Tuntutan Juliari Dinilai Ringan, Harapan Bertumpu pada Hakim
Bekas Mensos Juliari Batubara dinilai layak dijatuhi hukuman berat. Ia ditengarai menerima suap dari pengadaan bantuan bagi masyarakat kecil. Ditambah lagi, hal itu dilakukan di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tuntutan 11 tahun penjara yang dijatuhkan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dinilai belum maksimal. Kini, harapan digantungkan pada majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman berat bagi Juliari.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho berharap hakim yang menyidangkan perkara korupsi bantuan sosial dengan terdakwa Juliari bersikap progresif.
”Paling tidak, hakim memutuskan melebihi apa yang dituntutkan. Kalau 11 (tuntutannya), ya, paling tidak seperti yang ditentukan dalam undang-undang, 15 tahun,” kata Hibnu saat dihubungi di Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Ia menegaskan, putusan berat tersebut bisa mengurangi keprihatinan masyarakat terhadap penegak hukum. Sebab, sebelum kasus Juliari, ada kasus Joko Tjandra dan bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang dihukum ringan. Joko merupakan buronan kasus hak tagih utang Bank Bali. Dalam perkara ini, Pinangki merupakan jaksa yang telah dipidana terbukti merancang pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung agar Joko Tjandra tidak dieksekusi.
Hibnu mengatakan, hukuman ringan tersebut telah mengusik rasa keadilan. Sebab, masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Hibnu, Juliari layak dihukum berat karena dia diduga korupsi saat menjabat Menteri Sosial dan perbuatan korupsinya dilakukan di tengah situasi pandemi Covid-19. Korupsi yang diduga dilakukan Juliari juga berkaitan dengan bantuan untuk masyarakat kecil. Ia menegaskan, seharusnya jaksa penuntut umum dalam menuntut mempertimbangkan apa yang memperberat hukuman Juliari.
Mengacu fakta persidangan
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, penuntutan terhadap terdakwa Juliari berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan, bukan berlandaskan pada opini, keinginan, ataupun desakan pihak mana pun.
Selain itu, pertimbangan alasan memberatkan dan meringankan juga menjadi dasar dalam menuntut pidana penjara, uang pengganti, denda, dan pencabutan hak politik. Ia menegaskan, dalam perkara ini terdakwa dituntut terkait pasal suap, bukan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di mana pelaku dapat dijatuhi hukuman mati.
”Penerapan pasal tentu karena berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penyidikan. Sebagai pemberatan tuntutan, jaksa dalam perkara ini juga menuntut uang pengganti yang dapat diganti hukuman penjara bila tidak dibayarkan,” kata Ali.
Ia menyampaikan, dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi, uang pengganti dibebankan kepada terdakwa dalam perkara yang berhubungan dengan penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, yaitu berhubungan dengan kerugian negara.
Ali mengatakan, jaksa KPK memiliki dasar hukum kuat dalam menuntut uang pengganti terhadap terdakwa Juliari. KPK berharap majelis hakim akan mengabulkan seluruh tuntutan tim jaksa penuntut umum.