Sekolah Partai dan Realitas Peliknya Seleksi Politik
Hadirnya sekolah partai sebagai lembaga kaderisasi masih jauh dari realitas perekrutan politik. Dampaknya, masih banyak politisi berlatar belakang pengusaha sehingga produk kebijakannya pun bias kepentingan.
Sejumlah partai politik (parpol) di Indonesia telah mengupayakan pendidikan yang secara tegas disebut sebagai ”sekolah partai” untuk menjadi mekanisme kaderisasi internal. Pada praktiknya, tujuan kaderisasi ini tidak selalu berlanjut pada mekanisme perekrutan untuk posisi legislatif dan eksekutif. Kedua hal itu bisa menjadi proses yang tidak berkesinambungan karena ada banyak faktor yang turut menentukan perekrutan seseorang untuk bisa menjadi calon anggota legislatif ataupun calon kepala daerah.
Pada kenyataannya, faktor sebagai kader tulen parpol, yang bertahun-tahun menggerakkan partai atau yang memiliki kapasitas politik mumpuni, tidak selalu menjadi pertimbangan utama dapat menjadi caleg atau cakada, bahkan calon presiden. Mekanisme perekrutan di parpol seolah terlepas dengan mekanisme kaderisasi atau pendidikan di internal parpol. Kendati demikian, upaya pendidikan politik yang dirintis sejumlah parpol di Tanah Air patut diapresiasi.
Pada 5-10 Juli 2021, misalnya, Partai Golkar menggelar Executive Education Program for Young Political Leaders (Program Pendidikan bagi Pemimpin Muda) angkatan ke-2. Kegiatan sepenuhnya digelar secara daring di tengah tingginya kasus Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Acara yang diikuti oleh 33 peserta ini difasilitasi oleh Golkar Institute, yaitu lembaga khusus atau ”sekolah partai” milik Golkar yang fokus pada kajian politik, analisis strategi, dan pendidikan politik.
Penyelenggaraan pendidikan pemimpin muda Golkar ini, menurut Ketua Dewan Pengurus Golkar Institute Ace Hasan Syadzily, dilakukan dengan menyeleksi 140 peserta. Peserta dibatasi hanya yang berusia di bawah 40 tahun.
Baca juga: Golkar Siapkan Kader-kader untuk Jadi Pemimpin Muda
Golkar ingin membangun kader yang memiliki kemampuan analitis, kritis, dan berorientasi solusi. Mereka yang dididik di Golkar Institute itu pun antara lain digodok menjadi calon ”tulang punggung” pembuatan kebijakan. Targetnya, mereka menjadi politisi yang secara teknis menguasai cara dan pola pengambilan kebijakan publik dengan baik.
Jika Golkar ingin membangun kader politisi teknokrat, partai besar lainnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), terlihat fokus pada penguatan nilai-nilai fundamental dan ideologi. Hal itu tergambar dari Sekolah Cakada Gelombang III, 13-15 September 2020, yang juga digelar secara daring. Berbeda dengan sekolah partai yang hanya berlaku untuk kader partai, Sekolah Cakada yang digelar PDI-P kali ini diikuti oleh para calon kepala daerah (cakada) dan tidak terbatas pada kader PDI-P. Kegiatan waktu itu digelar untuk menghadapi Pilkada 2020. Di luar Sekolah Cakada itu, PDI-P juga memiliki Sekolah Partai untuk kaderisasi internal.
Jika Golkar ingin membangun kader politisi teknokrat, partai besar lainnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), terlihat fokus pada penguatan nilai-nilai fundamental dan ideologi.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, Sekolah Partai juga melekat dengan disiplin. Disiplin ideologi, teori, organisasi, dan disiplin di dalam menjadikan rakyat sebagai sumber energi perjuangan partai. ”Kader partai yang terdidik dan terlatih di Sekolah Partai juga wajib memahami hakikat politik untuk turun ke bawah dan berpihak kepada wong cilik,” ucapnya.
Baca Juga: PDI-P: Konsolidasi Internal Jadi Fokus Partai
Untuk keperluan kaderisasi ini, PDI-P bahkan mengalihfungsikan kantor PDI-P di Lenteng Agung, Jakarta, sebagai Sekolah Partai. ”Di Sekolah Partai ini, calon pengurus partai, calon anggota legislatif, dan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah digemleng agar memiliki kesadaran ideologis berdasarkan Pancasila, dapat mengambil inti sari sejarah kemerdekaan bangsa, dan memiliki spirit untuk membawa kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia. Secara khusus, Ibu Megawati Soekarnoputri (Ketua PDI-P) juga menginstruksikan agar dalam kurikulum Sekolah Partai juga diberi pemahaman tentang geopolitik dan bagaimana kepemimpinan Indonesia di dunia internasional,” papar Hasto saat meninjau kantor PDI-P di Lenteng Agung, Kamis (29/7/2021).
Tidak terkoneksi
Tidak hanya kedua partai itu, partai lain, seperti Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), juga memiliki sekolah legislatif atau sekolah legislator. Sekalipun formatnya berbeda, sekolah partai dari masing-masing parpol itu sama-sama menunjukkan kesadaran partai melembagakan pendidikan politik sebagai sarana meraih kekuasaan di legislatif ataupun eksekutif.
Namun, apakah itu akan tergambarkan dalam perekrutan politik, dengan munculnya kader-kader internal sebagai calon legislatif dan kepala daerah?
Sayangnya, pada kenyataannya kaderisasi dan perekrutan politik belum terkoneksi dengan baik. Ketidaksinambungan antara kaderisasi dan perekrutan itu tergambar dari hasil kajian Marepus Corner, sebuah kelompok diskusi di lingkungan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2020, yang menunjukkan 55 persen (318 orang) dari total anggota DPR yang berjumlah 575 orang berlatar belakang pebisnis atau pengusaha dan hanya 19 persen (109 orang) yang merupakan politisi atau kader partai.
latar belakang anggota DPR yang didominasi pengusaha itu menguatkan hipotesis bahwa politik Indonesia berbiaya mahal dan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga pegiat Marepus Corner, Defbry Margiansah, mengatakan, latar belakang anggota DPR yang didominasi pengusaha itu menguatkan hipotesis bahwa politik Indonesia berbiaya mahal dan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Sumber daya ini tidak sekadar melibatkan kekuatan dana, tetapi juga kekuatan pengaruh.
Dari 19 persen atau 109 orang yang berlatar belakang politisi diduga masih beririsan dengan latar belakang lainnya. Adapun latar belakang lain yang terekam ialah anak/keluarga elite politik (5 persen/29 orang), purnawirawan TNI/Polri (2 persen/9 orang), birokrat atau mantan pejabat publik (6 persen/33 orang), akademisi (4 persen/24 orang), pengacara/notaris (3 persen/20 orang), aktivis (2 persen/10 orang), agamawan (2 persen/11 orang), profesional (2 persen/10 orang), dan jurnalis (0 persen/2 orang).
Baca Juga: Caleg Pengusaha Hadapi Pragmatisme
Dominasi pengusaha
Dominasi pengusaha daripada kader partai ini, menurut Defbry, juga berdampak pada karakter pengambilan kebijakan yang bias pada kepentingan mereka. Konflik kepentingan dengan kepentingan bisnis mereka menjadi salah satu hal yang paling dikhawatirkan, terutama ketika hal itu tergambarkan dalam undang-undang yang dihasilkan DPR. Salah satunya yang banyak dikritisi ialah pengesahan UU Cipta Kerja.
Hadirnya sekolah-sekolah partai, sebagaimana dikembangkan oleh Golkar, PDI-P, Nasdem, dan PKB, menurut Defbry, sesuatu yang sangat bagus. Hanya saja yang harus dipastikan ialah lulusan sekolah-sekolah partai itu benar-benar akan tercantum di dalam daftar calon sementara saat pemilu nantinya. ”Apakah mereka yang lulus dari sekolah partai ini nantinya akan menjadi perwakilan di masing-masing daerah pemilihan (dapil), ataukah sekadar menjadi staf ahli, tenaga ahli, dan staf pendukung saja bagi kandidat yang dimajukan. Itu yang harus dipastikan,” tuturnya.
Di satu sisi, sistem proprosional terbuka yang meniscayakan calon harus dikenal atau populer membuat kader partai tidak selalu dapat meraih suara. Persoalan lain, keterbatasan dana partai untuk membiayai kampanye membuat partai kerap bergantung pada kemampuan finansial masing-masing caleg. Kedua hal ini membuat partai tidak serta-merta dapat mencantumkan nama kader mereka di atas kertas suara.
Untuk menghubungkan kaderisasi dengan perekrutan, menurut Defbry, partai harus berdaya dan sebaiknya menjadi badan publik yang dibiayai negara. Dengan demikian, partai tidak harus bergantung pada kekuatan finansial caleg. Di sisi lain, sistem proprosional tertutup, atau sistem campuran, dapat diajukan sebagai solusi untuk mendorong lebih banyak kader untuk tampil di kertas suara.
Baca Juga: Pakta Integritas dan Caleg Koruptor
Direktur eksekutif Poltracking Hanta Yudha pun menyampaikan, upaya sejumlah partai mengadakan sekolah partai, apa pun formatnya, patut diapresiasi. Hal itu penting untuk pelembagaan parpol dan peguatan demokratisasi. Hanya saja yang harus dipastikan ialah kesinambungan antara sekolah partai itu dengan seleksi atau perekrutan parpol, baik dalam pencalonan anggota legislatif maupun kepala daerah. Kerap kali, dua hal ini menjadi arena yang terpisah sehingga kaderisasi yang dilakukan seolah tidak ada dampaknya dalam proses perekrutan politik.
”Kenapa ini terpisah, sebab sering kali ketika pencalegan, mereka yang mendapatkan rekomendasi dari parpol tidak selalu orang yang ikut sekolah partai atau mereka yang merupakan kader parpol. Penyebabnya ialah ’isi tas’ (uang) yang besar, dan popularitas. Karena isi tas dan popularitas itu, mereka bisa langsung masuk dalam pencalegan tanpa kaderisasi. Di sini terjadi keterputusan itu,” katanya.
Untuk membuat sekolah partai itu tersambung dengan proses perekrutan, harus ada persyaratan internal di dalam parpol. Misalnya, untuk jadi caleg, dia harus mengikuti sekolah kader, atau telah menjadi kader partai minimal dua tahun.
Untuk membuat sekolah partai itu tersambung dengan proses perekrutan, harus ada persyaratan internal di dalam parpol. Misalnya, untuk jadi caleg, dia harus mengikuti sekolah kader atau telah menjadi kader partai minimal dua tahun. Dengan proses ini, menurut Hanta, penguatan kelembagaan parpol benar-benar terjadi. Artinya, tidak akan muncul tiba-tiba caleg instan yang sekadar menjadi vote getter (pengumpul suara) bagi partai.
”Demokratisasi di internal partai berjalan dan perekrutan akan berbasis meritokrasi. Bukan semata-mata karena anak petinggi partai, popularitas, dan isi tas yang besar, melainkan mereka yang benar-benar ikut kaderisasi,” ujarnya.
Institusionalisasi partai menjadi sangat penting karena hampir semua perekrutan pejabat publik melibatkan parpol. Pemilihan komisioner lembaga di Tanah Air pun semua melibatkan peran pemerintah dan DPR, yang mana keduanya terdiri atas perwakilan partai-partai. Institusionalisasi partai melalui kader-kader yang berkualitas secara tidak langsung juga akan mewarnai kualitas pejabat publik yang terpilih nantinya.
Hanta mengatakan, nama-nama orang yang tercantum di dalam daftar calon sementara sebaiknya ialah kader terbaik partai, yang mengikuti sekolah partai. Hanya dengan sistem meritokrasi dan demokratisasi di internal partai, cita-cita perbaikan sistem politik dan penguatan demokrasi akan dapat tercapai.
Tumbuhkan empati
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, selain membekali kader dengan kemampuan pengambilan kebijakan publik dan ideologi partai, hal penting lainnya yang harus pula ditanamkan ke dalam benak kader ialah sikap empati dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Di dalam kondisi krisis dan pandemi, sikap semacam itu semestinya terlihat dan tidak hanya menampakkan hasrat berkuasa.
Baca juga: Tangani Pandemi Dulu Dong, Baru Manuver ke Pilpres 2024
”Sikap empati itu memang tidak serta-merta bisa diajarkan di dalam sekolah partai, dalam kurikulum partai yang formal, tetapi dapat secara konsisten ditumbuhkan dalam interaksi di internal partai,” katanya.
Teladan dari pimpinan atau elite partai sangat penting untuk menanamkan empati tersebut. Karena, dengan pengalaman pribadi yang konsisten dan kaderisasi yang intens melalui interaksi di internal partai, kader akan menangkap nilai-nilai baik, yang tidak sekadar bermotif elektoral, tetapi juga motif untuk membangun bangsa dan menolong sesama. ”Jika motif parpol juga untuk kemanusiaan, dari situlah kepekaan bisa terbentuk,” kata Arya.
Untuk memperoleh kader partai yang tidak hanya cakap dalam membuat kebijakan publik, tetapi sekaligus peka terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyat, sekolah partai dan kaderisasi internal sangat menentukan. Hal penting lainnya ialah memastikan kesinambungan proses kaderisasi dengan perekrutan.
Kesinambungan itu akan sangat bergantung pada kemauan politik para legislator di Senayan. Revisi paket UU politik, yang meliputi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol, menjadi opsi yang perlu segera dipertimbangkan untuk menuju regenerasi kepemimpinan di 2024.