka panjang yang memuat data kapabilitas serta potensi industri pertahanan. Dengan perencanaan yang komprehensif, keterbatasan anggaran bisa diatasi dengan membagi waktu pengadaan alutsista dalam beberapa periodisasi. Pembagian itu akan mengurangi beban anggaran sekaligus memberikan kesempatan bagi industri untuk mengembangkan produk.
Ia menambahkan, dukungan anggaran juga dibutuhkan untuk mendorong pengembangan riset terkait teknologi pertahanan. Baik yang dilakukan di lingkungan perguruan tinggi, maupun di internal industri pertahanan dalam negeri. Pengembangan riset penting untuk memantik inovasi dalam membangun alutsista yang layak dan kuat.
Selain itu, Khairul mengingatkan agar industri pertahanan tidak hanya berorientasi memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga berada di pasar global. ”Industri pertahanan itu sangat kompetitif. Jika industri dikembangkan hanya untuk target pemenuhan kebutuhan dalam negeri, dan sulit bersaing di pasar global, maka akan sulit bahkan bagi Indonesia sendiri untuk bisa mendapatkan alpalhankam dalam negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan impor,” ujar Khairul.