MK Kembali Sidangkan Uji Materi UU KPK soal Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN
Sejumlah pasal dalam UU KPK yang mengatur alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara mulai disidangkan di Mahkamah Konstitusi. KPK Watch Indonesia selaku pemohon menilai pasal-pasal itu inkonstitusional.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mulai menyidangkan perkara uji materi sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang mengatur tes wawasan kebangsaan sebagai dasar pengangkatan pegawai menjadi aparatur sipil negara. Gugatan diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat KPK Watch Indonesia.
Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi atas Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU No 19/2019 digelar secara daring di Mahkamah Konstitusi, Senin (2/8/2021). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Anwar Usman serta anggota panel Arief Hidayat dan Daniel P Yusmic Foekh.
Batu uji yang digunakan pemohon antara lain Pasal 28D Ayat (2) yang mengatur setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Selain itu, juga Pasal 28D Ayat (3) yang mengatur setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Terakhir, kedua pasal di UU KPK juga dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur di Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia M Yusuf Sahide dalam permohonan meminta MK menyatakan Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK dinyatakan inkonstitusional. Pasal 69B di antaranya mengatur penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara (ASN) dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak undang-undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yusuf berpandangan, hasil penilaian tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dijadikan dasar untuk menentukan pegawai KPK diangkat menjadi ASN merupakan tindakan yang menyebabkan tidak terpenuhinya jaminan konstitusi. Pegawai tidak diperlakukan adil dan layak. Menurut dia, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN seharusnya tidak disamakan dengan seleksi ASN baru ataupun promosi jabatan ASN.
Hasil penilaian tes wawasan kebangsaan yang dijadikan dasar untuk menentukan pegawai KPK diangkat menjadi ASN merupakan tindakan yang menyebabkan tidak terpenuhinya jaminan konstitusi. Pegawai tidak diperlakukan adil dan layak.
Sesuai UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, warga negara yang melamar sebagai ASN berusia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Jika hal itu diterapkan, banyak pegawai KPK yang tidak lolos karena usianya melebihi 35 tahun. Apabila aturan itu tetap diterapkan, artinya ada perlakuan diskriminatif dalam alih status pegawai KPK.
Namun, apabila yang digunakan adalah logika promosi jabatan, seharusnya pegawai KPK yang tidak lolos TWK tidak diberhentikan. Proses TWK yang berkonsekuensi pada pemberhentian pekerjaan dinilai tidak sesuai dengan sistem ASN di Indonesia.
”TWK digunakan untuk mengukur kelayakan pegawai KPK menjadi ASN telah menggugurkan perlindungan konstitusional pegawai KPK. TWK yang digunakan sebagai ukuran memberhentikan seseorang adalah tindakan diskriminatif,” ujar Yusuf.
Selain itu, pemohon juga menilai bahwa substansi pertanyaan di dalam TWK, yaitu pandangan terhadap revisi UU KPK, keharusan untuk kepatuhan terhadap pimpinan yang memerintahkan intervensi dalam kasus korupsi, penolakan terhadap pimpinan yang bermasalah secara etik, justru bertentangan dengan prinsip independensi KPK. TWK juga dilakukan dengan pertanyaan yang merendahkan martabat serta bermuatan pelecehan seksual.
”Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 hanya mewajibkan pegawai KPK untuk turut serta, tetapi tidak menjadikan hal itu sebagai syarat alih status pegawai menjadi ASN. Artinya, terdapat perbuatan melawan hukum yang menyebabkan timbulnya perlakuan yang tidak adil dan layak dalam hubungan kerja,” ujar Yusuf.
TWK yang dipakai sebagai alat ukur untuk menentukan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tidaklah cocok dan relevan. Penilaian itu seharusnya dilihat dari portofolio pegawai serta perbuatan mereka selama menjadi pegawai KPK.
Lebih lanjut, persoalan itu pun sebenarnya sudah menjadi konsen MK dalam putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menyebutkan bahwa alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai KPK yang lama. UU ASN tidak berlaku bagi pegawai KPK karena secara hukum menjadi ASN bukanlah keinginan mereka, melainkan konsekuensi dari perubahan UU KPK.
”Stigma tidak berwawasan kebangsaan juga berpotensi menutup potensi pegawai KPK yang tidak lolos TWK untuk mendaftar atau berpartisipasi dalam pemerintahan,” lanjut Yusuf.
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, kedudukan hukum pemohon harus diperjelas sesuai dengan AD/ART badan hukum. AD/ART harus disertakan sebagai bukti bahwa direktur eksekutif berwenang untuk mewakili KPK Watch dalam persidangan di pengadilan.
”LSM yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan di MK ada sejumlah kriteria tertentu. Nanti bisa dilihat di beberapa putusan MK sebelumnya,” ucap Anwar.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada pemohon dan kuasa hukumnya agar lebih mencermati putusan MK yang lalu. Putusan MK sebelumnya telah menyinggung pasal-pasal yang diuji materi sehingga dapat dikategorikan sebagai perkara yang sudah diujikan di MK.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada pemohon dan kuasa hukumnya agar lebih mencermati putusan MK yang lalu. Putusan MK sebelumnya telah menyinggung pasal-pasal yang diuji materi sehingga dapat dikategorikan sebagai perkara yang sudah diujikan di MK. Merujuk pada Pasal 70 UU MK, perkara tersebut bisa ditolak oleh MK karena sudah pernah diuji sebelumnya. Pemohon juga diminta untuk lebih menguraikan kerugian konstitusional yang diderita.
”KPK Watch harus bisa menguraikan apa kerugian konstitusional mereka menurut putusan MK secara aktual, riil, maupun potensialnya,” kata Arief.
Sebelumnya, dua permohonan dari sembilan pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK dan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) telah dicabut. Permohonan itu dicabut karena pegawai ingin fokus pada upaya hukum lain yang tengah ditempuh.