Semangat Pemberantasan Korupsi Dinilai Mengendur
Beberapa putusan hukuman yang meringankan terdakwa korupsi membuat arah pemberantasan korupsi tidak jelas. Perilaku koruptif bisa merajalela.
JAKARTA, KOMPAS — Rentetan kasus korupsi yang mencederai rasa keadilan publik memperlihatkan semangat lembaga dan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi semakin kendur. Selain membuat arah pemberantasan korupsi tidak jelas, dikhawatirkan perilaku koruptif semakin merajalela karena proses hukum yang berjalan tidak memberikan efek jera.
Dalam kasus pengurusan fatwa bebas Joko Tjandra dari Mahkamah Agung, jaksa penuntut umum hanya menuntut Pinangki Sirna Malasari dengan 4 tahun penjara. Padahal, Pinangki yang berprofesi sebagai jaksa terbukti menerima suap, melakukan permufakatan jahat, dan melakukan pencucian uang.
Meski di pengadilan tingkat pertama dia divonis 10 tahun penjara, di tingkat banding majelis justru mengurangi hukumannya menjadi 4 tahun. Terhadap pengurangan vonis tersebut, jaksa memilih tidak mengajukan upaya hukum kasasi. Adapun Joko Tjandra yang dituntut jaksa dengan pidana 4 tahun penjara dan divonis 4 tahun 6 bulan penjara, di tingkat banding hukumannya dikurangi menjadi 3 tahun 6 bulan.
Dalam kasus dugaan suap paket bantuan sosial Kementerian Sosial, bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dituntut 11 tahun penjara dan dicabut hak politiknya selama empat tahun sejak masa hukuman usai. Padahal, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri pernah mengingatkan bahwa tindak pidana korupsi di masa bencana dapat diancam dengan hukuman mati.
Baca juga: KY Akan Periksa Putusan Banding Joko Tjandra dan Pinangki
Sebelumnya, ramai-ramai terpidana kasus korupsi mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Beberapa di antaranya mendapatkan keringanan, seperti terpidana bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman yang hukumannya dikurangi dari semula 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara; hukuman terpidana bekas politisi Golkar, Idrus Marham, dikurangi dari 3 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara.
Menurut data Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang diolah dari Laporan Tahunan MA, jumlah perkara PK selama kurun waktu 2017-2019 relatif terus meningkat. Pada 2017 ada 188 perkara, 2018 total ada 208 perkara, dan pada 2019 sebanyak 235 perkara. Sementara dalam Laporan Akhir Tahun MA 2020 disebutkan, MA menangani 232 perkara PK kasus korupsi sepanjang tahun itu (Kompas, 14/6/2021).
Saya melihat tren lembaga-lembaga penegak hukum semakin tidak menentu arahnya, tidak memiliki tujuan yang jelas dan parameter yang tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. (Zaenur Rohman)
Peneliti Pusat Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, ketika dihubungi, Jumat (30/7/2021), mengatakan, rentetan peristiwa atau kasus yang terjadi tersebut memperlihatkan komitmen lembaga dan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi semakin kendur. Tren tersebut semakin terlihat sejak 2019 hingga sekarang, baik di tubuh lembaga yudikatif maupun di lembaga penegak hukum.
”Saya melihat tren lembaga-lembaga penegak hukum semakin tidak menentu arahnya, tidak memiliki tujuan yang jelas dan parameter yang tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi. Jika ini terus berlanjut, upaya bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman korupsi akan sulit tercapai,” kata Zaenur.
Baca juga: Pertimbangan Hakim Kurangi Hukuman Joko Tjandra Tak Tepat
Menurut Zaenur, terdapat tiga momen atau peristiwa yang menjadi titik balik kendurnya pemberantasan korupsi oleh penegak hukum, yakni revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, pergantian pimpinan KPK, dan meninggalnya mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Di lembaga yudikatif, pemberantasan korupsi tampak kendur dengan terjadinya pengurangan hukuman di PK, diskon hukuman dalam putusan banding, ataupun putusan rendah di pengadilan tingkat pertama.
Di lembaga penyidikan dan penuntutan terjadi tren tuntutan yang rendah serta penanganan kasus tidak tuntas. Hal itu terutama terjadi di KPK pascarevisi UU KPK dan pergantian pimpinan KPK. Dugaan adanya nama politisi atau tokoh partai politik yang terlibat dalam kasus suap yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum ataupun kasus korupsi dana bansos Kemensos tidak dituntaskan.
Dalam kasus terkait Joko Tjandra, lanjut Zaenur, dua perwira tinggi yang terlibat dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA dan kasus pembuatan surat jalan palsu justru mendapat perlakuan khusus berupa dijamu makan siang oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Demikian pula tuntutan jaksa terhadap para terdakwa juga rendah, padahal mereka berprofesi sebagai aparat penegak hukum.
”Tuntutan yang rendah, hukuman yang ringan ataupun diskon hukuman akan menghilangkan efek jera. Dan, itu berbahaya karena membuat koruptor tidak takut lagi. Kalaupun terungkap, pidana yang dijatuhkan ringan. Itu pun nanti akan mendapatkan potongan-potongan, termasuk remisi,” kata Zaenur.
Baca juga: Tuntutan Juliari Dinilai Ringan, Harapan Bertumpu pada Hakim
Lebih khusus, Zaenur menilai, semakin lunturnya daya gentar KPK dikhawatirkan akan memicu tumbuhnya mafia hukum. Sebab, aparat penegak hukum menjadi semakin tidak takut karena memang sudah tidak ada lagi yang ditakuti.
Di sisi lain, Presiden secara lisan dan melalui Kantor Staf Kepresidenan pernah menyatakan, penegakan hukum berupa penindakan membuat investasi jeblok sehingga KPK kini bercorak pencegahan. Padahal, mustahil memberantas korupsi tanpa ada penindakan.
Selama korupsi masih tinggi, maka akan semakin mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan lahir karena sumber daya dimonopoli segelintir orang.
Sebaliknya, korupsi justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya menghambat investasi. Sistem yang korup justru mengundang investor yang tidak berkualitas dan bersifat ekstraktif.
”Selama korupsi masih tinggi, maka akan semakin mengakibatkan ketimpangan. Ketimpangan lahir karena sumber daya dimonopoli segelintir orang,” ujar Zaenur.
Hal senada diungkapkan Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman. Menurut Boyamin, semangat pemberantasan korupsi mengendur sejak UU tentang KPK direvisi. Sebab, tindak pidana korupsi tidak dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa lagi seperti sebelumnya.
”Dalam UU KPK yang lama, korupsi dinyatakan sebagai perkara luar biasa yang perlu penanganan luar biasa,” kata Boyamin.
Dampak dari revisi tersebut dinilai memengaruhi komitmen pemberantasan korupsi aparat penegak hukum yang lain. Penuntutan yang rendah dan tidak adanya upaya kasasi dalam kasus terhadap Pinangki menjadi salah satu contoh.
Boyamin berharap agar lembaga pengawas, seperti Komisi Yudisial, berinisiatif mengevaluasi yang terjadi pada lembaga yang diawasi. Mereka diharapkan tidak menunggu adanya laporan dari masyarakat, tetapi bersikap proaktif menelusuri putusan hakim yang mencederai rasa keadilan publik.
Terkait pengurangan vonis terhadap Joko Tjandra oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Boyamin mengaku pesimistis jaksa akan melakukan upaya hukum kasasi. Sebab, mereka telah tersandera dengan hukuman Pinangki yang telah dikurangi menjadi 4 tahun.
”Jaksa bisa saja mengatakan vonis sudah mendekati tuntutan jaksa penuntut umum. Oleh karena itu, semestinya Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA mengevaluasi terhadap pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memberikan diskon terhadap Pinangki dan Joko Tjandra,” kata Boyamin.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang meringankan hukuman terdakwa Djoko Tjandra dan bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari wajar jika menjadi perhatian publik. Itu adalah hak publik di negara hukum yang demokratis.
Namun, dia tidak sepakat jika dikatakan spirit dan komitmen hakim rendah dalam mengatasi korupsi. Menurut dia, MA telah serius mendukung upaya pemberantasan korupsi sesuai dengan amanat undang-undang. Keseriusan itu dapat dilihat dalam upaya MA melakukan sertifikasi hakim tindak pidana korupsi, seleksi hakim ad hoc tipikor, dan pembinaan teknis ataupun administrasi peradilan secara berkala. MA juga terus meningkatkan fungsi pengawasan hakim.
”Penanganan perkara korupsi mulai dari peradilan tingkat pertama, banding, sampai tingkat kasasi dan PK ditangani oleh hakim-hakim yang sudah melalui seleksi dan bersertifikat. MA dan lembaga peradilan di bawahnya telah melakukan tugas peradilan bukan hanya sebagai penegak hukum semata, melainkan juga sebagai penegak keadilan, yaitu keadilan untuk semua,” kata Andi.
Keadilan untuk semua itu, lanjutnya, berarti tidak hanya keadilan bagi korban, tetapi juga negara, masyarakat, dan terdakwa itu sendiri. Adapun terhadap majelis hakim PT DKI Jakarta yang menangani dua perkara yang disorot itu, jika memang ada pengaduan atau laporan mengenai dugaan pelanggaran perilaku dan etik hakim pasti akan diperiksa.
Namun, terhadap putusan yang telah dibuat majelis hakim PT DKI Jakarta, MA membatasi diri untuk tidak berkomentar karena akan menimbulkan kesan intervensi terhadap independensi hakim dalam memutus perkara. MA hanya berwenang memeriksa perkara tersebut jika diajukan upaya hukum kasasi.