Arus Balik Pemberantasan Korupsi
Ancaman menghukum mati pelaku korupsi di masa pandemi Covid-19 ternyata hanya pemanis bibir. Para koruptor malah mendapat diskon hukuman dan tuntutan ringan.
”Dan ingat bahwa pelaku korupsi di tengah bencana, ancaman hukumannya pidana mati!”
Pernyataan itu disampaikan dengan lantang oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri di hadapan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat kerja pada 29 April 2021. Sekitar empat bulan setelah KPK menangkap Menteri Sosial saat itu, Juliari P Batubara. Politikus PDI-P itu diduga melakukan korupsi dalam pengadaan bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi Covid-19 di Jabodetabek tahun 2020.
Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, masih ingat betul momen tersebut. Baginya, pernyataan itu menjadi semacam wake-up call Ketua KPK kepada semua pejabat pengelola kekuasaan agar tak coba-coba korupsi di tengah bencana.
Namun, rupanya peringatan Ketua KPK itu hanya semacam pemanis bibir. Buktinya, KPK ”hanya” menuntut Juliari dengan pidana 11 tahun penjara. Tak ayal, tuntutan itu pun banyak menimbulkan tanya.
Bivitri Susanti, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, melihat pernyataan Firli hanya gimik. ”Yang dilakukan KPK adalah memberikan gimik ketika masih dalam kehebohan suasana KPK dilumpuhkan. Nah, ini kami berhasil OTT (operasi tangkap tangan), kami akan tuntut seberat-beratnya. hukuman mati,” ujar Bivitri dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum Kompas TV yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (4/8/2021).
Selain Bivitri, hadir pula sebagai narasumber anggota Komisi III DPR, Benny K Harman; Juru Bicara KPK Ali Fikri; dan Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting.
Kok, publik dibohongi begitu saja. Mana mungkin kasus korupsi dahsyat direduksi menjadi kasus penyuapan.
Pada 28 Juli 2021, jaksa penuntut umum pada KPK menuntut bekas Mensos Juliari P Batubara dengan pidana 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut Juliari dengan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 14,597 miliar subsider 2 tahun penjara. Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 12 Huruf b juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau terkait pasal penyuapan.
Baca juga: Korupsi Saat Pandemi Covid-19, Bekas Mensos Juliari Dituntut 11 Tahun Penjara
Penggunaan pasal penyuapan untuk menjerat Juliari juga menimbulkan pro dan kontra. Menurut Benny, Juliari telah menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Karena itu, seharusnya KPK menjadikan penyuapan sebagai pintu masuk membongkar kasus korupsi bansos karena sudah jelas merugikan negara.
”Kok, publik dibohongi begitu saja. Mana mungkin kasus korupsi dahsyat direduksi menjadi kasus penyuapan,” ujarnya.
Mendengar pernyataan Benny, Ali Fikri pun berkilah bahwa selama ini, dalam setiap kasus tangkap tangan, KPK selalu menerapkan pasal penyuapan. Namun, kemungkinan untuk menerapkan pasal yang lain, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetap terbuka. Saat ini, KPK juga tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan bansos. ”Proses ini masih berjalan. Beberapa pihak sudah dipanggil,” katanya.
Ia juga menjelaskan, pernyataan Firli mengenai ancaman hukuman mati untuk pelaku korupsi di tengah bencana perlu dipahami dalam konteks yang berhubungan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31/1999. Sementara pasal yang digunakan untuk menjerat Juliari saat ini adalah pasal penyuapan.
Meski begitu, Bivitri tetap mengkritik KPK yang tidak memberikan tuntutan maksimal 20 tahun penjara kepada yang dikenai pasal penyuapan. Tuntutan 11 tahun untuk terdakwa kasus penyuapan dianggap terlalu rendah, apalagi jika dibandingkan dengan tuntutan korupsi yang pernah diajukan dalam perkara sebelumnya.
Pada masa Orde Baru yang dikenal sebagai rezim yang korup, kejaksaan pernah menuntut terdakwa korupsi, yakni bekas Kepala Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur Budiadji dengan pidana 20 tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Balikpapan bahkan memvonisnya dengan hukuman seumur hidup karena terbukti korupsi korupsi Rp 7,6 miliar (Kompas, 6 Juli 1977).
Bivitri menilai, politik penegakan hukum atau politik penuntutan yang ada saat ini sekadar untuk memuaskan publik bahwa sudah ada penuntutan. Namun, apakah tuntutan atau vonis itu nantinya sebanding atau tidak dengan kerugian yang diakibatkan tidak dijadikan pertimbangan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa keadilan yang sebenarnya tidak dapat dicapai, yang ada hanya keadilan prosedural.
Vonis korupsi
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2019 hingga 2020, setidaknya 22 koruptor dipangkas hukumannya oleh MA.
Tidak jelasnya politik hukum pemberantasan korupsi rezim saat ini juga diperjelas dengan maraknya penyunatan hukuman bagi para koruptor. Tren ini sudah terjadi sejak lama, tetapi kian masif ketika Artidjo Alkostar yang menjadi Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung memasuki masa pensiun pada 22 Mei 2018. Sejak saat itu, banyak narapidana kasus korupsi yang mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA untuk mendapatkan keringanan hukuman.
Hasilnya, puluhan perkara korupsi direvisi hukumannya. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2019 hingga 2020, setidaknya 22 koruptor dipangkas hukumannya oleh MA. Sebut saja OC Kaligis, bekas pengacara kondang, yang sebelumnya dihukum 10 tahun penjara dikurangi menjadi 7 tahun penjara. Bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pun menikmati keringanan hukuman dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Rupanya tren penyunatan hukuman tak hanya melanda MA, benteng terakhir peradilan. Kini, hakim-hakim di tingkat banding, seperti Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, juga kerap memangkas hukuman para koruptor. Terakhir, majelis hakim PT DKI Jakarta yang diketuai Mohammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Renny Halida Ilham Malik mengurangi hukuman Joko S Tjandra dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara. Vonis itu dijatuhkan dalam perkara suap pengurusan fatwa bebas MA.
Sebelumnya, empat hakim yang sama menyunat hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Korting lebih dari separuh hukuman dinilai mencederai rasa keadilan publik. Sebab, sebagai penegak hukum, Pinangki malah menerima suap serta melakukan pencucian uang dan permufakatan jahat terkait pengurusan fatwa bebas Joko Tjandra.
Baca juga: Menang Banding, Vonis Jaksa Pinangki Dipangkas dari 10 Tahun Menjadi 4 Tahun Penjara
Menurut Bivitri, hal itu menunjukkan politik penegakan hukum korupsi saat ini bertujuan untuk melindungi koruptor, termasuk penegak hukum yang juga korup.
Fenomena itu, kata Benny, juga menunjukkan KY gagal menjalankan perannya menegakkan etika hakim. Semestinya KY memantau setiap tahapan putusan pengadilan, mulai dari tingkat pertama hingga tingkat kasasi/PK.
Miko mengungkapkan, dalam UU No 18/2011 tentang Kekuasaan Kehakiman dan undang-undang terkait badan peradilan, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat menjadi pintu masuk untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran perilaku hakim. KY juga kerap mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan pelanggaran perilaku hakim.
Namun, kata Miko, selama ini banyak rekomendasi KY terkait dugaan pelanggaran perilaku hakim yang tidak ditindaklanjuti MA. Alasannya, MA menilai KY telah memasuki wilayah teknis yudisial dalam pemeriksaannya. Hal yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana independensi hakim dilakukan, sejauh mana batasan teknis yudisial, dan sejauh mana putusan hakim disebut pelanggaran perilaku.
”Kalau ini tidak diselesaikan, kita akan bingung mana pelanggaran perilaku, mana teknis yudisial,” ujar Miko.
Problem tersebut sebenarnya merupakan problem klasik yang ada sejak KY berdiri pada 2005. Bahkan, di masa-masa awal berdirinya, MA dan KY terus berkonflik hingga berujung pada pelaporan komisioner KY ke polisi.
Komisioner KY pun sempat dijadikan tersangka. Mereka adalah Suparman Marzuki (ketua KY periode 2013-2015) dan Taufiqurrohman Syahuri yang dilaporkan oleh Sarpin Rizaldi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu. Walaupun kasusnya tak dilanjutkan, status keduanya sempat digantung untuk beberapa lama.
Terakhir, komisioner KY periode 2015-2020, Farid Wajdi, dilaporkan oleh 64 hakim dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Kasus tersebut hingga kini masih dalam penyelidikan polisi.
Terlepas dari itu semua, saat ini upaya pemberantasan korupsi menghadapi tantangan yang luar biasa. Benny bahkan melihat ada tren serangan balik terhadap agenda pemberantasan korupsi. Ini terutama karena sistem politik yang tidak mendukung hal tersebut. Upaya pelemahan, termasuk pelemahan terhadap institusi KPK, terus berlanjut.
Banyak harapan, Presiden Joko Widodo dapat memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi. Sebab, lembaga penegak hukum, seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian, butuh dukungan dari kekuasaan politik untuk menjalankan tugas pemberantasan korupsi.