"Tanda Merah" Masyarakat Sipil bagi Sejumlah Calon Hakim Agung
Masyarakat sipil memberikan ”tanda merah” terhadap sejumlah calon hakim agung. Hal itu terkait dengan rekam jejak para calon, salah satunya ada yang pernah melarang merekam persidangan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil menyoroti ada sejumlah calon hakim agung yang ”bertanda merah” dilihat dari riwayat rekam jejaknya. Komisi Yudisial yang saat ini sedang melakukan tahapan seleksi wawancara diminta untuk lebih jeli dan selektif. Jangan sampai calon yang diloloskan adalah sosok yang tak berintegritas.
Seperti diberitakan sebelumnya, KY meloloskan 24 calon hakim agung pada seleksi tahun 2021 ini. Mereka, di antaranya, adalah 15 calon hakim agung pidana, 6 calon hakim agung perdata, dan 3 calon hakim agung militer. Adapun untuk kamar Tata Usaha Negara khusus pajak, KY tidak berhasil menelurkan calon sampai ke tahapan tersebut.
Para calon hakim agung yang lolos ini mulai mengikuti tahapan wawancara, Selasa (3/8/2021). Selama proses wawancara berlangsung, publik dapat mengikuti secara langsung melalui kanal Youtube KY. Sayangnya, tidak semua tahapan wawancara itu dibuka untuk publik. Pada bagian pertanyaan rekam jejak, suara dimatikan oleh operator admin KY.
Berdasarkan data dari Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), sampai saat ini setidaknya ada tiga calon hakim agung yang mendapatkan catatan merah dari masyarakat sipil. Salah satunya ada yang pernah melarang meliput dan merekam persidangan.
Sampai saat ini, setidaknya ada tiga calon hakim agung yang mendapatkan catatan merah dari masyarakat sipil.
Ada pula calon hakim agung yang dianggap membuat kebijakan yang menimbulkan konflik kepentingan. Salah satu contohnya menyuplai makanan atau minuman dari usaha pribadinya untuk kegiatan di salah satu institusi peradilan.
Selain itu, ada yang dinilai memiliki kekayaan fantastis dan tidak wajar untuk ukuran hakim. Hal itu terekam di Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) 2021. Nilai kekayaannya lebih dari Rp 40 miliar, sedangkan harta kekayaan sebelumnya hanya sekitar Rp 400 juta pada 2018. Sebagai perbandingan, kekayaan Ketua MA hanya Rp 3,63 miliar.
Menurut KPP, KY harus lebih detail menanyakan asal-usul peningkatan harta kekayaan selama kurun waktu tiga tahun itu. Apakah harta itu awalnya sudah dimiliki, tetapi tidak dilaporkan. Berdasarkan pengakuan calon, harta kekayaan itu merupakan milik suami yang merupakan advokat dan mantan anggota DPR, Rufinus Hutauruk. Namun, informasi yang beredar, calon sudah bercerai dengan Rufinus.
Atas berbagai temuan itu, pihak KPP berharap KY dapat memilih calon yang memiliki profil kompetensi ataupun integritas yang baik. Oleh karena itu, KY juga harus menelusuri rekam jejak calon hakim agung dari sumber LHKPN ataupun laporan dari masyarakat. Semua aspek penilaian dalam tahapan seleksi harus dipertimbangkan. Selain itu, yang paling penting, KY diminta untuk tidak meloloskan calon hakim agung yang terbukti memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.
Disparitas dan korting hukuman
Pada hari pertama tes wawancara, tim panelis yang terdiri dari ketua, komisioner KY, dan ahli hukum banyak memberikan pertanyaan seputar pemahaman hukum. Calon hakim agung Dwiarso Budi Santiarto, misalnya, ditanyai pandangannya oleh komisioner KY, Joko Sasmito, tentang disparitas pemidanaan serta maraknya fenomena pemotongan hukuman para koruptor.
Dwiarso mengatakan, salah satu penyebab disparitas pemidanaan adalah karena sistem hukum Indonesia tidak mengenal sistem preseden. Akibatnya, putusan itu tidak dijadikan patokan oleh hakim berikutnya. Putusan bisa naik-turun sesuai dengan pertimbangan setiap hakim. Disparitas pemidanaan ini, menurut dia, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.
”MA sudah banyak mengeluarkan surat edaran MA dan juga peraturan MA untuk mengatur pemidanaan. Selain itu, MA juga bisa membuat rapat pleno kamar untuk membuat kesatuan putusan guna menyamakan pandangan para hakim dalam memutus perkara,” kata Ketua Badan Pengawas MA itu.
Adapun terkait dengan tren pemotongan hukuman koruptor, menurut Dwiarso, hal itu adalah hal yang biasa dan lumrah dalam putusan hakim asal sesuai dengan ketentuan yang ada. Khusus dalam perkara korupsi, hakim seharusnya menekankan pertimbangan pada kerugian negara, peranan pelaku, keuntungan yang diperoleh, dan dampak yang diakibatkan. Namun, terkadang putusan hakim tidak mempertimbangkan keempat aspek itu.
”Saya pribadi tidak bisa memberikan komentar, kecuali membaca sendiri pertimbangan yang digunakan hakim saat memutus perkara,” ujar hakim yang menangani perkara penistaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu.