Majelis Hakim Bisa Menjatuhkan Vonis di Atas Tuntutan Jaksa
Tuntutan terhadap Juliari Batubara dinilai masih sangat rendah. JPU hanya menuntut 11 tahun, denda Rp 500 juta subsider enam bulan, dan uang pengganti Rp 14,5 miliar. Karena itu, hakim diharapkan terapkan ”ultra petita”.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta bisa mengambil langkah progresif, yaitu menjatuhkan hukuman di atas tuntutan jaksa (ultra petita) dalam perkara korupsi bantuan sosial Covid-19 dengan terdakwa Juliari Peter Batubara. Hakim diharapkan mempertimbangkan banyaknya unsur pemberat dalam perkara itu. Misalnya, korupsi dilakukan di masa darurat pandemi Covid-19 dan kerugian yang dirasakan korban, yaitu warga miskin yang seharusnya mendapat bansos.
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Kamis (29/7/2021), mengatakan, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Juliari Batubara masih sangat rendah. JPU menuntut Juliari dengan hukuman penjara 11 tahun, denda Rp 500 juta subsider enam bulan, dan pidana tambahan uang pengganti Rp 14,5 miliar. Menurut Kurnia, tuntutan itu masih jauh dari hukuman maksimal yang diatur dalam Pasal 12 Huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Namun, tuntutan yang diajukan jaksa hanya 11 tahun penjara.
”Ringannya tuntutan itu semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. Padahal, pimpinan KPK sebelumnya telah menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19,” kata Kurnia.
Karena tuntutan jaksa terhadap Juliari rendah, masyarakat berharap hakim bisa mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal, yaitu pidana penjara seumur hidup kepada bekas Mensos tersebut. Penjatuhan hukuman maksimal, menurut Kurnia, sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang dilanggar haknya di tengah kesulitan hidup karena dampak pandemi. Vonis maksimal itu diharapkan memberikan efek jera dan bisa mencegah potensi terjadinya kasus serupa, terutama di masa pandemi.
Kurnia juga berpandangan, fakta hukum yang terungkap di persidangan menggambarkan bahwa para terdakwa dalam kasus korupsi bansos menghambat upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga dalam rangka menangani dampak pandemi Covid-19. Kondisi ini seharusnya dipertimbangkan hakim dalam membuat putusan.
Ringannya tuntutan itu semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. Padahal, pimpinan KPK sebelumnya telah menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19. (Kurnia Ramadhana)
Menurut dia, JPU KPK dalam perkara ini gagal mewakili kepentingan negara dan korban. Seharusnya, JPU sebagai penegak hukum representasi negara dan korban bertugas meminta pertanggungjawaban atas kejahatan pelaku. Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 5 Huruf d UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Aturan itu menegaskan bahwa KPK harus mengedepankan asas kepentingan umum. Korupsi bansos diduga merugikan negara mencapai Rp 32,4 miliar. Namun, jaksa hanya menuntut pembayaran pidana tambahan berupa uang pengganti 50 persen dari total suap, yaitu Rp 14,5 miliar.
Utak-atik pasal
Pengajar hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, berpandangan, UU Tipikor mengatur hukuman maksimal seumur hidup hingga hukuman mati jika korupsi dilakukan saat bencana nasional. Ketua KPK Firli Bahuri pun sebelumnya menyebutkan potensi dijeratnya Juliari dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Namun, realitanya, tuntutan yang dijatuhkan jaksa turun begitu jauh, yaitu hanya 11 tahun penjara.
Sejak awal, perkara ini ditangani KPK dengan mengutak-atik pasal di UU Tipikor. Pasal sengaja dipilih Pasal 12 b, bukan Pasal 2 atau Pasal 3 Tipikor yang hukumannya lebih berat. Kalau KPK berkomitmen pada pemberantasan korupsi, seharusnya hukuman bisa lebih menjerakan koruptor. (Feri Amsari)
Menurut dia, hal ini menunjukkan kegagalan KPK melihat korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Apalagi, korupsi dilakukan saat wabah Covid-19. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merugikan warga miskin yang berhak menerima bantuan dari pemerintah. Ini merupakan tindak pidana sangat berat, tetapi KPK hanya menuntut terdakwa dengan tuntutan yang dinilai kompromis.
”Sejak awal, perkara ini ditangani KPK dengan mengutak-atik pasal di UU Tipikor. Pasal sengaja dipilih Pasal 12b, bukan Pasal 2 atau Pasal 3 Tipikor yang hukumannya lebih berat. Kalau KPK berkomitmen pada pemberantasan korupsi, seharusnya hukuman bisa lebih menjerakan koruptor,” kata Feri.
Feri juga berpandangan, majelis hakim yang menangani perkara itu seharusnya bisa memutus dengan pertimbangan rasa keadilan masyarakat. Hakim harus bisa menjatuhkan hukuman pidana maksimal didasarkan pada kejahatan yang dilakukan di masa bencana non-alam nasional. Jabatan Juliari sebagai pejabat publik yang mengkhianati amanat masyarakat juga harus dipertimbangkan. Selain itu, hakim juga harus melihat dampak nyata yang dirasakan warga miskin akibat korupsi bansos tersebut.
”Peran dia sebagai pejabat tertinggi di Kemensos, yang mengkhianati amanat masyarakat, bisa menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus Juliari dengan hukuman seberat mungkin,” kata Feri.