Izin usaha pertambangan yang menjadi kewenangan kepala daerah kerap diselewengkan. Demi mendapat keuntungan, kepala daerah sering kali menerbitkan izin secara serampangan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan pengukuhan kawasan hutan diperlukan untuk mendukung kebijakan satu peta. Dengan adanya peta yang tunggal, potensi terjadinya tumpang tindih lahan dan penyalahgunaan wewenang, termasuk terjadinya korupsi, diyakini akan dapat diminimalkan.
Hal itu terungkap dalam webinar bertema ”Pengukuhan Kawasan Hutan: Legal dan Legitimate”, Rabu (28/7/2021), dalam rangka sosialisasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan mengatakan, KPK bersama kementerian dan lembaga lain berupaya melakukan pencegahan korupsi secara sistemik melalui kebijakan satu peta (one map policy).
Kebijakan tersebut dijalankan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Skala 1:50.000. Dalam poses, diketahui bahwa kesulitan menjalankan kebijakan tersebut tidak hanya semata terkait hal teknis, tetapi terlebih karena setiap instansi sektoral dan pemerintah daerah memiliki peta masing-masing.
Pahala mengatakan, di masa lalu, sejak diterapkan desentralisasi, izin usaha pertambangan (IUP) bertambah sangat banyak karena kepala daerah berwenang menerbitkannya. Penerbitan IUP juga terkait dengan ajang pemilihan kepala daerah yang melibatkan dana dalam jumlah besar.
”Jadi, korupsinya adalah penerbitan izin yang serampangan dan kita masih menikmati hasilnya sampai saat ini ketika dilakukan pembenahan,” kata Pahala.
Sejak diterapkan desentralisasi, izin usaha pertambangan (IUP) bertambah sangat banyak karena kepala daerah berwenang menerbitkannya. Penerbitan IUP juga terkait dengan ajang pemilihan kepala daerah yang melibatkan dana dalam jumlah besar.
Terkait perizinan lahan yang tumpang tindih itu pula, lanjut Pahala, pemerintah Indonesia pernah digugat beberapa investor di arbitrase internasional dengan jumlah gugatan di atas Rp 5 triliun. Mereka menggugat karena merasa kecewa lantaran mendapatkan IUP yang ternyata di atasnya telah ada IUP lain.
Dalam kerangka tersebut, terbitnya Perpres No 9/2016 dinilai merupakan solusi yang tepat. Dengan adanya satu peta untuk seluruh Indonesia, maka investor yang masuk adalah investor yang memang berniat untuk berinvestasi. Selama ini, permintaan mereka adalah adanya kepastian, termasuk kepastian lahan yang tidak tumpang tindih, peruntukannya jelas, dan tata batasnya jelas.
Menurut Pahala, dalam membuat satu peta, seluruh peta dari berbagai instansi beserta berbagai izin yang telah diterbitkan dikompilasi. Kemudian, dilakukan integrasi dengan melihat letak tumpang tindihnya, termasuk melihat lokasi masyarakat adat. Setelah itu, dilakukan sinkronisasi.
Hasilnya adalah dibuat rekomendasi berupa pencabutan atau penyusutan, penyesuaian tata ruang, dan penyelesaian konflik. Namun, penyusunan satu peta memerlukan pengukuhan kawasan hutan (PKH). Jika PKH belum tercapai, kebijakan satu peta akan sulit terwujud.
”Karena komponen paling penting dan paling besar adalah hutan. Jadi, ditaruh
dulu PKH di mana, baru yang lain menyesuaikan. Kira-kira begitu. Pengukuhan
kawasan hutan nanti lewat proses kompilasi, integrasi dan sinkronisasi akan jadi satu peta” ujar Pahala.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo memberikan perhatian pada program percepatan penyelesaian konflik agraria bagi kepentingan masyarakat dan online single submission (OSS) untuk perizinan dan investasi. Terkait konflik agraria, total terdapat 1.191 kasus atau aduan dari masyarakat yang masuk ke KSP. Adapun tahun ini ditargetkan 137 kasus dapat diselesaikan.
KSP atas perintah Presiden telah membuat surat kepada Panglima TNI dan Kapolri terhadap daerah-daerah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan agar dihindari adanya konflik di daerah-daerah tersebut.
Dari aduan masyarakat terkait konflik agraria yang masuk ke KSP, 251 di antaranya berada di kawasan hutan. Dan, salah satu masalah utama yang muncul adalah terkait tahapan pengukuhan kawasan hutan yang memerlukan waktu lama, yakni untuk proses tata batas dan inventarisasi.
”KSP atas perintah Presiden telah membuat surat kepada Panglima TNI dan Kapolri terhadap daerah-daerah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan agar dihindari adanya konflik di daerah-daerah tersebut. Dan, kita langsung tunjukkan titik-titiknya itu,” kata Moeldoko.
Menurut Moeldoko, PKH merupakan masalah yang berada di sisi hulu. Jika di sisi hulu nantinya tidak ada masalah, diharapkan di sisi hilir akan tercipta pengelolaan kehutanan yang baik. Secara khusus, terdapat lima provinsi yang menjadi prioritas pelaksanaan PKH, yakni Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, pelaksanaan PKH akan dapat segera dirampungkan. Dengan demikian, negara akan memiliki kejelasan status hukum kawasan hutan dan nonhutan serta fungsi kawasan hutan sehingga pengelolaan kawasan hutan dapat lebih optimal.
Demikian pula bagi pemerintah, PKH akan memberikan pengelolaan pertanahan nasional yang lebih optimal dengan meminimalkan terjadinya tumpang tindih peruntukan. Sementara pemerintah daerah akan lebih mudah mengidentifikasi kawasan hutan dan nonhutan dalam rangka perencanaan penggunaan dan pemanfaatan ruang.
”Dan, tentunya manfaat ini akan dirasakan dunia usaha, peningkatan kepastian aset lahan karena memiliki kejelasan batas tanah yang diusahakan dengan batas hutan negara,” ujar Ruandha.
Terkait dengan kemungkinan adanya ketidaksesuaian antara kawasan hutan dan izin atau hak yang sudah diberikan, Dirjen Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Andi Tenrisau mengatakan, turunan UU Cipta Kerja telah mengatur dengan pendekatan historis. Artinya, izin yang lebih dulu terbit, maka itu yang dipakai sebagai acuan untuk dipertahankan.
”Apabila sertifikat hak atas tanah diterbitkan lebih dahulu, baru kemudian ada pengukuhan batas hutan, yang dipertahankan adalah sertifikat itu karena memang terlebih dahulu terbit,” kata Andi.
Ketua Yayasan Bentala Rakyat Franky Samperante mengingatkan, banyak persepsi terhadap Papua yang menganggap Papua sebagai tanah kosong atau tanah tak bertuan. Hal itu tampak dari praktik pemberian izin selama ini. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya.
”Ada contoh sebuah marga. Mereka telah memetakan tanah adat dan mereka dapat memperlihatkan bahwa tanah mereka tidak kosong dengan menunjukkan sumber pangan, lokasi mata pencarian. Ada manfaat bagi mereka tidak hanya sosial ekonomi, tapi juga budaya, ritual, yang semua ada dalam kawasan hutan. Kita mau mengatakan, di Papua tidak kosong karena ada orangnya dan hutan Papua sedang digunakan masyarakat,” ujar Franky.