Cerita Prabowo tentang Soeharto, LB Moerdani, dan Emak-emak
Dalam buku ”Kepemimpinan Militer-Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto”, beberapa cerita Prabowo yang bersifat personal menjadi sedikit potongan ”puzzle” tentang militer dan politik di era Orde Baru.
Prabowo Subianto adalah sosok yang berada di tengah pusaran kekuasaan. Tidak saja berasal dari keluarga elite, ia juga menjadi menantu Soeharto pada saat Presiden kedua RI itu di puncak kekuasaan. Ia juga menjadi bagian dari kekuasaan Orde Baru yang seakan tak terkalahkan. Sayangnya, Prabowo jarang mengungkap ke publik apa yang terjadi di masa itu termasuk hari-hari terakhir sebelum Soeharto lengser ke prabon.
Oleh karena itu, buku Kepemimpinan Militer-Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto menjadi menarik. Walaupun tema buku ini tentang pelajaran kepemimpinan dalam militer, beberapa cerita Prabowo yang bersifat personal menjadi sedikit potongan puzzle tentang militer dan politik pada masa Orde Baru.
Penanggung jawab pembuatan buku Angga Raka Prabowo bercerita, buku ini dibuat selama tiga bulan di awal 2021. Tim merekam cerita Prabowo, menuliskannya, lalu dibaca ulang Prabowo.
Ada banyak cerita dalam buku ini, tetapi dua cerita menarik perhatian penulis. Yang pertama, soal cerita Prabowo tentang Soeharto dan tentang LB Moerdani, Panglima ABRI 1983-1988, yang konon pernah berseberangan dengan Prabowo, setidaknya itu dicatat oleh Kivlan Zen, Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI AD 1998-2000 dalam bukunya, Konflik dan Integrasi TNI AD.
Baca juga: Prabowo Subianto
Soeharto
Prabowo pertama kali bertemu Soeharto tahun 1976. Saat itu, Prabowo yang berpangkat letnan dua akan berangkat ke Timor Timur sebagai Komandan Peleton Grup 1 Kopassandha di bawah Mayor Inf Yunus Yosfiah. Ia menjadi menantu Soeharto tahun 1983, ketika sudah menjadi kapten dan sudah dua kali tugas operasi di Timor Timur.
Cerita Prabowo tentang Soeharto bersifat sangat pribadi. Soeharto dilihat Prabowo sebagai seorang pekerja keras, disiplin, dan teliti. Jadwal kerja Soeharto sudah pasti. Bangun pukul 04.30, Soeharto telah tiba di kantor pukul 08.00, kemudian pukul 13.00, ia sudah berada di rumah untuk makan siang.
Senin sampai Jumat, ia menerima tamu pukul 19.00-21.00. Seusai menonton siaran Dunia dalam Berita, pukul 21.35, Soeharto masuk ke kamar kerjanya dan bekerja hingga pukul 02.00. Setidaknya ada 40 map yang ia baca dan memberi disposisi setiap malam.
”Hanya Sabtu malam beliau tidak duduk di meja kerja,” cerita Prabowo.
Menurut Prabowo, meja dan ruang kerja Soeharto sangat kecil. Begitu pula rumah Soeharto, jauh jika dibandingkan rumah Prabowo. Kamar mandinya pun tidak di dalam kamar tidur.
Soeharto punya tulisan tangan yang rapi dan daya ingat yang bisa dikatakan photographic memory.
Suatu hari, saat Prabowo yang menjadi Komandan Batalyon 328 hendak bertugas ke Timor Timur, ia dipanggil ke Cendana. Semua anggota batalyon Prabowo gembira karena ini berarti mereka akan diberi sangu.
Malam sebelum berangkat, sekitar pukul 20.30, Prabowo diterima Soeharto. Pertemuan tidak sampai lima menit. ”Beliau hanya berpesan ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo (jangan lupa, jangan sombong, jangan memaksakan diri kalau tak mampu). Pak Harto lantas memegang kepala saya, seperti biasa dia lakukan terhadap anak, cucu, dan orang yang disayanginya seraya mempersilakan saya berangkat,” cerita Prabowo.
LB Moerdani
Berbeda dengan cerita Prabowo tentang Soeharto, ceritanya tentang Moerdani tidak terlalu bersifat personal. Hanya saja terlihat bahwa keduanya beririsan terkait penugasan-penugasan di Komando Pasukan Sandhi Yudha (saat ini Komando Pasukan Khusus).
Sekali, Prabowo mengutip cerita dokter Ben Mboi tentang Moerdani yang akan berangkat dalam operasi pembebasan Irian Barat pada 1962 dengan Panglima Operasi Mayor Jenderal TNI Soeharto.
Prabowo pertama kali bertemu Moerdani saat ia sebagai letnan satu menjadi Komandan Kompi Para Komando dari Kopassandha untuk menghadapi demonstrasi di Jakarta tahun 1977. ”Itulah pertama kali saya ketemu Pak LB Moerdani dan Laksamana Sudomo,” kata Prabowo.
Tahun 1981, kembali keduanya bertemu saat ia dan Mayor Inf Luhut Pandjaitan mendapat tugas belajar di sekolah antiteror GSG9 di Jerman Barat. Buat Prabowo, LB Moerdani adalah sosok yang praktis, tidak banyak bicara, tidak suka menonjolkan diri, berpakaian sederhana, cepat mengambil keputusan, dan tidak menyukai birokrasi.
Yang paling menarik adalah cerita Prabowo tentang proses LB Moerdani menjadi Panglima ABRI. ”Saya dengar sendiri dari Pak Harto, Mabes ABRI mengajukan tiga nama untuk jadi Pangab, yaitu tiga Pangkowilhan, Letjen TNI Susilo Sudarman, Letjen TNI Yogie S Memet, dan Letjen TNI Himawan Sutanto,” cerita Prabowo.
Baca juga: Pemilihan Panglima TNI dari Masa ke Masa
Soeharto kemudian bertanya. ”Benny ada di mana sekarang?”
Menurut Prabowo, itulah cara Soeharto yang halus. Tidak mungkin Soeharto tidak tahu di mana Benny berada dan apa posisinya saat itu. Pertanyaan itu dijawab Mabes TNI bahwa Benny masih berpangkat bintang dua. Padahal, calon Panglima ABRI harus bintang tiga untuk kemudian naik menjadi bintang empat.
”Ya sudah, jadikan saja Benny Letjen segera,” kata Soeharto.
Jadilah Benny Letnan Jenderal, jenderal bintang tiga. Dua minggu kemudian dia jadi jenderal penuh dan dilantik sebagai Panglima ABRI pada 28 Maret 1983. Prabowo menduga, adalah Panglima ABRI Jenderal M Yusuf yang menyampaikan tiga pangkowilhan itu sebagai calon Panglima. M Yusuf juga yang mengatakan bahwa Benny belum pernah Sekolah Staf dan Komando (Sesko), belum pernah jadi panglima kodam (pangdam), ataupun komandan brigade, bahkan tidak pernah jadi komandan korem (danrem). Soeharto rupanya punya jawaban untuk itu.
”Iya, tapi dia dulu yang terjun di Merauke,” kata Soeharto.
Bagi Prabowo, jawaban itu menunjukkan bahwa bagi angkatan ’45, yang penting adalah jasa di medan operasi. Sekolah atau jabatan seorang perwira bisa berderet, tetapi prestasi di daerah operasi yang menentukan. Begini cara orang lapangan seperti Soeharto menilai seorang militer. Tidak saja ia tidak lupa jasa anak buahnya, tetapi juga ia melihat orang yang siap mati berangkat ke daerah operasi sebagai pribadi yang khusus.
Menarik untuk membandingkan cerita Prabowo dengan berbagai catatan sebelumnya.
David Jenkins, dalam bukunya, Suharto and His Generals–Indonesian Military Politics 1975-1983, diterbitkan oleh Cornell University, New York, banyak mengulas soal LB Moerdani.
Menurut Jenkins, pada pertengahan tahun 1970-an, ada empat jenderal yang sangat dekat dengan Soeharto. Mereka disebut Jenkins ”inner core group”, yaitu Yoga Sugama, Ali Murtopo, Sudomo, dan Benny Moerdani. Tiga di antara mereka adalah perwira intelijen. ”Hubungan mereka dengan Soeharto bersifat personal, bukan hanya hubungan kerja,” kata Jenkins.
Menurut Jenkins, Soeharto merasa nyaman dan percaya pada perwira-perwira yang sebelumnya ia pernah bekerja sama. Moerdani telah bekerja sama dengan Soeharto sejak 1960 saat Soeharto menjadi Komandan Mandala untuk Pembebasan Irian Barat.
Moerdani sempat menjadi orang yang sangat kuat di masa Soeharto. Ia menjadi asisten intelijen di Kementerian Pertahanan, asisten intelijen di Kopkamtib dan Wakil Ketua Bakin. Moerdani juga punya satgas intel dan bisa menggerakkan 5.000 pasukan Kopassus di bawahnya
Salim Said, Guru Besar di Universitas Pertahanan, mencatat, Soeharto mengangkat LB Moerdani sebagai Panglima ABRI meski ia tidak memenuhi syarat menduduki posisi pemimpin tertinggi tentara karena ia tidak pernah menjadi komandan tingkat batalyon, tidak pernah menduduki jabatan teritorial dan pendidikan, tidak pernah Sesko. Moerdani pada Salim Said mengakui, ia tidak pernah mengira menjadi Panglima ABRI.
”Saya sudah teken mati sebagai intel,” kata Moerdani pada Salim Said, 14 November 1984.
Berbeda dengan cerita Prabowo, Salim Said mencatat, adalah Pangab Jenderal M Yusuf yang waktu itu menyarankan agar Soeharto mengangkat Benny sebagai Panglima. Latar belakangnya, ia sadar bahwa Soeharto saat itu sangat percaya pada Benny.
”Daripada ditugasi memata-matai Panglima, sekalian saja dijadikan Panglima,” kata M Yusuf dalam buku Salim Said yang berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Sejarah kemudian menunjukkan terjadinya ”de-Benny-isasi”. Belakangan Soeharto sadar bahwa jaringan intel Moerdani yang menjadikannya punya kontrol ketat atas ABRI bisa menjadi ancaman. Walaupun Moerdani yang Katolik dan blasteran Indo itu tidak bisa menjadi presiden, ia bisa menjadi king maker.
Emak-emak
Prabowo juga bercerita tentang hal yang lucu, tetapi sarat pelajaran. Lepas dari kelakuannya yang terkenal impulsif, rasa humor Prabowo sebenarnya cukup tinggi. Penulis ingat, di sela-sela kampanye pemilu presiden yang melelahkan tahun 2014, Prabowo suka mencetuskan cerita-cerita lucu.
Kali ini ia membuka ceritanya dengan adegan makan malam bertiga dengan kedua mertuanya, Soeharto dan Ibu Tien. Tiba-tiba Ibu Tien bertanya. ”Pak, apa benar KSAD-nya akan diganti,” kata Ibu Tien.
Soeharto membenarkan. Ibu Tien segera menjawab. ”Itu lho Pak, sing apik iku Pangdam Bali Pak, Dading. Tinggi, gagah, dan ganteng lho Pak. Cocok itu, sebaiknya dia yang jadi KSAD, Pak.”
Soeharto tersenyum sambil menatap Prabowo. Ia tidak berkata apa-apa. Keesokan harinya, kembali mereka makan malam bertiga. Ibu Tien menyinggung hal yang sama. ”Pak, bagaimana Pak KSAD-nya, apa sudah ada keputusan,” kata Bu Tien.
”Masih digodok,” kata Soeharto. ”Jadi Dading, ya, Pak,” kata Bu Tien lagi. Kali ini Soeharto menoleh ke Prabowo agak mesem. Tapi ia tidak berkomentar.
Minggu depannya, kembali mereka makan malam bertiga. Kebetulan, pagi hari di harian Kompas ada berita Rudini terpilih jadi KSAD. Ibu Tien yang malam itu terlihat kesal berkomentar ke Prabowo. ”Bapak itu, enggak mau denger saran ibu,” kata Ibu Tien di meja makan. Namun, Soeharto menjawab dengan tenang bahwa memilih pemimpin tentunya bukan faktor ganteng semata.
Baca juga: Setelah 17 Jam, Pengganti Prabowo Diganti
Banyak yang dipelajari Prabowo dari peristiwa ini termasuk bagaimana Soeharto tetap memelihara kerahasiaan bahkan dari istri sendiri, serta betapa pentingnya peran seorang istri. ”Dalam perjalanan hidup saya, saya belajar bahwa rakyat terutama emak-emak sangat memperhitungkan penampilan dalam menilai pemimpin. Bagi ibu-ibu, faktor ganteng itu menentukan,” kata Prabowo.