Kekerasan Berulang, Pimpinan TNI Diminta Bekali Prajurit dengan Perspektif HAM
Setiap anggota TNI perlu dibekali dengan pendidikan dan pemahaman mengenai hak asasi manusia. Dengan begitu, tidak akan ada lagi kesalahan penggunaan kekerasan saat menjalankan tugas.
JAKARTA, KOMPAS — Peristiwa kekerasan dua anggota Polisi Militer TNI Angkatan Udara yang menganiaya warga Merauke, Papua, menunjukkan masih minimnya perspektif hak asasi manusia dari aparat keamanan di tingkat bawah. Untuk itu, pucuk-pucuk pimpinan dari aparat keamanan diharapkan membekali anggotanya dengan perspektif hak asasi manusia.
Dua anggota Polisi Militer TNI AU yang melakukan kekerasan, yakni Serda A dan Prada V, telah ditetapkan sebagai tersangka tindak kekerasan dan ditahan. Selain itu, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo menyatakan akan mengganti Komandan Pangkalan TNI AU Johanes Abraham Dimara (Lanud Dma) Kolonel Pnb Herdy Arief Budiyanto dan Komandan Satuan Polisi Militer (Dansatpom) Lanud Dma Mayor Pom Antariksa Irawan terkait dengan tindak kekerasan tersebut.
Baik Komandan Lanud JA Dimara maupun Komandan Satuan Polisi Militer Lanud JA Dimara harus mempertanggungjawabkan kejadian tersebut. Sebab, mereka juga bertugas membina anggota (Kompas.id, 28/7/2021).
Mengapa berulang kali terjadi? Karena peristiwa-peristiwa semacam itu tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan ditegakkan hukum secara tepat. Akibatnya, hal-hal seperti itu dianggap biasa, terus berulang.
Wakil Ketua Eksternal Komisi Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab ketika dihubungi, Kamis (29/7/2021), mengatakan, peristiwa kekerasan kerap terjadi di Papua dan terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Peristiwa semacam itu terjadi berulang di berbagai tempat.
”Mengapa berulang kali terjadi? Karena peristiwa-peristiwa semacam itu tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan ditegakkan hukum secara tepat. Akibatnya, hal-hal seperti itu dianggap biasa, terus berulang,” kata Amiruddin.
Di sisi lain, menurut Amiruddin, tindakan dua anggota TNI AU tersebut merefleksikan bahwa budaya penghormatan terhadap HAM belum terbangun secara baik di kalangan aparat keamanan, khususnya di level bawah. Padahal, mereka yang setiap hari berhadapan dengan masyarakat secara langsung.
Untuk itu, Amiruddin berharap agar pembinaan yang dijalankan oleh setiap komandan satuan terhadap anggota TNI-Polri juga termasuk pembangunan kesadaran mengenai HAM. Dengan demikian, perspektif HAM mewarnai setiap tindakan aparat keamanan.
”Tentu kita menyadari, situasi di lapangan bisa berubah cepat, termasuk adanya petugas yang lelah. Namun, hal itu tidak bisa jadi pemaaf. Jika tidak memiliki kesadaran HAM, peristiwa serupa akan berulang di tempat lain,” ujar Amiruddin.
Terlebih di Papua masih ada persoalan politik yang sampai hari ini dianggap sebagian kalangan masih belum selesai. Maka, perilaku atau tindakan yang merendahkan HAM akan cepat mendapat perhatian. Padahal, pemerintah tengah membangun kepercayaan masyarakat Papua. Dengan adanya peristiwa ini, kepercayaan masyarakat dapat runtuh.
Tren peningkatan
Perspektif HAM bagi aparat dalam bertugas semakin penting di tengah tren peningkatan tindak kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan pemantauan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) sepanjang Oktober 2019-September 2020, tercatat ada 76 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan ataupun yang melibatkan anggota TNI. Temuan tersebut meningkat dibandingkan dengan jumlah kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada periode 2018-2019, yakni 58 peristiwa.
Kepala Divisi Hukum Kontras Andi Muhammad Rezaldy menjelaskan, dari total peristiwa yang terjadi pada 2019-2020, mayoritas merupakan penganiayaan (40 kasus). Disusul dengan penembakan (19 kasus), intimidasi (11 kasus), penyiksaan (8 kasus), konflik agraria (6 kasus), dan perusakan (4 kasus). Selain itu, terjadi pula bentrokan dan tindakan tidak manusiawi (3 kasus), penculikan (2 kasus), kekerasan seksual (1 kasus), dan pembubaran paksa (1 kasus).
Andi berpendapat, kecenderungan meningkatnya kekerasan yang dilakukan anggota TNI menyangkut soal akuntabilitas dan pengawasan. ”Selama ini, prajurit yang terbukti melakukan kekerasan diproses melalui mekanisme peradilan militer. Padahal, peradilan militer kerap menjadi ruang impunitas,” ujarnya.
Ia mencontohkan, Kontras mendampingi kasus penyiksaan yang berujung pada kematian di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dengan korban almarhum Jusni. Jusni disebut disiksa oleh 11 anggota kesatuan Satangair Pusebekangad, Yonbekang 4/Air. ”Atas peristiwa ini, tidak ada satu pun anggota TNI yang diberhentikan secara tidak hormat dan bahkan sanksi pidana penjara yang mereka terima kurang dari 2 tahun,” kata Andi.
Menurut dia, proses peradilan yang tepat bagi prajurit TNI yang melakukan kejahatan adalah peradilan umum. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yaitu prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Bekal pemahaman
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Penerangan Internasional Pusat Penerangan TNI Kolonel Laut (P) Djawara Whimbo sepakat, seluruh prajurit TNI harus dibekali dengan pengetahuan dan perspektif HAM. ”Hal itu juga telah dilakukan baik dalam pendidikan maupun dalam pembekalan sebelum operasi dilaksanakan. Dengan demikian, semestinya setiap prajurit sudah memiliki pemahaman mengenai HAM yang cukup,” ujarnya.
Namun, pengetahuan dan pemahaman yang telah diberikan itu sering kali menghadapi kendala di lapangan. Masih ada prajurit yang cenderung tidak sabar dalam menghadapi masalah sehingga, walaupun semula bertujuan baik, ia justru melakukan kekerasan. ”Hal itu juga bergantung pada pengawasan pimpinan. Setiap pimpinan harus sering mengecek dan mengingatkan anggotanya dan itu sudah dilakukan,” kata Whimbo.
Seluruh prajurit TNI harus dibekali dengan pengetahuan dan perspektif HAM. Hal itu juga telah dilakukan baik dalam pendidikan maupun dalam pembekalan sebelum operasi dilaksanakan. Dengan demikian, semestinya setiap prajurit sudah memiliki pemahaman mengenai HAM yang cukup.
Terkait penyelesaian masalah melalui mekanisme peradilan militer, menurut Whimbo, hal itu justru akan memberikan efek jera yang lebih tinggi kepada prajurit yang bersalah. Sebab, hukuman yang diputuskan melalui peradilan militer dinilai lebih berat ketimbang peradilan umum. Prajurit yang terbukti bersalah selain akan dipecat, mereka juga tetap menanggung hukuman pidana. Setelah pidana selesai, ia juga memiliki catatan berkelakuan tidak baik yang akan mempersulit dalam memperoleh pekerjaan lainnya.
Sebelumnya, video penganiayaan yang dilakukan dua anggota Polisi Militer TNI AU viral di dunia maya. Dalam video terlihat, dua oknum tersebut bertindak berlebihan saat mengamankan seorang warga Merauke yang diduga sedang mabuk dan membuat keributan di sebuah warung. Peristiwa tersebut diakui TNI AU terjadi pada Senin (26/7/2021).
Atas kejadian tersebut, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo meminta maaf dan menekankan bahwa kejadian tersebut sepenuhnya kesalahan anggota. Tidak ada niatan apa pun di baliknya, apalagi perintah kedinasan. Ia berjanji akan menindak tegas pelaku dan melakukan evaluasi internal setelah peristiwa ini.