Presiden Diharapkan Pimpin Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi
Tuntutan ringan bagi penegak hukum yang melakukan pidana, hingga pengurangan hukuman bagi koruptor, telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Penegak hukum dinilai kehilangan sensitivitas dalam mendengar suara rakyat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai peristiwa dalam penegakan hukum yang seolah melecehkan akal sehat masyarakat memperlihatkan semakin tidak jelasnya arah pemberantasan korupsi. Menjelang peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden sebagai pucuk pimpinan tertinggi negeri ini diharapkan menegaskan kembali komitmennya memberantas korupsi dan menciptakan penegakan hukum yang bersih.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Yenti Garnasih, ketika dihubungi pada Rabu (4/8/2021), berpandangan, pengurangan hukuman bagi terpidana kasus korupsi, tuntutan ringan bagi aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana, hingga vonis hakim yang rendah telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Terlebih, sebagian peristiwa tersebut terjadi ketika masyarakat tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Kritik keras dari masyarakat ataupun akademisi seperti tidak didengar oleh aparat penegak hukum ataupun lembaga peradilan. Mereka seolah kehilangan sensitivitas dalam mendengar suara rakyat.
Sementara itu, lanjut Yenti, kritik keras dari masyarakat ataupun akademisi seperti tidak didengar oleh aparat penegak hukum ataupun lembaga peradilan. Mereka seolah kehilangan sensitivitas dalam mendengar suara rakyat.
”Sudah saatnya Presiden sebagai panglima tertinggi menyatakan kembali komitmennya untuk perang terhadap korupsi. Terlebih di masa pandemi, selain keselamatan rakyat yang utama dan pemulihan ekonomi, pemberantasan korupsi harus diselamatkan. Sebab, apa pun yang diprogramkan Presiden akan hancur ketika korupsi tidak diberantas,” kata Yenti.
Menurut Yenti, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang bersih tidak bisa hanya disandarkan pada satu lembaga atau institusi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut harus dipimpin langsung oleh Presiden untuk turut memastikan proses penegakan hukum selaras dengan rasa keadilan publik.
Seperti tuntutan yang rendah terhadap Pinangki Sirna Malasari yang adalah seorang jaksa, semestinya hal itu menjadi perhatian Presiden karena kejaksaan ada di bawah Presiden. Terkait bantuan sosial, Yenti berharap agar Presiden mengingatkan kembali bahwa korupsi terhadap bansos diancam dengan hukuman mati.
Demikian pula lembaga yudikatif diharapkan melakukan eksaminasi internal maupun eksternal atas beberapa putusan hakim yang dianggap melukai rasa keadilan masyarakat. Meski independen dan imparsial, Mahkamah Agung harus membuka dan mendengar suara dan kritik masyarakat tentang hukuman yang rendah bagi para koruptor.
”Selain pemberian hukuman yang rendah yang tidak memberikan efek jera, harus dilihat juga bahwa tuntutan jaksa yang memang rendah. Ini memang sungguh memprihatinkan. Presiden mesti memberi perhatian dalam penegakan hukum kita,” ujar Yenti.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Herlambang P Wiratraman, berpandangan, situasi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi saat ini dinilai tidak mengejutkan. Sebab, di akhir periode pertama dan awal pemerintahan Presiden Jokowi tampak komitmen Presiden dalam hukum dan penegakan hukum itu lemah.
Menurut Herlambang, Indonesia sebagai negara hukum mengalami pelemahan oleh sistem politik kartel yang masuk melalui pemilu. Penyusunan kabinet pun didasarkan pada kesepakatan politik yang berorientasi untuk menguntungkan politik kartel atau sering disebut oligarki. Demikian pula lembaga yang dianggap menganggu oligarki, seperti KPK, dilumpuhkan.
Ketika terjadi obral vonis, korting hukuman, tuntutan rendah, itu karena lembaga peradilan justru melayani kepentingan para koruptor.
”Ketika terjadi obral vonis, korting hukuman, tuntutan rendah, itu karena lembaga peradilan justru melayani kepentingan para koruptor. Terjadi pelemahan posisi peradilan dengan prinsip negara hukum menjadi peradilan yang melayani kepentingan politik dominan. Fenomena ini harus dibaca dalam konteks itu,” tutur Herlambang.
Herlambang mengatakan, berbagai peristiwa yang terjadi dalam keseharian masyarakat tersebut seakan menghinakan akal sehat publik. Akibatnya, akan lahir ketidakpercayaan publik. Negara pun semakin menjauh dari prinsip negara hukum dan semakin merosot sebagai negara demokrasi.
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, berangkat dari problematika pemberantasan korupsi yang kompleks, lembaga pengawas independen, seperti Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan, tidak akan maksimal karena kewenangan yang terbatas. Sementara lembaga-lembaga yang semestinya independen, ruang dan peran di lembaga tersebut justru ditentukan partai politik (parpol).
”Maka, harus meminta Presiden untuk melakukan sesuatu karena dalam sistem presidensial, sentral kekuasaannya ada di Presiden. Jika mau memperbaiki keadaan ini, Presiden harus turun tangan. Sebab, jika keadaan tidak baik, Presiden pula yang dianggap gagal,” kata Feri.
Selain itu, lanjut Feri, untuk langkah yang lebih sistematis diperlukan perombakan di dalam sistem politik agar peran parpol tidak lagi terlalu dominan. Sebab, kewenangan parpol yang dominan tersebut menyebabkan timbulnya penyakit korupsi. Dengan kata lain, penataan parpol adalah titik sentral problematika di republik ini.