BKN menyiapkan argumentasi hukum menanggapi putusan Ombudsman terkait pelaksanaan TWK pada pegawai KPK. Isi argumentasi itu telah dikomunikasikan dengan kementerian/lembaga yang terlibat menyelenggarakan TWK.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Kepegawaian Negara atau BKN tengah menyiapkan argumentasi hukum untuk dikirimkan ke Ombudsman Republik Indonesia sebagai jawaban atas putusan Ombudsman terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan. Argumentasi hukum tersebut disusun bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manuisa serta Kejaksaan Agung.
Sedang dibuat argumentasi hukum yang kuat untuk melawan keputusan Ombudsman. (Bima Haria Wibisana)
Pelaksana Tugas Kepala BKN Bima Haria Wibisana saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/8/2021) malam, mengatakan, masukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu tidak final dan mengikat. Saat ini, pihaknya masih menyusun jawaban atas masukan ORI tersebut.
”Sedang dibuat argumentasi hukum yang kuat untuk melawan keputusan Ombudsman,” ujar Bima.
Sebelumnya, ORI menyurati KPK untuk menanyakan sejauh mana KPK merespons laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) ORI terkait TWK pegawai KPK. Selain kepada KPK, ORI juga mengirimkan surat ke BKN untuk menanyakan hal serupa.
Sebagaimana diketahui, KPK dan BKN selaku terlapor memiliki waktu 30 hari untuk menjalankan tindakan korektif ORI, salah satunya agar 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK tetap dialihkan statusnya menjadi ASN. Adapun ORI mengirimkan hasil temuan ke terlapor pada 19 Juli 2021.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, jika tindakan korektif tidak dilaksanakan, ORI akan segera mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi ini berisi putusan kesalahan dan sanksi administratif yang direkomendasikan ke atasan terlapor, yakni Presiden. Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam rumpun kekuasaan eksekutif, serta dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN.
Sedang disusun
Bima melanjutkan, isi yang akan disampaikan ke ORI nanti sudah dikomunikasikan dengan semua kementerian/lembaga yang ikut mengurusi TWK pegawai KPK. Kemudian, jawaban itu akan dikirim oleh setiap kementerian/lembaga ke ORI.
Bima belum dapat memastikan kapan jawaban itu akan disampaikan. ”Ini masih minta dikoreksi dari Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM) dan Kejagung (Kejaksaan Agung). Biar sempurna,” katanya.
Bima melihat, ada kesalahan logika hukum dari hasil temuan ORI. Seharusnya, jika TWK itu dianggap oleh ORI sebagai malaadministrasi, semua pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat atau dibatalkan.
”Bukan yang TMS (tidak memenuhi syarat) malah jadi MS (memenuhi syarat). Logika hukumnya kacau,” tutur Bima.
Menurut dia, ORI sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi. Sesuai peraturan perundang-undangan, pemberian sanksi oleh Presiden, bukan dari ORI. Lagi pula, kementerian dan lembaga, seperti KPK, BKN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), berada di bawah Presiden.
”Bukan di bawah ORI. Ya, manut-nya (patuhnya) sama Presiden bukan sama ORI. ORI sendiri tak punya kewenangan. ORI minta Presiden memberi sanksi. Jadi, semua terserah Presiden,” ujar Bima.
Bima melihat, ada kesalahan logika hukum dari hasil temuan ORI.
Tak ada balas-membalas
Dikonfirmasi secara terpisah, anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, menegaskan, LAHP yang berisi tindakan korektif ataupun nanti rekomendasi ORI adalah produk dari lembaga negara yang wajib ditaati terlapor. Jika terlapor tidak mematuhi LAHP dan rekomendasi, artinya tidak patuh hukum.
Seorang pejabat yang tak patuh hukum itu, kata Robert, melanggar sumpah jabatan dan berimplikasi hukum. Menurut UU ORI, pejabat bisa terkena sanksi administratif.
”Namun, kami belum sampai ke tahap (pengenaan sanksi) tersebut. Hari ini, kami berada di saran perbaikan dan tindakan korektif untuk dipatuhi. Fokus kami adalah pada dijalankannya tindakan korektif, bukan soal sanksi,” ujar Robert.
Terkait rencana pengiriman argumentasi hukum oleh terlapor kepada ORI, Robert menilai langkah itu sebagai bentuk komunikasi antarlembaga. Sebab, pada prinsipnya, masukan ORI itu langsung ditindaklanjuti, bukan malah dibalas dengan produk dokumen yang setara.
”Enggak ada balas-membalas bahan. LHAP tak mungkin dibalas LHAP atau apa pun itu dari mereka. Namun, saya anggap itu bagian dari komunikasi antar-lembaga saja, bukan produk formal dari mereka. Sebab, produk Ombudsman tidak bisa dijawab dengan produk dokumen setara, tetapi dijalankan," kata Robert.