Vonis Joko Tjandra Lebih Ringan dari Tuntutan, Jaksa Diminta Kasasi
Jaksa penuntut umum diminta mengajukan kasasi terhadap putusan banding yang memotong hukuman Joko Tjandra menjadi lebih rendah dari tuntutan jaksa. Jika tidak, akan menimbulkan pertanyaan publik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum seharusnya mengambil upaya hukum kasasi terhadap putusan banding atas Joko Tjandra yang memotong satu tahun hukuman penjara Joko menjadi tinggal 3,5 tahun. Sebab, vonis hakim terhadap Joko tersebut di bawah tuntutan jaksa penuntut umum.
Dalam putusannya, majelis hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengurangi vonis Joko Tjandra dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Adapun tuntutan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat di pengadilan tingkat pertama adalah 4 tahun penjara.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho ketika dihubungi, Rabu (29/7/2021), menuturkan, sudah seharusnya jaksa melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan banding tersebut. Sebab, putusan tersebut lebih rendah dari tuntutan penuntut umum di pengadilan tingkat pertama.
”Paling tidak, kalau sudah seperti ini, jaksa harus mengajukan kasasi meskipun sebenarnya permasalahan dalam perkara pelarian Joko Tjandra ini sedari awal adalah tuntutan jaksa yang rendah, baik terhadap Joko Tjandra maupun Pinangki Sirna Malasari (terdakwa lain dalam kasus pelarian Joko Tjandra),” kata Hibnu. Sama seperti Joko, Pinangki dituntut 4 tahun penjara. Hakim di pengadilan tingkat pertama memvonisnya 10 tahun penjara, tetapi kemudian dipotong menjadi tinggal 4 tahun penjara oleh hakim banding di PT DKI Jakarta.
Menurut Hibnu, tuntutan rendah tersebut patut dipertanyakan. Sebab, dengan pemberatan berupa Joko Tjandra sebagai buron yang terlibat kembali dalam tindak pidana korupsi berupa penyuapan, mestinya Joko dituntut maksimal, yakni 15 tahun.
Demikian pula Pinangki yang adalah seorang jaksa, mestinya hal itu menjadi pemberat karena terlibat sebagai makelar kasus (markus) sehingga harus dituntut maksimal.
Meskipun demikian, lanjut Hibnu, majelis hakim di tingkat banding tetap harus dikritisi. Majelis hakim seharusnya tidak ”tersandera” oleh tuntutan jaksa yang rendah. Sebaliknya, hakim semestinya bersikap progresif dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
”Kita mempertanyakan spiritpara penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Harusnya hakim keluar dari tuntutan jaksa karena mereka mempunyai kebebasan untuk memutus melebihi tuntutan. Hal itu boleh dan bagus,” tutur Hibnu.
Dalam kerangka normatif, jaksa penuntut umum semestinya mengajukan kasasi terhadap putusan banding yang mengurangi vonis Joko Tjandra menjadi lebih rendah dari tuntutan jaksa. Jika jaksa tidak mengajukan kasasi, keputusan jaksa tersebut patut dipertanyakan.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso ketika dikonfirmasi mengenai putusan banding atas Joko mengatakan, jaksa penuntut umum masih mempelajari putusan banding tersebut dan masih belum mengambil sikap terkait dengan upaya hukum selanjutnya.
Laporkan ke KY
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, pihaknya berencana mengadukan majelis hakim di tingkat banding, baik yang menangani perkara Pinangki maupun Joko Tjandra, ke Komisi Yudisial (KY). Sebab, pertimbangan mereka dianggap di luar konteks dari perkara yang ditangani.
Diberitakan sebelumnya, majelis hakim terhadap banding Joko Tjandra adalah Muhamad Yusuf sebagai hakim ketua dan Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Reny Halida Ilham Malik sebagai hakim anggota. Kecuali Rusydi, mereka adalah majelis hakim yang juga meringankan hukuman bagi Pinangki.
Pertimbangan di luar konteks yang dimaksud Boyamin adalah pertimbangan meringankan yang diambil hakim, semisal bahwa Pinangki mengakui semua perbuatan. Padahal, di persidangan Pinangki tidak pernah mengakui perbuatan terkait suap, pencucian uang, dan persekongkolan jahat.
Pinangki hanya mengakui pertemuannya dengan Joko Tjandra di Malaysia karena di persidangan ditunjukkan bukti berupa foto dan tiket pesawat. Pertimbangan meringankan lain yang dinilai aneh dan di luar konteks perkara adalah karena Pinangki memiliki anak balita.
Terhadap putusan Joko Tjandra, pertimbangan meringankan yang dinilai aneh adalah karena Joko Tjandra telah mengembalikan uang kerugian dalam kasus pengalihan hak piutang Bank Bali sebesar Rp 546,47 miliar kepada negara.
Pertimbangan tersebut sama sekali tidak ada relevansinya dengan perkara tersebut. Sebaliknya, hal itu justru bisa memperberat hukuman karena dia justru ingin bebas dari kasus tersebut dengan menyuap aparat penegak hukum.
”Saya ingin mengadukan tentang dugaan kekeliruan atau kesalahan dalam memberikan pertimbangan yang meringankan Joko Tjandra ataupun Pinangki. Meski Komisi Yudisial dan hakim pengawas tidak boleh mencampuri putusan, pengaduan ini menjadi bahan pertimbangan bagi hakim yang bersangkutan, misalnya untuk promosi atau naik pangkat, bahwa mereka diduga melanggar atau keliru,” tutur Boyamin.
Terdakwa lain kasus Joko
Terkait dengan perkara pelarian Joko Tjandra tersebut, bekas Kepala Divisi Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte juga melakukan upaya hukum banding. Dalam perkara Napoleon, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dengan vonis yang sama, yakni 4 tahun penjara. Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa, yakni 3 tahun penjara.
Kuasa hukum Napoleon, Gunawan Raka, mengatakan, pihaknya masih mempelajari putusan banding terhadap Napoleon. Hingga saat ini, tim kuasa hukum masih belum mengambil keputusan terkait langkah hukum selanjutnya. Meski demikian, kuasa hukum menilai putusan tersebut tidak tepat.
Menurut Gunawan, tampak adanya disparitas hukuman antara terdakwa lain dengan Napoleon. Selain itu, putusan tersebut disebutnya sebagai penyelundupan hukum, yakni penilaian dilakukan terhadap fakta yang tidak terungkap di dalam persidangan yang kemudian dijadikan dasar putusan.
Sementara itu, kuasa hukum dari pelaku lain di kasus Joko, yakni Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, Rolas Sitinjak, mengatakan, pihaknya optimistis upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan kliennya akan dimenangkan. Sebab, dalam perkara penghapusan nama Joko dari daftar pencarian orang, Prasetijo tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta. Sementara, dalam perkara pembuatan surat jalan palsu, surat tersebut dikeluarkan oleh Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
”Fakta-fakta hukum dan fakta-fakta persidangan seperti itu. Kami yakin akan dimenangkan,” kata Rolas.