Menakar Indonesia sebagai Kekuatan Militer Ke-16 Dunia
Dalam indeks GFP, dengan pendekatan kuantitatif, Indonesia ditempatkan di peringkat ke-16 dari 140 negara dalam kekuatan militer dunia. Cukup membanggakan. Namun, apakah itu cukup untuk membangun pertahanan negara?
Tidak hanya termasuk 20 negara dengan perekonomian besar di dunia, kekuatan militer Indonesia juga turut diperhitungkan di kancah global. Tahun 2021, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan peringkat ke-16 dari 140 negara dalam hal kekuatan militer oleh situs Global Fire Power(GFP).
Dalam indeks GFP, peringkat satu sampai tiga untuk militer terkuat di dunia berturut-turut ditempati Amerika Serikat, Rusia, dan China. Dengan posisi Indonesia di peringkat ke-16, Indonesia berada di bawah India, Jepang, Korea Selatan, Perancis, dan Inggris.
Namun, Indonesia justru berada di atas negara-negara seperti Spanyol, Australia, Israel, dan Kanada. Sementara, di antara negara-negara ASEAN, militer Indonesia adalah yang terkuat berdasarkan indeks GFP.
Catatan dari pemeringkatan tersebut adalah indeks GFP dihitung secara konvensional dan tidak memperhitungkan kekuatan nuklir suatu negara. Dengan demikian, indeks tersebut tidak memasukkan sekitar 5.550 hulu ledak nuklir milik AS dengan 3.800 di antaranya hulu ledak aktif atau 6.375 hulu ledak nuklir milik Rusia.
Baca juga: ”Garuda Shield 15/2021”, Ajang Unjuk Kedekatan Militer RI-AS
Di dalam indeks tersebut, semakin kecil angka atau skor sebuah negara, maka semakin kuat kekuatan militer negara tersebut. Skor untuk Indonesia adalah 0,2684. Adapun skor AS sebagai negara dengan militer terkuat adalah 0,0718.
Indeks GFP disusun lebih dari 50 faktor, mulai dari kekuatan militer, kemampuan keuangan, hingga kondisi geografis, termasuk jumlah populasi penduduk, peringkat jumlah produksi dan konsumsi minyak, daya beli, hingga jumlah bandara. Peringkat yang didapatkan sebuah negara dalam suatu indikator dihitung bersama indikator lain dengan rumus tertentu sehingga menghasilkan skor akhir berupa indeks GFP.
Di dalam indeks tersebut, semakin kecil angka atau skor sebuah negara, maka semakin kuat kekuatan militer negara tersebut. Skor untuk Indonesia adalah 0,2684. Adapun skor Amerika Serikat sebagai negara dengan militer terkuat adalah 0,0718.
Sebagai gambaran, untuk jumlah populasi, Indonesia tercatat menempati peringkat ke-4 dunia dengan 267 juta jiwa. Sementara, total personel militer dicatat sebanyak 400.000 personel aktif.
Sementara, untuk alat utama sistem persenjataan (alutsista), yang dihitung dan diperbandingkan satu negara dengan yang lain adalah total unit alutsista yang dimiliki. Semisal, kekuatan udara Indonesia, total tercatat memiliki 458 unit, termasuk helikopter dan pesawat angkut. Khusus untuk pesawat tempur, GFP mencatat Indonesia memiliki 41 unit. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-28 dunia.
Baca juga: Kementerian Pertahanan Perlu Selesaikan Masalah Serapan Anggaran
Coba bandingkan dengan negara tetangga, Singapura. Negara yang luasnya sedikit lebih besar dari Provinsi DKI Jakarta itu tercatat memiliki 237 pesawat dari berbagai jenis. Khusus untuk pesawat tempur, Singapura tercatat memiliki 100 pesawat tempur, termasuk pesawat tempur canggih F-15 Strike Eagledan F-16 Fighting Falcon.
Tidak berhenti di situ, tidak lama lagi Singapura akan menjadi negara ASEAN pertama yang diperkuat dengan pesawat tempur generasi kelima, F-35B. Namun, dalam indeks GFP, Singapura berada di urutan ke-40 dunia, di bawah Indonesia.
Demikian pula jika dibandingkan dengan negara tetangga di sebelah selatan Indonesia, yakni Australia. Kekuatan militer Australia ada di urutan ke-19, di bawah Indonesia. Bisa jadi negara tersebut memang memiliki personel militer yang jauh lebih kecil, yakni tercatat 80.000 personel.
Namun, Angkatan Udara Australia merupakan operator jet-jet tempur canggih, seperti F-18 Super Hornet dan pesawat tempur F-35. Menyelinap ke wilayah Indonesia tanpa terendus radar tentu bukan suatu hal yang sulit dilakukan pesawat siluman tersebut.
Yang menarik, indeks GFP justru menempatkan kekuatan laut AS di peringkat keempat, di bawah China, Rusia, dan Korea Utara. Benar bahwa China telah mengoperasikan 2 kapal induk. Namun, AS setidaknya mengoperasikan 11 kapal induk bertenaga nuklir yang mengarungi berbagai wilayah dunia dan turut memengaruhi kondisi geopolitik global.
Meskipun demikian, dari sisi jumlah, China tercatat memiliki 777 kapal dalam berbagai jenis, sementara AS hanya memiliki 490 unit. Bandingkan pula dengan Korea Utara yang kekuatan lautnya berada di urutan ketiga menurut GFP dengan 492 unit.
Baca juga: Sandi Yudha, Kemampuan Rahasia Kopassus
Namun, sekali lagi, indeks GFP hanya menghitung jumlah, tidak memperhitungkan kualitas atau spesifikasi suatu alutsista. Meski terdapat rincian jenis alutsista, hal tersebut tidak memperhitungkan terkait jenis alutsista, tahun pembuatan, hingga persenjataan yang dapat dimuat.
Katakanlah, sebuah negara dengan belasan kapal induk tetap akan berada di peringkat lebih bawah jika dibandingkan negara dengan puluhan atau ratusan kapal patroli. Demikian pula dengan alutsista dari matra lainnya.
Meski penghitungan indeks GFP melulu dilakukan dengan pendekatan kuantitas, indeks tersebut menjadi acuan banyak pihak baik dalam forum resmi dan media sosial, termasuk di dalam negeri.
Menjadi acuan
Meski penghitungan indeks GFP melulu dilakukan dengan pendekatan kuantitas, indeks tersebut menjadi acuan banyak pihak baik dalam forum resmi dan media sosial, termasuk di dalam negeri. Indeks GFP juga pernah dikutip dalam buku pelajaran tingkat sekolah dasar dan dalam menyusun kebijakan.
Semisal, data yang disajikan di dalam GFP turut dijadikan bahan kajian dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Naskah tersebut mengutip dan membandingkan data komponen utama dan cadangan negara-negara di Asia.
Selain itu, Indeks GFP juga dimasukkan sebagai indikator dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, yakni pada Bab VIII tentang Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transformasi Pelayanan Publik dengan sasaran Menjaga Stabilitas Keamanan Nasional.
Baca juga: TNI AL Tambah Fasilitas Pusat Latihan Tempur di Banyuwangi
Di situ tertulis bahwa pada baseline Indonesia pada 2019, indeks GFP Indonesia adalah 0.28. Sementara target pada 2024 pada indeks GFP berada pada angka 0,20.
Kuantitas dan kualitas
Namun, dalam hal membangun angkatan perang, hal itu tidak sepenuhnya berlaku. Kepala Staf TNI Angkatan Udara 2002-2005 Marsekal (Purn) Chappy Hakim dalam Saksofon, Kapal Induk, dan Human Error (2010) menuturkan, dengan mengutip buku karangan Jenderal Dwight D Eisenhower berjudul Crusade in Europe, ada masa ketika AS merasa nyaman dengan angkatan perangnya. Posisinya yang jauh dari Eropa dan Asia diyakini membuatnya terhindar dari konflik.
Oleh karena itu, negara tersebut merasa tidak perlu memiliki angkatan perang yang kuat. Pada 1939, AS hanya memiliki personel sebanyak 130.000 orang. Jumlah itu mencakup tiga matra, yakni darat, laut, dan udara.
Kemudian, serangan Jepang ke Pearl Harbour menjadi titik yang mendorong AS untuk membangun dan memiliki angkatan perang yang kuat. Peristiwa tersebut menghadapkan mereka pada pilihan ”hidup dan mati”.
Baca juga: Riwayat Peradaban Garnisun Lembah Tidar
Bandingkan dengan jumlah personel aktif AS yang tertulis dalam GFP 2021, yakni sebanyak 1,4 juta personel, belum termasuk personel cadangan. Tidak hanya dari segi jumlah, AS juga menempatkan serdadunya di berbagai pangkalan militer di negara-negara sekutu, seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
Untuk menyusun strategi dasar pertahanan dan keamanan, AS bersandar pada aksioma yang mengatakan, ”to keep the peace we must able to fight and win a war”. Oleh karena itu, angkatan perangnya harus siaga dan berada pada kesiapan tempur yang tinggi.
Menurut Chappy, dalam dunia yang ditopang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perang di masa kini tidak hanya tradisional, yakni perang melawan negara lain. Perang masa kini juga mencakup perang melawan pihak yang bukan merupakan negara, seperti terorisme.
Dengan demikian, tugas pokok angkatan perang meluas, yakni dari mempertahankan negara menjadi berkontribusi untuk keamanan kawasan. Peran angkatan perang juga bertambah dari kekuatan pertahanan dan penggetar, tetapi juga alat untuk membangun perdamaian.
”Kita menyaksikan negara-negara di sekeliling kita tengah memperkuat armada kekuatan perangnya dengan membeli skuadron-skuadron pesawat tempur modern dan kapal-kapal selam walaupun hubungan antara negara di kawasan kita berada dalam keadaan tenteram dan damai,” kata Chappy.
Sementara itu, beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam sebuah diskusi mengatakan, perang masa depan akan sangat bergantung pada teknologi, terutama elektronika. Perang akan didominasi siber, intelijen, dan sensor. Ia mencontohkan sejumlah drone negara asing yang beberapa kali ditemukan di perairan Indonesia.
”Bicara perang, bicara ilmuwan. Kita butuh elektronika yang canggih untuk radar dan siber,” kata Prabowo (Kompas, 10/7/2021).
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi berpandangan, indeks GFP terkait dengan pertahanan konvensional dengan menggunakan variabel kuantitas untuk mengukur kekuatan sebuah negara. Namun, indeks tersebut tidak mengukur atau melihat kesiapan tempur angkatan perang sebuah negara.
”Semisal, dengan kemampuan kita sekarang, berapa lama kita mampu berperang. Jadi, kesiapan tempur tidak hanya soal kekuatan, tetapi juga kemampuan,” kata Khairul.
Membangun pertahanan tidak hanya mengenai belanja alutsista sebuah negara. Membangun kekuatan berarti juga berbicara mengenai pembinaan sumber daya manusia, pemeliharaan, latihan, termasuk respons terhadap sebuah peristiwa.
Kemampuan tempur tersebut juga dilihat dari kesiapan sebuah alutsista beroperasi, antara lain, terkait kondisinya, sumber daya manusia yang mengoperasikan, serta pemeliharaannya. Selain itu. kesiapan tempur juga dilihat dari penggelaran kekuatan atau cepat tidaknya sebuah kekuatan digelar atau dipindahkan.
Menurut Khairul, membangun pertahanan tidak hanya mengenai belanja alutsista sebuah negara. Membangun kekuatan berarti juga berbicara mengenai pembinaan sumber daya manusia, pemeliharaan, latihan, termasuk respons terhadap sebuah peristiwa. Semisal, ketika ada pesawat tidak dikenal melintas secara ilegal, diukur seberapa cepat laporan masuk hingga unit yang diperintahkan melakukan intersepsi.
Oleh karena itu, kata Khairul, indeks GFP yang menempatkan Indonesia sebagai kekuatan militer ke-16 dunia tidak boleh membuat bangga secara berlebihan. Sebab, kuantitas yang besar namun sama sekali tidak bisa digunakan atau dioperasikan sama saja dengan omong kosong.
Khairul pun mengingatkan bahwa dalam indeks GFP terdapat variabel penting yang belum dimasukkan sebagai indikator, yakni faktor kemampuan riset suatu negara. Sebab, negara-negara dengan kemampuan militer yang kuat didukung oleh kemampuan riset yang maju, selain dukungan anggaran riset yang besar.
”Sebagai acuan tentu indeks GFP boleh digunakan meski tidak untuk dibanggakan. Kalau hanya bersandar pada angka kekuatan yang dirilis oleh indeks GFP ini, kita bisa ditertawakan. Sebab, selain kuantitas, harus diperhitungkan juga kualitas alat atau alutsista, kualitas pengguna beserta kesiapannya. Ini tidak bisa dilihat separuh-separuh,” tutur Khairul.
Kuantitas dalam membangun pertahanan memang penting. Indeks GFP telah memperlihatkan unsur itu. Namun, kuantitas tanpa kualitas belum cukup. Tidak hanya jumlah, tetapi juga kualitas, termasuk the man behind the gun.