Dinilai Belum Ada Calon Hakim Agung yang Punya Komitmen Memberantas Korupsi
Para calon hakim agung dinilai belum ada yang berani menyuarakan keadilan dan berkomitmen memberantas korupsi. Ada kemungkinan mereka memilih jawaban aman karena masih harus melalui uji kelayakan di DPR.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jawaban calon hakim agung terhadap isu-isu terkini pemberantasan korupsi dinilai normatif dan belum memuaskan. Di tengah fenomena pemotongan hukuman koruptor, masyarakat berharap sosok hakim yang berani dan berkomitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
Dalam sesi wawancara pada seleksi Calon Hakim Agung 2021 yang digelar Komisi Yudisial (KY) sepekan ini, tim panitia seleksi (pansel) banyak bertanya tentang isu aktual pemberantasan korupsi. Misalnya, maraknya pemotongan hukuman koruptor, baik di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK). Para calon hakim itu ditanyai pendapatnya mengenai isu yang menjadi perhatian publik itu.
Salah satu calon, Aviantara, contohnya, mendapat pertanyaan dari Wakil Ketua KY M Taufiq HZ terkait dengan fenomena pemotongan hukuman Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari. Taufiq menyebut, saking banyaknya tren pemotongan hukuman koruptor, saat ini para hakim mendapatkan julukan ”tukang sunat” hukuman dari publik. Taufiq kemudian menanyakan pendapat Aviantara soal fenomena itu.
”Seperti yang kita tahu dari berbagai media, bahwa fungsi hakim sudah berubah menjadi tukang sunat katanya. Sehingga beberapa perkara belakangan ini seperti Joko Tjandra dan Pinangki, putusan di tingkat pertama disunat di tingkat banding. Ini membuat rasa keadilan publik tercederai, bagaimana Saudara melihat fakta ini dibandingkan dengan kemandirian hakim?” kata Taufiq, Selasa (3/8/2021).
Namun, Aviantara menolak mengomentari perkara Joko Tjandra dan Pinangki. Menurut dia, sesuai kode etik hakim, para hakim tidak boleh berkomentar atau melakukan intervensi pada perkara yang sedang ditangani hakim lain. Aviantara hanya menyebutkan bahwa ia ingin menjadi contoh untuk para hakim yang lain. Caranya adalah dalam menangani perkara harus berpedoman pada hukum. Dengan berpedoman pada hukum, Aviantara menilai bahwa putusan harus bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi hukum keadilan, hukum moral, maupun keadilan sosialnya.
”Kami tunjukkan, kami yang jadi contoh bahwa melakukan suatu pemeriksaan di persidangan itu murni, bahwa ini adalah hukum. Tidak ada pengaruh dari pihak-pihak yang lain,” ujar Aviantara.
Hal-hal yang lebih disoroti di media adalah jika ada pengurangan atau diskon putusan. Namun, pertimbangan yang digunakan majelis hakim sering tidak disampaikan secara utuh. (Dwiarso Budi Santiarto, calon hakim agung)
Sementara itu, calon hakim agung lainnya, Dwiarso Budi Santiarto berpandangan potongan hukuman bagi koruptor adalah hal yang lumrah, apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Pengurangan hukuman bisa dilakukan apabila majelis hakim untuk perkara kasasi menemukan beberapa pertimbangan yang tidak diperhitungkan dalam memutus perkara di majelis hakim tingkat pertama.
”Ada kriteria kerugian keuangan negara, masalah keuntungan yang diterima dan kemudian soal berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan. Kalau itu tidak dipertimbangkan, tentu bisa diperbaiki oleh pengadilan tingkat banding. Sehingga di situ bisa tampak ada penurunan, ada juga penambahan hukuman,” terang Dwiarso.
Secara tegas, Dwiarso juga mengatakan bahwa ia tidak mau lebih dalam mengomentari putusan hakim apabila tidak membaca secara utuh pertimbangan yang digunakan. Menurut dia, hal-hal yang lebih disoroti di media adalah jika ada pengurangan atau diskon putusan. Namun, pertimbangan yang digunakan majelis hakim sering tidak disampaikan secara utuh.
Sementara itu, calon hakim Adly menilai, banyaknya pejabat pemerintah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berdampak pada dunia investasi di Indonesia. Menurut dia, semakin banyak kepala daerah, menteri ditangkap akan berdampak pada iklim investasi.
”Pandangan saya bahwa OTT bisa dikurangi, tetapi arahnya ke pencegahan. Pencegahan dari tindak pidana korupsi,” jawab Adly.
Calon hakim agung Adly menilai, banyaknya pejabat pemerintah yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi akan berdampak pada dunia investasi di Indonesia. Menurutnya, semakin banyak kepala daerah, menteri ditangkap akan berdampak pada iklim investasi.
Jawaban itu disampaikan saat Komisioner KY Amzulian Rifai memberikan pertanyaan mengenai bagaimana cara meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Pertanyaan itu kemudian dikaitkan dengan perhatian Presiden Joko Widodo terhadap Indeks Kemudahan Berbisnis yang menjadi target nasional.
Butuh calon hakim progresif
Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas (2005-2010) mengatakan, jawaban calon hakim dalam seleksi wawancara di KY itu menunjukkan bahwa para calon memilih bermain dengan jawaban aman. Mereka memilih jawaban aman karena masih ada satu tahapan lain yang harus dilewati setelah seleksi di KY, yaitu uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
”Menurut analisis saya, ini adalah jawaban taktis supaya posisi mereka aman, terutama saat seleksi di DPR. Karena di sana, selalu ada unsur politisnya,” kata Busyro.
Lebih lanjut, Busyro berpandangan, selama ini dari hasil riset ataupun pengalamannya mengajar ilmu hukum, memang ada indikasi kuat para hakim mencerminkan pemikiran positivisme hukum. Para hakim lebih menonjolkan cara berpikir legisme atau menerapkan hukum seperti bunyi undang-undang. Akibatnya, hakim lebih banyak bertindak sebagai corong UU, bukan menyuarakan keadilan.
”Ini bukan asumsi saya, tetapi berdasarkan hasil riset dari 1.200 putusan pengadilan saat saya masih di KY (2005-2010). Riset itu saya perkuat dari pengalaman mengajar selama 43 tahun. Ini merupakan pengaruh dari sistem pendidikan hukum di universitas,” kata Busyro.
Memang ada indikasi kuat para hakim mencerminkan pemikiran positivisme hukum. Para hakim lebih menonjolkan cara berpikir legisme atau menerapkan hukum seperti bunyi undang-undang. Akibatnya, hakim lebih banyak bertindak sebagai corong UU, bukan menyuarakan keadilan. (Busyro Muqoddas)
Sementara itu, Juru Bicara Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) Erwin Natosmal Oemar berpendapat, pertanyaan yang diajukan panitia seleksi sudah cukup bagus karena menghadapkan calon hakim agung dengan isu-isu terkini. Dengan demikian, bisa tergambarkan wajah peradilan ke depan, dari para calon yang kini diseleksi di KY. Jawaban normatif dari para calon, lanjut Erwin, bisa jadi mencerminkan putusan apa yang akan dia buat saat menjadi hakim agung. Apabila mereka mencederung menutup perspektif komitmen terhadap pemberantasan koruspi, seharusnya KY memberikan nilai yang buruk kepada calon tersebut.
”Di tengah masalah tuntutan rendah, diskon hukuman kepada koruptor, kita membutuhkan hakim yang progresif, berani menyuarakan keadilan, dan berkomitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi. KY harus berhati-hati dalam menilai para calon dengan jawaban aman itu,” kata Erwin.
Busyro menambahkan, bangsa saat ini menghadapi realitas penegakan hukum yang tidak responsif, bahkan kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, idealnya, dibutuhkan hakim agung yang menguasai teori hukum, tetapi juga didukung dengan catatan rekam jejak yang baik. Sehingga, hakim tersebut akan berani dalam membuat putusan-putusan yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
”Yang dibutuhkan saat ini adalah hakim yang menguasai teori hukum dan didukung rekam jejak yang baik. Sehingga dia akan berani membuat putusan yang mencerminkan komitmennya yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi, yang mundur belakangan ini,” kata Busyro.