KY Akan Periksa Putusan Banding Joko Tjandra dan Pinangki
Jika ditemukan cukup bukti yang mengarah pada dugaan pelanggaran perilaku hakim, Komisi Yudisial akan memanggil dan memeriksa hakim yang menyidangkan perkara Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Yudisial akan memeriksa putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari, dua terdakwa di kasus korupsi yang sama. Jika dalam pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran pedoman perilaku hakim, Komisi Yudisial akan memanggil dan memeriksa hakimnya.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting saat dihubungi, Kamis (29/7/2021), mengatakan, KY akan melakukan penelusuran terhadap semua aspek dari putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang dua kali berturut-turut meringankan hukuman koruptor, yakni Pinangki kemudian Joko Tjandra. Penelusuran akan dilakukan atas inisiatif sendiri.
Namun, apabila ada masyarakat yang mengetahui detail informasi terkait dengan itu, diharapkan melaporkan ke KY. Hal itu akan sangat membantu KY dalam pengumpulan informasi terkait dengan dugaan pelanggaran perilaku dan etik hakim.
”KY akan menelusuri dulu putusan hakim yang menyita perhatian publik ini. Jika ada bukti cukup yang mengarah pada dugaan pelanggaran perilaku, tentu hakim yang bersangkutan akan dipanggil untuk diperiksa dan dimintai keterangannya,” kata Miko.
Sebelumnya, Miko mengatakan, KY menaruh perhatian terhadap putusan Joko Tjandra. Menurut dia, perlu sensitivitas keadilan bagi masyarakat dan kepercayaan masyarakat terhadap kehormatan hakim dan integritas pengadilan. Oleh karena itu, KY akan mengkaji putusan tersebut melalui anotasi putusan. Masyarakat sipil, baik akademisi, peneliti, maupun lembaga swadaya masyarakat, diminta membantu memperkuat kajian anotasi putusan tersebut.
Sensitivitas rendah
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, KY memang harus inisiatif menelusuri dugaan pelanggaran perilaku hakim dalam putusan PT DKI atas Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari.
Apabila melihat pertimbangan hakim dalam putusan Joko Tjandra, sebenarnya majelis banding tidak membantah fakta-fakta hukum yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Namun, anehnya, dalam amar putusan, tiba-tiba hakim mengurangi pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Ini dianggap janggal dan tidak berpijak pada argumen hukum yang kuat.
”Ada inkonsistensi berpikir majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Mereka mengamini kesalahan terdakwa yang diperiksa di pengadilan tingkat pertama, tetapi justru mengurangi hukumannya. Itu merupakan kegagalan pengadilan tinggi melihat tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga memberikan hukuman yang tidak berefek jera kepada koruptor,” kata Fickar.
Fickar juga menyebutkan bahwa disparitas hukuman antara pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding tidak didasari pada pertimbangan aspek sosiologi hukum yang tepat. Hakim memiliki sensitivitas dan komitmen rendah dalam pemberantasan korupsi.
Apalagi, dalam kasus Pinangki dan Joko Tjandra, korupsi melibatkan aparat penegak hukum. Korupsi oleh aparat penegak hukum itu bisa menggerus kepercayaan publik terhadap peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat pun sangat dirugikan dengan tindak pidana tersebut sehingga hakim seharusnya mempertimbangkan rasa keadilan publik.
Untuk diketahui, majelis hakim tingkat banding di PT DKI Jakarta memotong satu tahun hukuman penjara Joko Tjandra menjadi 3,5 tahun penjara dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk Joko dan penghapusan namanya dari daftar pencarian orang (DPO) di sistem imigrasi. Yang dianggap sejumlah kalangan janggal dari putusan ini adalah pertimbangan meringankan yang digunakan majelis hakim. Pertimbangan dinilai justru lebih tepat dijadikan pertimbangan memperberat hukuman Joko.
Pertimbangan majelis hakim meringankan hukuman Joko, antara lain, yang bersangkutan saat ini telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan MA dalam kasus korupsi hak tagih piutang atau cessie Bank Bali dan telah menyerahkan dana yang ada dalam Escrow Account atas nama rekening Bank Bali qq PT Era Giat Prima milik Joko Tjandra senilai Rp 546,47 miliar.
Adapun dalam perkara yang sama dengan terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari, majelis hakim banding di PT DKI Jakarta menimbang bahwa pidana 10 tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Pinangki terlalu berat sehingga hukumannya dipotong enam tahun.
Hukuman bagi Pinangki dinilai terlalu berat karena terdakwa telah mengaku bersalah, menyesali perbuatannya, serta mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Selain itu, majelis hakim menimbang bahwa Pinangki adalah ibu dari seorang anak balita dan bahwa dia perempuan yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Pertimbangan-pertimbangan hakim ini pun dikritik banyak kalangan.
Empat dari lima majelis hakim banding yang memotong hukuman Joko Tjandra juga menjadi majelis hakim yang menyidangkan Pinangki.